Laras akhir-akhir ini linglung.
Beritanya tersebar di seluruh pelosok kampung.
Dia kehilangan kesadarannya tentang saat ini dan tenggelam dalam lamunannya sendiri.
Usianya yang tak terhitung muda lagi, membuatnya tak cekatan dan malas mengingat banyak hal.
Kata orang, Laras terlalu apatis.
Tak peduli dan tak mau tahu.
Sehingga kelinglungannya menjadikannya terlihat wajar-wajar saja.
Apalagi untuk orang-orang yang mengenalnya.Â
Jika sekali waktu ada yang menyapanya, bertanya bagaimana keadaannya, bagaimana pekerjaannya, atau sekedar penasaran akan kesibukannya, Laras hanya tertawa kosong tanpa menjawab.
Bahkan seringkali dia membalas pertanyaan itu dengan melongo bingung, sehingga membuat orang-orang itu malas bertanya lagi dan berlalu dengan kekesalan.
Sekalipun Laras mendengar celetukan kasar itu, ia tak kesal atau marah karena tidak terima.
Dia biarkan anjing itu berlalu bersama dengan gonggongannya, sementara dia kembali menikmati kelinglungannya.Â
Sesungguhnya Laras sudah mencari tempat yang nyaman untuk menjadi linglung.
Memandang orang yang lewat dengan senyum tanpa ekspresi, atau tertawa aneh saat ada  yang mengajaknya bicara.
Dan sesungguhnya dia sudah cukup berusaha menjauh dari mereka dan bersembunyi dari pandangan penasaran para manusia.
Bahkan kucing-kucing liar tak mengindahkan keberadaannya.
Menjadi linglung tidak mudah, karena bukan gila atau kehilangan akal.
Menjadi linglung...
Lupa...
Bingung...
Bahkan Laras sulit menjelaskannya.
Saat suatu ketika ada yang bertanya, tentang siapa dirinya? Dari mana dia berasal? Siapa keluarganya?
Laras sulit menjelaskan.
Dia tiba-tiba diam seribu bahasa.
Menelengkan kepalanya dan memandang lawan bicaranya seraya mengernyit.
Pandangan nanarnya membuat orang langsung tahu, bahkan gadis itu pun tak tahu jawabannya.
Sudah sewindu sejak dia kehilangan semuanya.
Harapannya akan masa depan pupus bersama perginya cinta.
Ketika dia memutuskan cukup untuk bermimpi, Laras terlepas dari belenggu itu.
Namun itulah yang membuatnya linglung.
Bingung...Â
Lepas kendali...Â
Laras... tidak butuh kata-kata untuk mengembalikan kesadarannya.
Ia tak butuh petuah nasehat atau doa-doa.
Dia hanya butuh sendiri saja, merajut kelinglungannya dan mengisinya dengan kesibukan otaknya.
Baginya... hari ini, lusa dan esok nanti...Â
Semuanya tak membawa arti...Â
Pamulang, 18 Juli 2022, 15.50
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H