Mohon tunggu...
Niken Anggraini
Niken Anggraini Mohon Tunggu... Wiraswasta - podcast: anchor.fm/saya-niken

Novel : Suweng Mbah Tukah (gratis di Fizzo), Numa Dan Benda Bertuah (gratis di Fizzo), Pangeran Gelatik (gratis di Fizzo), Dita dan Sena: Sang Penakluk (gratis di Fizzo), Berlabuh Di Sisimu (Kwikku), Oh My Beebu (Hinovel, Sago, Bakisah, Ceriaca), Diary Cinta Naelsa:Macaca (Hinovel, Bakisah, Ceriaca)

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Musibah vs Berkah

28 November 2022   12:26 Diperbarui: 28 November 2022   12:38 262
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

"Maaf mbak," seru ibu itu sambil menerobosku yang mau antri membeli tiket kereta dengan terburu-buru.

Ia dan anaknya tanpa rasa bersalah mendahuluiku yang nyaris sudah di depan loket.

Aku malas ribut. Kubiarkan saja meski dalam hati  menggerutu kesal.

"Jangan sampai satu kursi sama aku," jeritku dalam hati.

Aku pun akhirnya berada di urutan kedua antrian setelah dia waktu itu. Usai mendapatkan tiket aku segera berlalu menuju gerbong kereta.

Mujur tak bisa diraih, malang tak bisa ditolak, aku malah satu kursi bersama ibu itu dan anaknya. Ingin pindah tempat tapi takutnya tak dapat kursi. Akhirnya aku cuma bisa menggerutu dalam hati karena harus duduk sekursi dengan ibu ini.


Karena dongkol aku pun tak banyak bicara. Diam saja. Pura-pura tidur. Membiarkan anak ibu itu, yang anaknya nggak bisa duduk diam, berlalu lalang melewatiku. Kebetulan aku duduk di dekat lorong. Bocah itu berkali-kali menyandung atau pun menginjak kakiku. Aku cuma bisa istiqfar biar tak sampai emosi menegurnya langsung ataupun mengingatkannya lewat ibunya.

Kereta melaju. Satu stasiun aman. Cuma berhenti sebentar untuk menaikan penumpang. Setelah itu melaju ke stasiun berikutnya. Sama seperti sebelumnya. Berhenti beberapa menit untuk menaikan penumpang langsung berangkat lagi.

Di stasiun ketiga aku merasa ada yang tak beres. Kereta berhenti lebih lama dari sebelumnya. Aku dan beberapa penumpang lainnya mulai gelisah.

"Kenapa sih ini? Tumben sampai segini lamanya nggak jalan-jalan juga. Kres kok lama amat," batinku.

Sama seperti penumpang yang lain gusar membuat kami celingukan ke sana kemari untuk mencari tahu penyebabnya.

Seorang pedagang asongan melintas. Langsung saja kutanyai.

"Mas ada apa sih kok kereta nggak jalan-jalan dari tadi?" tanyaku pada pedagang asongan itu.

"Itu mbak ada demo. Jalanan diblokade sama pendemo. Jadi kendaraan bermotor dan kereta nggak bisa jalan," jawabnya.

Huuufffttt...
"Aahhh, kayaknya bakalan telat kalau  kayak gini ini," gerutuku dalam hati.

Hari ini seorang teman di Malang mau melaunching bukunya. Aku diundang. Makanya aku ada dalam gerbong ini.

"Kenapa demonya hari ini sih? Bikin repot orang aja. Pakai memblokade jalan pula. Bener-bener menguji kesabaran ini," rutukku dalam hati.

Aku lihat penumpang lainnya juga sama gelisahnya sepertiku. Bolak-balik melongokan kepalanya ke arah luar kaca jendela untuk melihat perkembangan terbaru.

"Semoga pendemo mau diajak kompromi, mau mengizinkan kendaraan melintas lagi. Semoga mereka nggak merusak fasilitas umum ataupun melempari mobil atau kereta yang melintas," doaku dalam hati.

Pedagang asongan yang tadi kutanyai kembali melewati gerbongku sambil menjajakan dagangannya.

"Mas, gimana demonya? Masih memblokade jalan ya?"

"Masya Allah. Alhamdulillah," serunya yang membuatku bingung.

"Demo ini berkah. Berkat ada demo mbak mau menyapa saya. Mau nanya-nanya. Coba kalau nggak ada demo, mbak pasti cuek sama saya," selorohnya yang mau tak mau  kusambut dengan senyuman lebar.

"Belum mbak. Masih diupayakan sama petugas. Semoga pendemo mau minggir supaya kereta sama kendaraan lainnya bisa melintas," terangnya.

Aku cuma bisa mendengus kesal. Rasa-rasanya kalau negosiasi mereka tak berhasil aku nggak bisa ikut acaranya temanku nih.

"Kenapa sih demonya kok pakai memblokade jalan segala gini?" kataku kesal.

"Biar dapat perhatian dari pemerintah mbak. Mereka sudah sering demo tapi belum ada respon positif dari pabriknya. Jadi berharap pemerintah turun tangan mencarikan solusinya. Makanya mereka bilang sengaja menutup jalan supaya tuntutan mereka dapat perhatian. Gitu tadi kata mereka," jelas pedagang itu.

"Aaaahhh!!!,"  responku geram setelah pedagang asongan itu pergi.

Kembali aku menghembuskan nafas panjang sebagai usaha untuk mengusir kekesalan di hati.

"Mau kemana, Mbak?" tanya ibu di sebelahku.

"Mau ke Malang," jawabku.

"Kuliah atau tinggal di Malang?"

"Oohh, bukan keduanya. Saya sudah selesai kuliah lama. Ke Malang cuma mau mengunjungi teman," sahutku singkat saja.

Tak perlu mengatakan sedang mau menghadiri acara teman launching buku. Nanti malah repot menjelaskan ini itu. Aku lagi malas ngobrol. Sedang dongkol sama situasi.

"Kalau ibunya mau turun mana?" giliranku yang basa-basi sebentar. Sekadar menjaga sopan santun.

"Blitar,"

"Ooohh,"

Anak si ibu ini tiba-tiba berjalan terburu-buru menuju tempat duduknya yang di sebelah jendela. Untuk ke sekian kalinya kakiku  terinjak olehnya.

"Eh, ayo minta maaf! Kok kaki mbaknya kamu injak lagi," perintah ibu ini setelah mendengarku mengaduh kesakitan.

"Maaf!" katanya sambil mendaratkan pantatnya ke kursi. Bocah itu langsung minum air mineral di botol yang ada di meja kereta.

"Ibuk keretanya kok berhenti lama?"

"Iya,"

"Kenapa, Buk?"

"Masih ada demo,"

"Apa itu demo, Buk?"

"Orang-orang protes,"

"Protes itu apa, Buk?"

"Nggak setuju sama sesuatu,"

Anaknya itu akhirnya mengangguk dan tak bertanya lagi. Detik berikutnya ia berdiri lagi, aku buru-buru menekuk kakiku agar tak terinjak olehnya. Bocah itu kemudian kembali berjalan-jalan dalam gerbong entah kemana saja.

"Maafkan anak saya, mbak,"

"Oh, iya. Nggak masalah. Biasalah anak-anak," sahutku.

Ibu itu tersenyum lega.

"Anak saya dua orang. Yang barusan tadi anak nomor dua. Agak terganggu kecerdasannya. Dia dua kali nggak naik kelas. Harusnya sih sudah kelas 6,"

Mendadak saja aku merasa prihatin mendengarnya.

"Dia agak lambat mempelajari sesuatu. Mungkin perkembangan mentalnya sedikit terganggu. Gara-garanya dia tertekan di rumah kalau melihat bapaknya,"

"Bapaknya sendiri? Bapak kandung? Suaminya ibu?" tanyaku mencari kepastian.

"Iya. Suami saya. Bapak kandungnya dia,"

Aku mengangguk. Meski sedikit heran. Aku tadi bertanya seperti itu karena kukira bukan bapak kandung. Kalau tertekan pada bapak tiri wajarlah. Tapi kalau pada orang tua kandung kan jadi heran juga aku? Kok bisa?

"Suami saya orangnya kasar. Suka main tangan. Sering saya dipukulinya. Dulu waktu anak saya ini masih kecil dan belum saya sapih, sewaktu saya susui, bapaknya lagi kesal sama saya. Terus saya dipukulin. Sampai anak saya yang tadi itu jatuh dari gendongan. Sejak itu dia kalau lihat bapaknya sendiri suka takut,"

Aku cuma bisa menelan ludah mendengar ceritanya.

"Memang anak yang ini nggak pinter di pelajaran sekolah. Tapi dia pinter memahami perasaan saya. Fisiknya kan kuat, dia menawarkan diri ke tetangga-tetangga yang mau beli air, dia mau jadi jasa pikulnya. Jadi kalau ada tetangga beli air di gerobak gitu, anak saya yang tadi yang membelikannya di agen air bersih. Nanti dia yang ngangkat jerigen-jerigen air itu. Lumayan dapat uang dua ribu rupiah setiap satu gerobak air isi 8 jerigen,"

Aku menghembuskan nafas panjang mendengar kelanjutan cerita ibu itu.

"Uangnya dikasih ke saya. Katanya, ibuk ini buat belanja. Aku kasih dua ribu saja buat jajan di hari Sabtu nanti,"

Deg! Ada keharuan menyergap hatiku.

"Dia tahu kalau bapaknya suka marah-marah kalau saya mintain uang belanja,"

"Aah, ini sungguh menyesakan hati kisahnya," batinku.

"Anak saya yang pertama sudah mau lulus SMP. Dia sudah berkali-kali bilang ke saya, ibuk cerai aja sama bapak. Terus kita pindah aja ke Palembang. Kakaknya ibuk yang di Palembang kan punya usaha rumah makan. Ibuk kerja aja di sana. Kita bertiga pindah aja. Aku nggak tega ngeliat ibuk terus dimarahi bapak,"

Aku berusaha keras untuk tak meneteskan air mata. Takut ibu di sebelahku jadi sedih. Atau mungkin tersinggung jika aku memperlihatkan sikap kasihan padanya.

"Ini saya mau ke Blitar. Mau minta tolong Mas saya yang paling tua untuk membantu. Saya sudah nggak kuat sama kelakuan suami saya,"

Aku cuma bisa meresponnya dengan menghembuskan nafas panjang mendengar ceritanya.

Terdengar pengumuman dari speaker stasiun. Negosiasi tak berhasil. Pendemo akan menguasai jalan hingga Magrib nanti. Kereta akan kembali ke Surabaya. Bagi penumpang yang mau melanjutkan ke Blitar bisa memilih naik kereta Dhoho.

"Sepertinya kami akan naik yang Dhoho saja," gumam ibu itu.

Aku meresponnya dengan anggukan ringan dan senyum tipis. Tak lama kereta melaju kembali ke Surabaya.

Sebelum berpisah ibu itu meminta nomor teleponku. Tanpa pikir panjang aku kasih saja. Sewaktu aku mau turun di stasiun, tempat kami bertemu beberapa saat yang lalu itu, si ibu berkata padaku.

"Terima kasih sudah mau mendengar curhat saya mbak. Ngurangin beban hati saya ini. Lega rasanya. Aah, ini sungguh berkah buat saya, bisa punya tempat curhat begini,"

"Iya. Sama-sama, Bu. Saya pamit dulu ya, Bu. Assalamualaikum,"

"Waalaikum salam,"

Kami pun berpisah. Aku berjalan keluar stasiun. Aahh, tenyata musibah dan  berkah itu jalannya beriringan. Beberapa menit yang lalu, buat aku, ketemu ibu tadi adalah musibah. Namun ibu tadi mengganggap pertemuannya denganku adalah berkah. Sesuatu yang pada awalnya tidak kuketahui tapi pada akhirnya menjadi sesuatu yang aku syukuri karena aku mendapatkan pelajaran berharga hari ini. Musibah bisa jadi berkah[]

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun