"Nak, sepertinya Mama lembur lagi hari ini""Iya Ma, enggak papa. Aku bakal jaga rumah kok."Kata seorang Ibu terhadap putrinya. Anak gadis tersebut sedang bersiap untuk pergi ke sekolah. Setelah memakai sepatu dan tas, ia berpamitan dan segera meninggalkan rumah. Sinar mentari pagi mulai menyinari sekitarnya, tidak terkecuali dia. Ibu dan Ayahnya bercerai saat ia berusia lima tahun. Anak perempuan itu memiliki seorang kakak perempuan yang telah lulus sekolah menengah atas beberapa tahun lalu dan melanjutkan pendidikannya ke perguruan tinggi. Anak perempuan itu bernama Dea. Dia adalah anak yang pendiam, tidak banyak mengeluarkan kata-kata dari dalam mulutnya. Ia juga suka menyendiri. Iya duduk di bangku SMA kelas 10. Saat berangkat ke sekolah, ia selalu sendiri. Dia sering melihat anak-anak perempuan seusianya yang berbagai cerita dan tawa ketika dalam perjalanan menuju sekolah. Melihat hal itu, ada perasaan aneh yang timbul di hatinya. Dia selalu sendiri dan menyendiri karena tidak ada seorang pun yang mengajaknya untuk berteman. Ia selalu berpikir kenapa tidak ada yang mau berteman dengannya. Tapi akhir-akhir ini dia mulai tidak memedulikan hal itu lagi. Di dalam hatinya, dia juga ingin memiliki teman seperti yang lainnya. Saat di sekolah, karena dia selalu sendiri, dia sering mendapat ejekan dari anak laki-laki di kelasnya. Saat itu, ia mulai membenci segala hal dan bahkan dirinya sendiri. Saat membuat kelompok dalam pelajaran, tidak seorang pun yang mengajak dia. Dan hal ini telah dia alami untuk waktu yang lama. Begitu banyak kejadian yang membuatnya semakin beranggapan bahwa Tuhan tidak adil untuknya. "Kenapa Cuma aku yang tidak punya teman?, kenapa hanya karena itu aku selalu jadi bahan ejekan orang-orang?, kenapa orang lain begitu bahagia sedangkan aku tidak?"Kata-kata itu sering terbesit di pikirannya. "Jika memang takdirku selalu seperti ini, untuk apa aku harus melalui ini semua."Akhir-akhir ini, Dea mulai tidak memikirkan pertanyaan kenapa orang-orang tidak mau berteman dengannya. Dia tidak peduli lagi dengan hal itu. Bagaimana cara mengakhiri semuanya, itulah yang dia pikirkan sekarang. Di dalam kelasnya ada seorang anak perempuan bernama Rani. Dia adalah anak yang baik jujur dan sedikit penakut. Ia sering memperhatikan Dea saat di dalam kelas, dan ingin menghampiri Dea untuk berbicara dan berteman dengannya. Tapi ia selalu mengurungkan niatnya karena berpikir bahwa Dea tidak akan memedulikannya. Karena merasa terlalu banyak beban dalam pikirannya dari lingkungan sekolahnya, ia merasa bahwa ia adalah orang yang tidak berguna, dan tidak pantas untuk hidup. Keesokan paginya, matahari tidak cerah seperti biasanya bahkan terasa sejuk. Seperti biasa, dia berangkat ke sekolah dengan berjalan kaki di jalan yang biasa ia lewati. Di sekitar rumahnya terdapat persimpangan yang tidak banyak dilalui oleh orang. Dia menuju jalan tersebut. Di sana terasa sepi karena jarang sekali ada rumah. Setelah berjalan beberapa menit, ia melihat ada jurang di pinggir jalan. Karena tidak ada orang yang melintas, ia mendekati tepi jurang tersebut. Jurang itu sangat dalam dan hanya diberi pagar tembok sepahanya. Di atas tepi jurang itu, Dea memikirkan semua beban pikirannya. Dalamnya jurang, tidak sebanding dengan beban hidupnya. Itulah yang ia pikirkan saat ini. Padahal sudah beberapa menit dia berada di jalan tersebut, tetapi tidak ada seorang pun yang melintas. Dea berpikir, sekarang adalah waktu yang sangat tepat untuk melompat ke jurang yang dalam tersebut. Pikirannya tiba-tiba kosong saat ini, hanya memikirkan untuk segera melompat. Kemudian, saat ia sudah berdiri di atas pagar tembok untuk melompat, ada teriakan yang terdengar di telinganya. Ia menoleh dan melihat Rani yang berlari sambil berteriak-teriak," Deeaaaaaa!!"Rani berlari sekuat tenaga sampai salah satu sepatu di kakinya terlepas. Dia berlari sambil meneriakkan kata turun pada Dea. Rani segera menyusul Dea, dan menarik Dea hingga mereka terjatuh ke tanah. Rani menangis dengan keras, sehingga Dea tersadar. Rani menangis dan memeluk Dea, " Bodoh!, kamu bodoh! Hal kayak gitu enggak boleh dilakuin, tau enggak?"Kata Rani sambil menangis dengan keras. Dea yang telah sadar dan melihat Rani memeluknya membuat air matanya juga jatuh. ***Beberapa saat setelah itu, tangisan mereka mereda." Dea, walaupun beban hidup yang kamu rasakan itu sangat berat, kamu enggak boleh ngelakuin hal kayak gitu!, dan kamu harus janji kalau enggak ngelakuin itu lagi, oke?"Dea hanya mengangguk kecil mendengarnya. Kemudian Dea mengatakan bahwa dia selalu sendiri, tanpa ada tempat untuk mencurahkan isi hati dan pikirannya. Mendengar ucapan Dea, Rani menjawabnya dengan berkata bahwa ia akan menjadi teman Dea dan akan menemani Dea dalam keadaan susah dan senangnya.Setelah Dea merasa tenang, Rani pun mengajak Dea untuk pergi ke sekolah bersama. Rani menarik tangan Dea dan mereka berlari menuju sekolah. Dalam perjalanan, mereka melihat seorang anak disabilitas yang tampak bahagia bermain dengan temannya. Melihat hal itu, Dea merasa bersalah karena telah berkecil hati pada hidupnya. Sesampainya di sekolah, pagar sekolah mereka sudah ditutup. Dan mereka membuka pagar tersebut dengan hati-hati. Tiba-tiba seorang guru melihat mereka berdua yang datang terlambat. Mereka berdua pun langsung disuruh untuk membersihkan toilet sekolah. Saat mereka membersihkan toilet, Rani berbagi cerita dan tawa dengan Dea. Dan Dea merasa sangat senang, akhirnya ia memiliki seorang teman yang baik hati. Setelah membersihkan toilet, guru yang melihat mereka datang terlambat itu pun berkata bahwa mereka sudah bisa memasuki kelas. Mereka segera beranjak menuju ruang kelas." Jam istirahat nanti, kita beli siomay mang Ucup yuk Dea""mm, ayuk !"Kata Dea sambil tersenyum. Dia bersyukur dan mengubah pendapatnya tentang Tuhan itu tidak adil. Saat itu, ada sesuatu yang terbesit di pikiran Rani." Untung aja aku bangun kesiangan, hehe."
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI