Epistemologi Hermeneutik: Dari Penjelasan Menuju Pemahaman
Dualitas Cara Mengetahui: Erklren dan Verstehen
Dilthey menegaskan bahwa pengetahuan manusia tidak bersifat tunggal. Ia membedakan antara dua cara mengetahui: menjelaskan (Erklren) dan memahami (Verstehen). Ilmu alam menjelaskan fenomena melalui hubungan sebab-akibat; ilmu kemanusiaan berusaha memahami makna dan nilai yang dihidupi manusia.
Dalam akuntansi, perbedaan ini sangat terasa. Penelitian keuangan kuantitatif umumnya menjelaskan hubungan antara variabel-variabel misalnya, bagaimana leverage memengaruhi nilai perusahaan. Namun, pendekatan ini tidak dapat menjawab pertanyaan yang lebih mendasar: mengapa seorang manajer memilih keputusan tertentu? apa makna laba bagi suatu komunitas bisnis? Pertanyaan-pertanyaan seperti itu membutuhkan pemahaman, bukan sekadar penjelasan.
Bagi Dilthey, pengetahuan manusia tidak bersifat tunggal. Ia membedakan dua cara mengetahui: menjelaskan (Erklren) dan memahami (Verstehen). Ilmu alam menjelaskan fenomena dengan hukum sebab-akibat; sedangkan ilmu manusia memahami kehidupan melalui makna yang dihayati. Kedua cara ini sama-sama rasional, tetapi rasionalitasnya berbeda. Jika ilmu alam mencari hukum universal, ilmu manusia mencari koherensi makna dalam konteks pengalaman hidup.
Dalam akuntansi, dualitas ini menjelaskan mengapa penelitian keuangan kuantitatif tidak pernah sepenuhnya menggambarkan kenyataan sosial di balik angka. Analisis statistik dapat menunjukkan korelasi antara leverage dan profitabilitas, tetapi tidak dapat menjelaskan mengapa seorang manajer memilih strategi tertentu, atau bagaimana nilai moral memengaruhi keputusan pelaporan. Di sinilah pendekatan hermeneutik mengambil tempat: ia tidak sekadar mencari penjelasan empiris, melainkan pemahaman batin.
Fisiologi dan Psikologi sebagai Metafora Epistemologis
Hermeneutika Dilthey dijelaskan dengan dua metafora epistemologis: fisiologi dan psikologi. Fisiologi menggambarkan cara mengetahui yang melihat objek dari luar. Seperti dokter yang mendiagnosis tubuh pasien secara empiris, paradigma positivistik dalam akuntansi memandang organisasi sebagai entitas yang bisa diukur dan dikontrol. Rasio keuangan, laba, dan arus kas menjadi indikator objektif dari "kesehatan" perusahaan.
Fisiologi menggambarkan cara mengetahui dari luar objek dipandang sebagai benda yang tunduk pada hukum mekanis. Dalam konteks akuntansi, paradigma ini tampak dalam pendekatan empiris-positivistik yang melihat perusahaan sebagai "tubuh ekonomi" yang dapat diukur kesehatannya lewat rasio keuangan.
Sebaliknya, psikologi menggambarkan cara memahami dari dalam. Bagi Dilthey, psikologi tidak sekadar mempelajari gejala mental, tetapi berusaha menghidupkan kembali pengalaman batin orang lain (nacherleben). Pengetahuan lahir dari empati, bukan sekadar observasi. Dalam akuntansi, ini berarti peneliti atau akuntan perlu memahami bagaimana pelaku ekonomi merasakan angka bagaimana laba dipahami sebagai hasil usaha dan tanggung jawab, bagaimana defisit dimaknai sebagai beban moral, dan bagaimana transparansi dipandang sebagai cerminan kejujuran.
Dengan cara ini, akuntansi hermeneutik menggeser posisi peneliti dari "pengamat netral" menjadi "penafsir yang terlibat." Ia mengandaikan empati upaya menghidupkan kembali pengalaman batin orang lain (nacherleben). Dalam akuntansi hermeneutik, peneliti tidak hanya meneliti angka, tetapi berusaha memahami bagaimana angka itu dihayati. Laporan keuangan dipandang sebagai ekspresi batin pelaku ekonomi simbol dari nilai, rasa tanggung jawab, bahkan pergulatan moral. Angka laba, misalnya, tidak hanya mencerminkan hasil usaha, tetapi juga nilai keberkahan atau keadilan yang dirasakan komunitas.