Pagi itu, matahari bersinar indah, menyinari gunung tinggi yang berdiri gagah di belakang rumahku. Dari kecil aku selalu melihatnya, tapi jarak dan misterinya membuatnya tampak seperti dunia lain. Gunung itu belum pernah didaki oleh siapa pun di desa kami, seakan menyimpan banyak rahasia yang menunggu untuk ditemukan. Bentuknya yang kokoh dan puncaknya yang diselimuti kabut membuatnya terlihat seperti penjaga tua yang setia menjaga sesuatu di balik sana.
Pemandangan pagi itu menggetarkan hatiku. Ada dorongan yang tak bisa kutahan, keinginan untuk mendakinya, mengungkap apa pun yang disembunyikannya. Namun, cerita-cerita yang beredar di desa tak pernah membuat nyali ini tenang. Mereka bilang gunung itu kerap mengeluarkan suara gemuruh di malam hari. Gemuruhnya dalam, berat, seolah berasal dari perut bumi. Ada yang percaya itu suara batu runtuh, ada yang bilang itu roh penunggu gunung yang sedang berbicara.
Hanya satu orang yang pernah mencoba mendaki. Namanya Saka, seorang pendaki muda yang selalu terlihat tersenyum. Ia pergi sendirian suatu pagi, dengan ransel besar dan tekad yang membara. Namun, ia tak pernah kembali. Sejak saat itu, gunung menjadi simbol rasa takut dan kehilangan bagi kami semua.
Aku tahu risikonya besar, tetapi rasa penasaran ini seperti api kecil yang terus membesar. Jika aku tidak mencobanya, aku akan selamanya bertanya-tanya. Malam itu, aku memutuskan untuk berangkat sebelum fajar.
Malam turun perlahan, seperti tirai tipis yang menutup panggung kenangan. Di kaki gunung, di bawah pohon randu tua yang sudah ada sejak nenekku kecil, aku duduk diam. Angin malam menyisir rambutku, membawa bisik-bisik masa lalu yang entah datang dari mana. Pohon itu pernah menjadi tempatku bermain bersama seseorang yang dulu sangat berarti.
Kenangan itu kembali menekan dada. Jalan tanah di hadapanku adalah jalan yang dulu pernah kulalui bersamanya. Saat itu kami tertawa, saling berjanji akan sampai ke puncak suatu hari nanti. Tapi janji itu terputus, ia pergi tanpa sempat berpamitan, meninggalkanku dengan pertanyaan yang tak pernah terjawab.
Aku bangkit. Langkahku menyusuri jalan setapak itu terasa ringan di kaki, tetapi berat di hati. Aku tidak hanya membawa bekal pendakian, tapi juga kenangan yang membebani. Suara gemuruh yang dulu kudengar dari kejauhan kini terdengar lebih jelas, seperti napas panjang yang keluar dari dada raksasa yang tertidur.
Setiap tikungan jalan memberiku pemandangan baru: lereng yang diselimuti lumut, batu-batu besar yang tergeletak seperti penanda waktu, dan pohon-pohon tinggi yang memayungi jalanku. Tapi di sela-sela semua itu, ada suara lain suara lembut yang hanya terdengar di kepalaku. Suara itu memanggil, seperti dulu ia memanggilku dengan nada hangat.
Waktu berjalan tanpa kusadari. Ketika aku sampai di sebuah tebing kecil yang menghadap ke arah timur, fajar mulai menyapa dengan cahaya pucat. Embun menetes dari daun-daun, memantulkan cahaya yang samar. Pemandangan itu mengingatkanku pada air mata yang pernah menetes di pipiku, dan bagaimana, pada akhirnya, semuanya akan mengering.
Di tempat itu, aku sadar bahwa rahasia gunung ini bukanlah harta atau benda misterius. Rahasianya adalah bagaimana ia mengajarkan bahwa tidak semua kehilangan harus dikejar, dan tidak semua rindu harus pulang. Kadang, yang perlu kita lakukan hanyalah terus berjalan, meninggalkan sebagian masa lalu di belakang, dan membawa sisanya sebagai bagian dari diri kita.
Aku menatap puncak gunung yang masih jauh. Mungkin aku akan sampai, mungkin juga tidak. Tapi satu hal pasti, langkah ini harus kulanjutkan, meski tak lagi bersama orang yang dulu menjanjikannya.