Â
Konsep ini tidak memperhitungkan dampak perubahan tingkat harga spesifik aset maupun inflasi secara umum. Fokusnya adalah pada nilai nominal. Apabila sebuah entitas memulai usaha dengan modal Rp100 juta dan pada akhir tahun modalnya tercatat sebesar Rp120 juta, maka laba yang diakui adalah Rp20 juta. Pendekatan ini sederhana, objektif, dan dapat diverifikasi berdasarkan data transaksi historis.Keunggulan: Objektivitas dan kemudahan verifikasi. Karena didasarkan pada biaya perolehan historis yang tercatat, pendekatan ini mengurangi unsur subjektivitas dan mempermudah proses audit.
Kelemahan Utama: Dalam kondisi inflasi, konsep ini berpotensi menghasilkan "laba semu" (illusory profit). Sebagai ilustrasi, sebuah perusahaan membeli persediaan seharga Rp10 juta dan menjualnya seharga Rp12 juta, sehingga mencatatkan laba Rp2 juta. Namun, akibat inflasi, biaya untuk membeli kembali persediaan yang sama kini telah meningkat menjadi Rp11 juta. Secara nominal, perusahaan memang membukukan laba Rp2 juta. Akan tetapi, sebesar Rp1 juta dari laba tersebut sesungguhnya dibutuhkan hanya untuk mempertahankan tingkat persediaan semula. Laba riil yang dapat didistribusikan tanpa mengurangi kemampuan operasional hanyalah Rp1 juta. Dengan demikian, laba yang dilaporkan sebesar Rp2 juta menjadi kurang relevan karena sebagian darinya bukanlah keuntungan sejati.
Pada akhirnya, diskursus antara modal keuangan dan modal fisik menegaskan satu hal yang esensial: akuntansi bukanlah ilmu pasti, melainkan sebuah "teknologi sosial"—sebuah bahasa yang dirancang oleh manusia untuk mencapai tujuan tertentu. Oleh karena itu, pengukuran laba tidak hanya menyangkut aspek teknis, tetapi juga merefleksikan nilai-nilai institusional dan filosofi yang dianut oleh sebuah entitas.
Dominasi penggunaan konsep modal keuangan berbasis biaya historis di tataran global mencerminkan preferensi terhadap objektivitas, keterverifikasian, dan daya banding, sekalipun harus mengorbankan sebagian relevansi informasi di tengah kondisi inflasi.
Dengan demikian, ketika kita menelaah angka laba yang dilaporkan, ada baiknya kita melihatnya dengan perspektif yang lebih luas. Mari kita ajukan pertanyaan-pertanyaan yang lebih mendalam: Bagaimana laba tersebut diukur? Apakah ia telah memperhitungkan biaya riil untuk mempertahankan operasional di masa depan? Apakah "keuntungan" yang dilaporkan benar-benar mencerminkan peningkatan kekayaan yang sesungguhnya?