Angkasa memandang Bumi dengan tatapan lekat.
"Jika saja aku berbagi rahasia yang paling rahasia, bisakah kau memastikan hatimu akan tetap milikku? "
Angkasa hanya bergumam dalam hati dan bergumul dengan pemikirannya sendiri, sementara Bumi sibuk bergelut dengan dunianya. Pekerjaannya. Prioritas hidupnya.
Bumi dikelilingi oleh kesalehan atmosfer yang mereka sebut keluarga. Bumi memiliki kehangatan yang membuatnya dapat pula menyerbarkan hangat berkat atmosfer yang melingkupinya.
Bumi dengan atmosfer hangatnya. Hanyalah riwayat. Bumi yang Angkasa kenal menjadi Bumi yang sarkas, dan dingin.
"Bumi, bagaimana perspektif warna nya menurutmu? "
Lagi. Angkasa selalu bertanya pendapat Bumi tentang lukisan yang sedang dia buat. Dan lagi. Bumi hanya memfokuskan diri pada dunianya. Seolah mengacuhkan dan diacuhkan adalah hembusan nafas yang sudah biasa menjadi rutinitas.
Dalam dekap erat gemintang yang menatap nelangsa, pada acuh malam Angkasa mulai hidup dengan senyum sabitnya. Berkawan dengan kanvas dan kuas.
" Hanya dengannya tempatku melepas jenuh dan keluh kesah. " Angkasa menghela nafas
Dengan lembut, dia mulai meraih kanvas dan menorehkan warna dengan kuasnya.Â
Entah panorama apa yang akan Ia lukiskan. Angkasa membaurkan warna, tanpa peduli bahwa warna memiliki kekuatan tersendiri untuk menyampaikan dan mengkomunikasikan arti dan pesan meski tanpa menggunakan kata.Â