Untuk nama yang terakhir ini sering menjadi sasaran "pengambilan tuak/Hor Tuak, secara paksa  dalam diam. Siang-siang, ketika Amai Kewihal sudah pulang, beliau memanjat pohon tuak milik amai Kewihal, dengan santai memenuhi dahaganya. Dan biasanya, Amai Kewihal sudah tahu siapa gerangan pelaku yang sering melakukan hal itu.Â
Maka, sore harinya, ketika mengetahui tuaknya tidak sebanyak yang diharapkan, dia akan menumpakan kekesalannya dengan berteriak dari atas pohon mengumpat sang penyadap tuak ilegal. Terkadang dengan caci maki dan umpatan yang kasar lainnya. Kake Hukulima biasanya dengan santai menjawab umpatan itu dari dalam wetaknya, "temakewen nebo "l...ke" gao mon n Kwiha...". Agak saru maka kata yang diberi titik-titik, tidak boleh diteruskan dan juga tidak boleh  diterjemahkan.
Mereka datang dengan riang sambil bersenda gurau. Masing-masing datang membawa macam-macam penganan; ubi bakar, singkong bakar, dan lain-lain, tidak terkecuali menu andalan Tua Motoken (tuak).Â
Mereka akan menghabiskan sore hari dengan makan sambil bercerita apa saja. Tentang kebun, binatang peliharaan, kucing hutan, musang, dan hal-hal lain.Â
Ketika hari sudah larut, mereka akan berjalan beriringan, dengan badan agak oleng kiri-kanan karena alkohol mulai bekerja. Menjelang masuk kampung, ada persimpangan yang dinamakan Hemener. Mereka akan berpencar disini menuju rumah masing-masing untuk kemudian beristirahat.
Saya yang setia menemani tidurnya hanya bisa diam mendengarkan sambil memejamkan mata. Saya tahu bahwa semburan kara-kata yang keluar adalah akibat dari alkohol sore tadi yang belum reda. Maka tidak harus terlalu serius mendengarkan.
Lalu Aniem itu apa? Dia menjawab lagi, itu perusahaan yang membuat lampu menyala. Dalam diam saya cukup bangga dan kagum dengan pencapaian kakek, lebih-lebih sampai ke negri Belanda, bekerja pula di perusahaan hebat yang membuat lampu bisa menyala, tidak pakai "bodo" hehe.