Mohon tunggu...
Ngudi Tjahjono
Ngudi Tjahjono Mohon Tunggu... Dosen - Menyukai menulis dan menggambar

NGUDI TJAHJONO. Lahir di Lumajang tanggal 22 Maret 1960. Bekerja sebagai dosen di Universitas Widyagama Malang. Menekuni bidang Transportasi, Ergonomi dan Lingkungan Hidup. Menulis dan melukis adalah kegemarannya. Menjadi motivator spiritual dan pengembangan sumberdaya manusia adalah panggilan hatinya.

Selanjutnya

Tutup

Filsafat Pilihan

Fenomena Berpasangan

18 Agustus 2022   17:16 Diperbarui: 18 Agustus 2022   18:34 332
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Filsafat. Sumber ilustrasi: PEXELS/Wirestock

Sang Pencipta alam -Allah Subhanahu wa ta'ala- telah memberitahu kita di dalam al-Qur'an surat ke 51 [Adz Dzariyaat] ayat 49, "Dan segala sesuatu Kami ciptakan berpasang-pasangan supaya kamu mengingat kebesaran Allah." Maka perhatian kita menjadi lebih fokus untuk melihat lebih cermat dan dalam tentang fenomena ini. Memang benar, kita bisa mengatakan gelap karena ada terang. Kegelapan terjadi karena ketiadaan cahaya (terang).

Lebih lanjut kita bisa mengidentifikasi pasangan-pasangan di alam ini, seperti: laki-laki >< perempuan, gelap >< terang, tinggi >< rendah, berat >< ringan, besar >< kecil, baik >< buruk, indah >< jelek, benar >< salah, bahagia >< sengsara, absolut >< relatif, ada >< tiada, nyata >< ghaib, mudah >< sulit, gampang >< sukar, stabil >< labil, dll.

Kita bisa menggunakan fenomena ini untuk memahami berbagai hal. Dengan cara membandingkan fenomena berpasangan ini, kita bisa memahami konsep relativitas. Dengan fenomena ini pula kita bisa dengan mudah memahami keberadaan Tuhan. Dengannya pula kita bisa menilai status diri sendiri (tidak perlu menilai status orang lain).

Pembandingan

Dengan adanya fenomena berpasangan ini kita bisa menggunakannya untuk memahami segala sesuatu dengan cara membandingkan. Pembandingan ini biasanya dilakukan dengan menyandingkan dua hal yang saling berlawanan.

Kita bisa mengatakan si Fulan itu berperawakan tinggi karena ada pembandingnya, yaitu tinggi rata-rata kebanyakan orang. Namun, si Fulan itu dikatakan pendek jika dibandingkan dengan orang yang lebih tinggi darinya.

Baca juga: Senang dan Bahagia


Kita bisa menyebut orang kaya karena ada orang miskin. Andaikan semua orang memiliki harta yang sama jumlahnya, maka kita tidak bisa lagi menyebutnya kaya atau miskin.

Kita juga bisa mengatakan "kereta cepat" karena ada kereta yang berjalannya lambat. Namun, "kereta cepat" itu dikatakan lambat jika dibandingkan dengan pesawat terbang.

Keberadaan Tuhan

Fenomena berpasangan ini juga bisa kita gunakan untuk memahami keberadaan (eksistensi) Tuhan. Di dalam Al Qur'an surat Asy Syuura ayat 11 disebutkan, "Tidak ada sesuatu pun yang serupa dengan Dia (Allah)." Maka pernyataan ayat ini menegaskan, bahwa Allah tidaklah sama dengan apa pun yang ada di alam ini. 

Serupa pun tidak, apalagi sama. Maka ketika melihat semua yang di alam ini bersifat "relatif", maka Allah tidak seperti itu, melainkan "mutlak" (absolute). Kita memahami bahwa semua yang di alam ini "berbilang" (tidak tunggal), maka Allah tidak seperti itu, melainkan "tunggal" (esa, satu-satunya atau unique).

Kita mengetahui bahwa di alam ini ada kesamaan satu dengan lainnya, misalnya manusia satu dengan lainnya memiliki karakteristik yang sama. 

Demikian juga dengan sapi, ada kesamaan karakteristik di antara mereka. Begitu juga dengan benda-benda atau makhluk lainnya. Dengan demikian, maka Allah tidaklah seperti itu. Allah tidak sama atau serupa dengan apa pun, atau disebut distinct.

Semua yang ada di alam ini bersifat sementara, "dilahirkan" (diadakan) dan kemudian "mati" (ditiadakan). Makhluk hidup itu pada awalnya dihidupkan dan kemudian dimatikan. Secara umum dikatakan, bahwa makhluk itu berawal dan berakhir. Berdasarkan ayat di atas, maka Allah tidak seperti itu. Allah tidak berawal dan tidak berakhir (abadi).

Jadi, tidaklah mungkin Allah itu serupa atau sama dengan manusia, karena manusia itu lemah dan bisa mati. Juga, Allah tidak sama dengan alam semesta, karena alam semesta pun juga bersifat sementara.

Menilai Status Diri Sendiri

Fenomena berpasangan ini dapat kita gunakan untuk menilai status diri sendiri. Kita bisa menilai diri kita sedang sakit karena faktanya sedang tidak sehat. Kita bisa mengatakan diri kita sengsara karena faktanya sedang tidak bahagia.

Atau bisa juga kita menggunakan pernyataan alernatif yang positip. Kita merasa nyaman karena faktanya kita tidak merasakan ketidaknyamanan. Kita bisa menilai diri kita adalah orang beriman, karena kita tidak membenci atau ingkar (kafir) terhadap Allah.

Kita bisa menilai diri kita adalah orang baik karena kita membenci perbuatan buruk. Kita bisa menilai diri kita sebagai orang beradab karena kita membenci kebiadaban. Kita bisa menilai diri kita sebagai orang jujur karena kita membenci perbuatan curang dan bohong.

Kita bisa bersyukur atas kecukupan hidup karena tidak hidup dalam serba kekurangan. Kita bersyukur atas nikmat Allah yang tak bisa kita hitung, karena kita tidak melihat kehidupan ini dalam pandangan sempit.

 

Kosekuensi Logis

Fenomena berpasangan ini mengandung semacam hukum "konsekuensi logis" yang bisa kita gunakan untuk mengelola diri kita agar menjadi lebih baik. Beberapa contoh dapat dituliskan sebagai berikut:

  • Jika ingin sehat, jauhilah segala hal yang tidak membuat tubuh sehat, seperti pola makan, pola kegiatan, orientasi hidup, manajemen kejiwaan, dll.!
  • Jika ingin bahagia, jauhilah hal-hal yang mengundang kesengsaraan! Hitung-hitunglah nikmat yang telah diberikan Allah kepada kita, dan bersyukurlah!
  • Jika ingin nyaman, jauhilah hal-hal yang menyebabkan ketidaknyamanan!
  • Jika ingin hidup sukses, jauhilah hidup malas!
  • Jika ingin beriman, jauhilah kefasikan, kemunafikan, dan kekafiran!

 

Perintah Bekerja (Berikhtiar)

Berikut disajikan beberapa ayat yang memotivasi kita agar kita sukses dan bahagia. Tentu, jika kita menginginkan untuk mendapatkan kebahagiaan itu, maka sudah semestinya harus mengikuti seruan itu.

  • Dan katakanlah, "Bekerjalah kamu, maka Allah dan Rasul-Nya serta orang-orang mukmin akan melihat pekerjaanmu itu, dan kamu akan dikembalikan kepada (Allah) yang mengetahui akan yang ghaib dan yang nyata, lalu diberitakan-Nya kepada kamu apa yang telah kamu kerjakan." (Q.S. At Taubah [09]: 105)
  • Katakanlah, "Hai kaumku, bekerjalah sesuai dengan keadaanmu! Sesungguhnya aku akan bekerja (pula). Maka kelak kamu akan mengetahui." (Q.S. Az Zumar [39]: 39)
  • Dan barangsiapa yang menghendaki kehidupan akhirat dan berusaha ke arah itu dengan sungguh-sungguh sedang ia adalah mukmin, maka mereka itu adalah orang-orang yang usahanya dibalasi dengan baik. (Q.S. Al Israa' [17]: 19)

Wallahu a'lam bish shawab. []

Ngudi Tjahjono (Malang, 18 Agustus 2022)

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Filsafat Selengkapnya
Lihat Filsafat Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun