Mohon tunggu...
Ngudi Tjahjono
Ngudi Tjahjono Mohon Tunggu... Dosen - Menyukai menulis dan menggambar

NGUDI TJAHJONO. Lahir di Lumajang tanggal 22 Maret 1960. Bekerja sebagai dosen di Universitas Widyagama Malang. Menekuni bidang Transportasi, Ergonomi dan Lingkungan Hidup. Menulis dan melukis adalah kegemarannya. Menjadi motivator spiritual dan pengembangan sumberdaya manusia adalah panggilan hatinya.

Selanjutnya

Tutup

Filsafat Pilihan

Fenomena Berpasangan

18 Agustus 2022   17:16 Diperbarui: 18 Agustus 2022   18:34 332
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Filsafat. Sumber ilustrasi: PEXELS/Wirestock

Kita mengetahui bahwa di alam ini ada kesamaan satu dengan lainnya, misalnya manusia satu dengan lainnya memiliki karakteristik yang sama. 

Demikian juga dengan sapi, ada kesamaan karakteristik di antara mereka. Begitu juga dengan benda-benda atau makhluk lainnya. Dengan demikian, maka Allah tidaklah seperti itu. Allah tidak sama atau serupa dengan apa pun, atau disebut distinct.

Semua yang ada di alam ini bersifat sementara, "dilahirkan" (diadakan) dan kemudian "mati" (ditiadakan). Makhluk hidup itu pada awalnya dihidupkan dan kemudian dimatikan. Secara umum dikatakan, bahwa makhluk itu berawal dan berakhir. Berdasarkan ayat di atas, maka Allah tidak seperti itu. Allah tidak berawal dan tidak berakhir (abadi).

Jadi, tidaklah mungkin Allah itu serupa atau sama dengan manusia, karena manusia itu lemah dan bisa mati. Juga, Allah tidak sama dengan alam semesta, karena alam semesta pun juga bersifat sementara.

Menilai Status Diri Sendiri

Fenomena berpasangan ini dapat kita gunakan untuk menilai status diri sendiri. Kita bisa menilai diri kita sedang sakit karena faktanya sedang tidak sehat. Kita bisa mengatakan diri kita sengsara karena faktanya sedang tidak bahagia.

Atau bisa juga kita menggunakan pernyataan alernatif yang positip. Kita merasa nyaman karena faktanya kita tidak merasakan ketidaknyamanan. Kita bisa menilai diri kita adalah orang beriman, karena kita tidak membenci atau ingkar (kafir) terhadap Allah.

Kita bisa menilai diri kita adalah orang baik karena kita membenci perbuatan buruk. Kita bisa menilai diri kita sebagai orang beradab karena kita membenci kebiadaban. Kita bisa menilai diri kita sebagai orang jujur karena kita membenci perbuatan curang dan bohong.

Kita bisa bersyukur atas kecukupan hidup karena tidak hidup dalam serba kekurangan. Kita bersyukur atas nikmat Allah yang tak bisa kita hitung, karena kita tidak melihat kehidupan ini dalam pandangan sempit.

 

Kosekuensi Logis

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Filsafat Selengkapnya
Lihat Filsafat Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun