Tirakat didefinisikan sebagai cara 'mempersulit diri' demi mencapai kebahagiaan. Sebelum tirakat, orang harus terlebih dulu taat. Taat berlalu lintas, dalam kerangka lebih jauh, adalah jalan yang bisa mengantarkan kita kepada kebahagiaan.
Jalanan yang liar dan banal bisa diredam dengan dua kata kunci: sabar dan sadar. Dua hal ini yang menjadi pencegah munculnya sifat arogan di jalanan.
Keselamatan itu merupakan prioritas berkendara. Setelah itu baru kecepatan. Realitas balapan di jalanan merupakan kebalikan prioritas dalam berkendara. Demi mencapai tujuan, kecepatan diutamakan, sementara keselamatan masuk dalam pertimbangan kesekian. Juga demi kecepatan, hak orang lain di jalanan diambil dengan egois.
Bab II bertajuk "Menimbang Hukum Tertib Berlalu Lintas". Ada sepuluh sub judul di bab ini. Semuanya menarik. Substansinya memberikan pengetahuan dan kesadaran untuk tertib berlalu lintas.
Misalnya sub judul "Implikasi Hukum Klakson di Jalan Raya". Jika kita berkendara, bunyi klakson sangat sering kita dengarkan. Seolah masing-masing pengendara berlomba membunyikannya.
Kata M. Faizi, fungsi dasar klakson adalah peringatan demi keselamatan. Klakson bisa dibunyikan jika benar-benar ingin meminta perhatian kepada pengguna jalan yang lainnya. Jika tidak maka jangan sampai membunyikan klakson. Ada dua manfaat dengan tidak membunyikan klakson, yaitu menambah konsentrasi dan mengurangi polusi udara.
Bab ini secara sederhana membongkar hal-hal yang selama ini kita anggap normal padahal sebenarnya anomali. Ada banyak dasar agama yang digunakan dalam menyusun argumentasi. Jadinya berkendara dengan tertib itu sesungguhnya merupakan ibadah.
Bab III bertajuk "Berakhlak di Jalan Raya". Selama ini, akhlak dan jalan raya seolah dua hal yang tidak ada korelasinya. Padahal korelasinya sangat erat.
Saya ingin mengutip salah satu pendapat tentang relasi akhlak dan berkendara. Mengambil jalur lain untuk mendahului itu hal yang lumrah di jalanan. M. Faizi mengingatkan:
Jika kamu mengambil hak orang lain, maka orang lain itu mungkin akan rugi. Dia tidak membalas mungkin karena dia memang rela, atau karena tidak bisa, atau karena tidak sempat. Tapi, hukum karma tetap berlaku. Kerugian dalam bentuk yang lain pasti akan menimpa dirimu dan atau orang terdekatmu. Tak ada perbuatan yang tanpa balasan, sereceh apa pun itu bentuknya.
Â