Mohon tunggu...
Ngainaya Zahrotul Fitriyah
Ngainaya Zahrotul Fitriyah Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa S1 Jurusan Sosiologi di Universitas Airlangga

Obsessed with learning new things in life.

Selanjutnya

Tutup

Analisis

Konstruksi Logika Konsumsi "Symbolic Value" Sebagai Strategi Memperkuat Daya Beli Masyarakat untuk Mencegah Resesi Ekonomi

10 Maret 2023   14:38 Diperbarui: 11 Maret 2023   12:07 330
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber Gambar: https://pin.it/5tDM8JT

Berdasarkan perkiraan para pengamat ekonomi dunia, resesi ekonomi global digadang-gadang akan menjadi ancaman serius pada tahun 2023. Mengutip dari CNBC Indonesia (2022) Menteri Keuangan, Sri Mulyani Indrawati SE MSc PhD mengatakan bahwa pada realitanya, kondisi ekonomi pada tingkat global saat ini sedang tidak baik-baik saja. Mengetahui hal tersebut, maka diperlukan strategi yang mampu mempertahankan perekonomian Indonesia agar tidak terperosok dalam jurang resesi 2023.

Apapila menengok kebelakang, pada masa sulit yang belum lama ini, yaitu pandemi Covid-19 yang juga menimbulkan ancaman resesi ekonomi akibat fluktuasi ekonomi yang tinggi, Usaha Mikro Kecil Menengah (UMKM) menjadi solusi yang paling jitu dalam menghadapi masalah ekobomi. Saat ini, dalam mempersiapkan diri menghadapi ancaman resesi ekonomi 2023, strategi baru haruslah segera dirumuskan sehingga dapat memperkuat pertahanan ekonomi Indonesia. Strategi tersebut dapat ditemukan dengan melakukan pemahaman yang kritis terhadap gambaran umum mengenai cara-cara dalam mencegah resesi ekonomi. Kemudian, akan dihasilkan suatu solusi dengan memfokuskan pada strategi perwujudan masing-masing cara pencegahan resesi tersebut.

Sebagai langkah awal, kita juga perlu memahami secara kritis terlebih dahulu mengenai apa itu resesi ekonomi. Menurut Susanti (2022) bahwa resesi ekonomi merupakan adanya suatu periode dimana kegiatan ekonomi mengalami penurunan yang berimplikasi pada pekerjaan, pendapatan, manufaktur maupun penjualan. Perode tersebut dapat terjadi selama berbulan-bulan bahkan bertahun-tahun mengingat sifatnya yang stagnan dan lama. Pada situasi terburuk ditandai dengan tingginya tingkat pengangguran, penurunan keuntungan perusahaan hingga kebangkrutan ekonomi.

Mengetahui bagaimana bahaya yang ditimbulkan maka masyarakat dan pemerintgah harus selalu waspada dengan terus mengamati pada ciri-ciri terjadinya resesi ekonomi. Hal tersebut dapat dilihat dari lebih tingginya intensitas impor dibandingkan ekspor, semakin sempitnya lapangan pekerjaan dengan berbagai alasan, ketidak seimbangan antara produksi dan konsumsi yang mengakibatkan penumpukan atau kurangnya stok barang, dan lain sebagainya. Apabila melihat dari beberapa penyebab resesi ekonomi yang telah dijelaskan tadi maka terdapat beberapa cara untuk mencegahnya, salah satunya adalah dengan mengupayakan adanya belanja secara besar-besaran sehingga mampu memperkuat daya beli. Dengan demikian, permintaan dalam negeri pun akan juga meningkat sehingga dunia usaha terdorong untuk berinvestasi.

Dalam memperkuat daya beli masyarakat salah satunya dapat dilakukan dengan sisi permintaan dalam jual beli. Untuk itu, pemerintah sudah merealisasikan beberapa bantuan sosial seperti program subsidi gaji dan pemberian kartu prakerja untuk merekan yang belum bekerja. Tidak hanya pekerja, pemerintah juga telah mengeluarkan beberapa bantuan kepada para pelaku usaha. Sekarang, hal lain yang dibutuhkan adalah strategi agar kegiatan berbelanja dalam masyarakat terus bergerak meningkat. Hal tersebut mau tidak mau mengharuskan kita untuk melihat pada bagaimana pola konsumsi masyarakat atau apa yang mendasari masyarakat untuk membeli sesuatu mengingat pada era digital ini pola pikir masyarakat sudah sangat berbeda.

Pendapat bahwa tahapan pertama seorang konsumen ketika akan membeli adalah munculnya keperluan akan suatu produk dapat dinilai sudah tidak relevan mengingat masyarakat kini tidak lagi berbelanja hanya karena ingin membeli barang yang mereka butuhkan. Contohnya, keinginan untuk membeli barang dapat pula muncul ketika orang-orang menyaksikan iklan-iklan di media sosial yang mampu mendorong mereka untuk tertarik berbelanja meskipun produk tersebut bukan merupakan kebutuhannya.

Fenomena di atas adalah hal yang berusaha dijelaskan oleh Jean Baudrillard, yaitu pada rumusan pemikirannya mengenai logika konsumsi masyarakat. Pada masyarakat postmodern saat ini, dimana mereka cenderung memiliki kegemaran berlomba-lomba memamerkan diri dalam setiap ruang media sosial yang dimanfaatkan sebagai tindakan sosial interaktif, kajian teori Baudrillard menjadi menarik. Menurut Baudrillard bahwa konsumsi dapat dimaknai sebagai bentuk tindakan yang tersususn secara sistematis dalam memanipulasi tanda, kemudian agar menjadi objek konsumsi maka dalam objek tersebut harus memiliki atau bahkan menjadi tanda.

Dalam Misnawati (2020) ikatakan pula bahwa masyarakat konsumeris saat ini tidak digolongkan kepada kelasnya, tetapi pada bagaimana kemampuan konsumsinya. Hal tersebut mengandung arti bahwa seluruh orang bisa saja menjadi bagian dari kelompok manapun asalkan mampu dalam mengikuti pola konsumsi kelompok tersebut. Ada suatu nilai yang disebut sebagai "Symbolic Value" yang menjelaskan bahwa masyarakat tidak lagi perduli akan nilai tukar atau nilai guna dari suatu barang yang dikonsumsinya, tetapi mereka lebih mementingkan nilai tanda atau simbolis yang bersifat abstrak dan terkonstruksi. Lebih jelasnya dapat dilihat pada bagaimana tawaran dalam iklan-iklan saat ini yang dibuat agar secara tidak sadar membangunkan rasa sombong di dalam diri manusia. Produk digambarkan sebagai simbol prestise dan gaya hidup mewah sehingga tumbuh rasa bangga dalam diri penggunanya.

Melihat pada penjelasan sebelumnya bahwa peningkatan daya beli masyarakat dapat berkontribusi dalam mencegah resesi. Maka dari itu, logika konsumsi seperti yang telah dijelaskan di atas secara tidak langsung juga dapat meningkatkan daya beli masyarakat dengan banyaknya permintaan pada produk-produk yang dianggap memiliki nilai simbol. Banyaknya permintaan tersebut selanjutnya harus selalu diimbangi dengan laju produksi agar banyaknya stok produk selalu terjaga sehingga tidak menaikkan kegiatan impor yang dapat beresiko pada defisit anggaran.

Para produsen, terutama produsen dalam negeri dituntut untuk semakin pintar dan kreatif untuk menemukan cara agar produk-produknya dapat dijadikan media dalam pembentukan personalitas, gaya hidup, citra dan pembeda status sosial dalam kehidupan sosial masyarakat. Hal tersebut supaya banyak masyarakat tertarik untuk membelanjakan uangnya pada produk-produk dari dalam negeri. Ketika produk tersebut ramai digunakan oleh masyarakat nantinya dapat pula merambah pada ranah ekspor. Meningkatnya kegiatan ekspor berdampak positif pada perekonomian sehingga dapat menghindarkan ekonomi Indonesia dari bahaya resesi.

Strategi di atas memiliki potensi menimbulkan dampak negatif ketika masyarakat konsumen sudah mencapai pada titik yang tidak terkendali. Bahayanya, yaitu pada munculnya fenomena hedonisme dan social climber yang kemudian dianggap sebagai hal lumrah dalam masyarakat. Isu-isu baru menyangkut etika atau tata tingkah laku antar sesama manusia dapat berbahaya dan mengancam keharmonisan hubungan sosial masyarakat sehingga pemecahan satu masalah nantinya malah dapat menghadirkan masalah baru. Oleh karena itu, kita harus selalu siap dalam menghadapi fenomena-fenomena baru di dalam masyarakat kedepannya dan selalu berusaha memikirkan mengenai pemecahan masalahnya.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Analisis Selengkapnya
Lihat Analisis Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun