Mohon tunggu...
Neylasari
Neylasari Mohon Tunggu... profesional -

ketika mimpi dan harapan datang terlalu pagi... maka cukup hanya secercah senja merah saga yang tertinggal di tepian asa

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana

[KC] Aku Mencintaimu, Dee...

2 Oktober 2015   21:38 Diperbarui: 2 Oktober 2015   21:38 276
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Ketika Surya mulai mengatupkan dirinya, dan memendarkan sinar ke peraduannya...

kau datang membawa secercah harapan dan senyum

mengajariku cara tertawa, dan melukiskan senym di bibir pagi...

merangkaikan harapan dan menyatakan bahwa setiap penghabisan jalan adalah sebuah tujuan...

Neylasari # 59

Aku menghela nafas panjang. Kita berdua telah duduk disini sejak 30 menit yang lalu. Tapi tak sepatah katapun terucap dari bibirmu. Hanya sebuah kediaman. Hanya ada kebisuan. Entah setan mana yang membungkam bibirku untuk tidak berucap hari ini. Tak seperti biasanya, saat aku bertemu denganmu. Segala celotehku meluncur mudah dari bibirku, yang akhirnya kuakhiri dengan gelak tawa, atau sesekali aku menggigit lenganmu, karena gemas selalu kau buat kesal.
Kulihat cangkir kopimu telah habis setengahnya. Rokokmu pun telah hampir habis, kau hisap. Aku hanya memandangimu saja. Aku memandangimu seperti seorang gladiator yang ingin menebas habis lehermu, dan menghisap seluruh darahmu. Entah mengapa kau sendiri pun tak mampu menatap padaku. Tak seperti biasanya saat kita saling bercengkerama.
Ah, aku menahan sesak sekuat tenaga. Aku membangun bendungan beton untuk menahan derasnya air mataku yang akan keluar. Perasaanku yang telah ku tahan sejak lama. Sakit yang kutahan sejak lama, menusuk-nusuk jantungku dan meminta nyawaku, saat itu.
“Kenapa kamu tidak menatapku, Dee…?” tanyaku membuka suara.
Kulihat kau hanya meniupkan asap rokokmu, dan memandangku dengan pandangan yang sulit aku terjemahkan ke dalam bahasaku.
“Jadi benar…?” tanyaku lagi menegaskan.
Kau masih tidak menjawab. Kau masih dengan tatapan yang sama. Mata coklatmu yang selalu mempesona. Dan membuatku tak ingin lepas memandangnya. Lalu perlahan kau buka jaketmu, dan mengambil sesuatu dari sana.
Undangan.Berwarna Abu-abu.
“Ssssttt...” aku mendesis. Aku melihatnya… seperti Guillotine yang menebas leherku. Dan kau yang menghirup darahku hingga aku tak bernyawa.
“Lalu, apa kita, Dee…? Lalu apa kebersamaan kita, Dee…?” Aku menjerit dalam hati penuh kesakitan. Aku tak sanggup menahan sesak yang ada di dalam dadaku.
Kau hanya terdiam.
“Apakah kau sekarang menjadi bisu…? Apakah kau sekarang menjadi tuli…?” Kataku kepadanya dengan tak mampu lagi menahan air mataku yang keluar begitu derasnya.
“Kenapa kau menanggis…?” Kau bertanya seperti orang bodoh yang tak mampu menerjemahkan bahasaku. “Bukankah kau selalu berkata kita hanya teman…?”
“Astaga…” aku mendesis.
“Kumohon, Dee…” Jawabku dengan menahan nafasku. “Kau dan aku sudah bukan lagi anak SMA yang perlu peringatan hari jadian dan perlu memproklamirkan kita ada hubungan. Tidak kah kau berfikir kedekatan kita, merupakan sebuah ikatan…?”
“Aku tidak pernah berani berharap tentang hubungan kita, Ney. Kau sendiri terlalu absurb untukku. Terkadang aku yakin kau menyukaiku, tapi kadang kedekatanmu dengan orang lain membuatku ragu apakah kau benar-benar menyukaiku…? Aku merasa aku hanya kau anggap sebagai angin sepoi yang hanya lewat saja.”
“Haruskah aku mengatakan semua perasaanku, Dee…? Haruskah aku berkata bahwa semua yang kita lewati bersama adalah cinta? Haruskah aku berkata bahwa setiap genggaman tanganmu adalah kerinduan..? tidak mengertikah kau bahwa kekesalanku kepadamu adalah sebuah kecemburuan…? Jadi, kau anggap apa, Dee..? kau anggap apa semua yang kita lewati…?”
“Kau sendiri yang berkata padaku, agar kau menjaga perasaanmu untuk tidak jatuh cinta padaku. Kau tidak mau jatuh cinta padaku. Kau berkata, untuk meninggalkanmu sendirian. Kau ingin bangun sendirian. Kau ingat…? Lalu, aku harus berfikir bagaimana tentang diriku sendiri…? Apakah aku yang terlalu bodoh, ditolak olehmu bahkan sebelum aku nyatakan perasaan cintaku padamu…? Lalu, kau pikir, apa yang telah ku lakukan untukmu…? Menemanimu saat kau jatuh, kau terluka, selalu ada untukmu disaat kau membutuhkanku. Kau pikir itu apa, Ney…?”
“Lalu, apa arti ini…?” Kataku seraya melempar undangan itu tanpa membacanya.
“Itu arti ke-absurb-an mu, Ney…”
“Kau lebih absurb dari yang ku kira…”
Kau hanya menunduk. Kau hanya terdiam… kesakitan yang kau tikamkan untukku, melebihi kesakitan yang kurasakan sebelumnya.
“Ney…”
“Aku mencintamu, Dee…” aku menumpahkan segala perasaanku, “mengertilah aku mencintamu… aku lebih dari hanya sekedar menyukaimu, aku lebih dari sekedar menyayangimu. Aku gila karenamu, Dee… aku mencintaimu dengan jiwa dan darahku. Aku membutuhkanmu di setiap hirupan nafasku. Aku menginginkanmu di setiap ku buka mataku. Aku tak mampu jauh darimu,Dee… tidakkah kau tahu betapa berartinya dirimu untukku…?” kataku seraya kutumpahkan tangisku sejadinya, tanpa peduli ada berapa banyak orang yang sesekali menatap ke arahku karena aku sudah tak mampu lagi mengontrol volume suaraku.
“Ney…”
“Cukup…! Cukup, Dee…! Caramu menyakitiku sungguh sempurna. Kenapa kau hadir dan datang memapahku jika kau menjatuhkanku di jurang yang lebih dalam? Mengapa kau harus datang dan memberiku mimpi, jika kau sendiri yang akhirnya menguburku hidup-hidup?”
“Berjanjilah padaku, kau akan baik-baik saja, Ney…”
“Aku tidak akan pernah baik tanpamu…”
“Ney…” katamu lagi seraya beranjak dan mengambil undangan yang aku lemparkan tadi.
Sungguh, undangan itu seperti kunci pintu neraka untukku, dan aku telah melihatnya terbuka lebar-lebar. Aku merasa kau telah melemparku kesana.
“Bukalah, Ney. Bacalah… ku harap kau akan lebih kuat menghadapi hidup. Dan berjanjilah kau tidak akan menangis lagi…”
“Tidak…! Kau seperti menyuruhku untuk menggali makamku sendiri, Dee”
Kau tidak berkata, dan hanya membukakan sampulnya, lalu meletakkannya di hadapanku, “Kau suka…?”
Aku melihatnya. Aku melihat undangan berwarna merah jambu itu, tinta emas itu menyebutkan namamu, dan… Aku…? Astaga
“Ini…”
“Ini, undangan pernikahan kita, Ney… Aku dan kamu…”
Aku masih tidak percaya.
“Berjanjilah untuk tidak lagi meneteskan air matamu, Ney. Aku mencintaimu…”

 

Sumber Gambar Ilustrasi

Karya Fiksi Katakan Cinta Lainnya 

FB Fiksiana Community

Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun