Mohon tunggu...
Neylasari
Neylasari Mohon Tunggu... profesional -

ketika mimpi dan harapan datang terlalu pagi... maka cukup hanya secercah senja merah saga yang tertinggal di tepian asa

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Tentang Sebuah Sabar...

18 Januari 2017   11:11 Diperbarui: 18 Januari 2017   11:29 397
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Ini tentang esensi sabar yang pernah kita diskusikan. Ini tentang cerita maha panjang yang tidak pernah ada habisnya. Jika tubuhku ini dibelah dan dikeluarkan seluruh isinya. Maka, dalam setiap partikel-partikel sel nya ada satu nama yang sama tertinggal disana. Ya... ada namamu disana, yang tidak pernah akan ada habisnya dalam ceritaku.

Sabar yang pernah kau bilang adalah budi. Sabar itu tabiat dan pekerti yang tiada habisnya. Sabar adalah sesuatu yang melekat erat pada diri manusia sebagai wujud pertaliannya dengan Rab-nya. Sebuah wujud hubungan timbal balik dan bentuk wujud kasih sayang sebagaimana Tuhan kepada hambanya, maka sabar adalah wujud ketaatan dan cinta seorang hamba kepada Tuhannya.

Aku masih ingat ketika aku berkata bahwa sabar itu ada batasnya. Bahkan dengan tegas kau berkata agar aku merekonstruksi pemahamanku tentang sabar. tidak ada batas kasih sayang Tuhan kepada hambanya, begitu pun sebaliknya, tidak ada batasan seorang hamba untuk tidak sabar dalam menghadapi segala ketetapannya. Jika, seorang hamba berkata tidak lagi mampu bersabar, maka sebagai konsekwensinya, dia pun harus siap melepas pertaliannya dengan Tuhan. Bersiap untuk tidak menerima kasih sayang Tuhan, dan bersiap untuk tidak mencintai Tuhan dalam wujud penghambaan.

Aku baru sadar, diskusi itu sekitar 2 atau 3 tahun yang lalu. Tapi, aku baru sadar hari ini tentang maknanya. Aku hampir tidak mampu mencerna semua ucapanmu kala itu. tapi kali ini, segala pemikiranmu dan diskusi itu terngiang-ngiang lagi di telingaku. Aku rindu... aku merindukan berdiskusi lagi dengan mu. Tentang apapun. tentang pemahamanku yang keliru. Tentang nakalmu yang memancingku untuk berargumen keliru. Aku sangat sadar akan tingginya pengetahhuanmu. Seakan aku menemukan lautan yang tidak ada batasnya selain cakrawala jingga.

Hanya saja... Tuhan begitu sayangnya, hingga tidak mengijinkan kita untuk bersama. Begitu inginnya Tuhan melihat wujud penghambaanku, hingga Dia tidak memberi jalan untuk kita bisa bersama. Tapi, seperti yang pernah kau bilang. Bahwa segala ketetapan Tuhan tidak bisa disangkal dengan teori apapun. memikirkan jalan yang berliku dan rumit akan sia-sia jika Tuhan berkata “Tidak”

Mencintai tidak harus memiliki bukan...? menyayangi tidak harus hidup bersama pula kan...? itu esensi sabar juga.... hakikat cinta adalah melepaskan. Hakikat sayang adalah penerimaan segala ketetapan. “Jika Tuhan tidak menjadikanmu jodohku didunia, maka aku akan berdoa agar menjadikanmu jodohku di akherat kelak” masih ingat dengan seloroh itu...?

Tapi, setelah pertemuan kita satu tahun yang lalu. Aku semakin sadar akan ketidakmungkinan takdir akan membersamakanmu denganku. Pertemuan kita, semakin membuatku tau bahwa kau memiliki kehidupan yang tidak mungkin lagi untukku. Semakin tak ada lagi kemungkinan yang mampu membuatku bisa bersamamu. Jika pun nanti Tuhan yang Maha baik mempertemukan kita lagi. Aku rasa pertemuan itu sudahlah sangat berbeda. Ada banyak hal yang telah kupahami, ada banyak hal yang aku mengerti sejauh ini. Bahwa, yang terjadi diantara kita bukan hanya cinta semata. Perasaan yang Tuhan titipkan bukan hanya soal hati, tetapi esensi kehidupan. Sebuah perjalanan panjang  yang pasti ada ujungnya. Yang pasti akan aku temukan jawabannya di depan sana.

Aku sedang menanti, kejutan apa lagi yang pernah kau katakan padaku sebelumnya. Hingga baru sekarang aku menyadarinya. Tidakkah kau merasa, mungkin Tuhan sedang merencanakan sebuah hadiah untukku...? atau merencanakan sebuah cerita baru...? atau apapun itu. melihat begitu Dia meneruskan benang merah ini tanpa terputus. Aku masih sabar menunggu. Aku masih akan menunggu. Aku tidak mau lagi salah mengartikan takdir Tuhan hingga aku merasakan beratnya kehilanganmu.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun