Mohon tunggu...
Roneva Sihombing
Roneva Sihombing Mohon Tunggu... pendidik

Penyuka kopi, gerimis juga aroma tanah yang menyertainya. Email: nev.sihombing@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

"Notes for The Three Siblings", Catatan untuk Anak Perempuan Kecilku (2)

26 Oktober 2019   11:02 Diperbarui: 26 Oktober 2019   11:15 30
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Aku sedang dalam perjalanan pulang dari tugas luar kota. Dari kota ini. Kini, aku menunggu jadwal penerbangan terakhir dari kota ini menuju kotaku. Bandara di malam hari memunculkan perasaan rindu yang melayang lembut memenuhi hati. 

Ruang tunggu bandara terisi tigaperempatnya. Wajah para calon penumpang transportasi udara ini, sebagian besar terlihat lelah sekaligus lega, sedang menatap layar telepon selular masing-masing.

Di lapangan sana, tampak antrian pesawat yang bergerak sangat perlahan sebelum akhirnya terparkir manis menunggu giliran untuk menerima penumpang dan melanjutkan perjalanan. Setiap orang bergegas. Seolah-olah tidak ingin tinggal lebih lama di ruangan ini. 

Semua ingin segera tiba di rumah sesegera mungkin sambil berdoa tidak akan mengalami penundaan penerbangan. Dan perjalanan pulang, selalu membuat rindu semakin penuh.

Bulatnya bulan tampak dari sudut tempatku duduk. Aku baru saja membeli coklat panas. Sambil menyeruput coklatku, aku menatap langit yang disiram sinar bulan. Pendar cahaya bulan menghias hitamnya langit, lalu teringatlah aku pada Ragil. 

Aku mengambil telepon genggamku, hendak menelpon ke rumah. Jariku segera saja mencari nama Sofia. Jempolku tiba pada tulisan Wife - My Sofia. Namun, gerakanku terhenti. 

Alih-alih menelpon, aku malah keluar dari aplikasi menelpon dan mencari gambar lain lalu menekan gambar kaset pada layarnya, lalu memilih rekaman yang berjudul, Ragil- Ambilkan Bulan. Sayup-sayup, terdengarlah suara Ragil.

Ambilkan bulan, ayah. Ambilkan bulan, ayah. Yang s'lalu bersinar di langit. Di langit bulan benderang. Cah'yanya sampai ke bintang. Ambilkan bulan, ayah. Untuk menerangi tidurku yang lelap di malam gelap.

Ragil tidak suka tidur. Maksudku, menjelang umur 2 tahun, Ragil sulit sekali disuruh tidur. Ada saja alasannya. Mulai dari belum mengantuk, minta dibikinkan susu, ingin mewarnai gambar, mengajak kakak dan abangnya bermain hingga didongengkan cerita.

Sofia sudah terlelap sejak sejam yang lalu. Maka, aku mengangkat Ragil, menggendongnya lalu bergerak menuju jendela. Sambil menggumamkan lagu yang nadanya secara acak muncul di kepalanya, aku mengayun tubuh mungil Ragil perlahan. 

Cahaya yang menerobos hingga ke lantai kamar membuat aku memandang arah luar. Sedang bulan purnama. Cahaya kuning lembut yang terpancar dari rembulan membuat pendar gemintang di sekelilingnya tidak terlihat.

Lalu aku mendengar Ragil menggumamkan sesuatu, tangan mungilnya menunjuk ke bulan kemudian wajahnya memandang ke arahku lalu ke bulan.

"Bulan, nak. Itu bulan. Sekarang sedang bulan purnama."

Ragil mengangguk. Seolah mengerti. Kepalanya yang mungil bergerak menggemaskan. Aku mencium puncak kepala Ragil. Dengan suara yang hanya biasa aku pamerkan di hadapan Sofia, meluncurlah lagu Ambilkan Bulan dari mulutku.

Ambilkan bulan, bu. Ambilkan bulan, bu. Yang s'lalu bersinar di langit. Di langit bulan benderang. Cah'yanya sampai ke bintang. Ambilkan bulan, bu. Untuk menerangi tidurku yang lelap di malam gelap.

Tidak perlu satu kaset. Tak lama kemudian Ragil sudah terlelap. Pulas. Hatiku dipenuhi rasa takjub yang tidak bisa kupahami. Terasa air berlebihan muncul di mataku. Aku harus mengerjapkan mata berkali-kali untuk menghilangkannya. Sejak saat itu, jika Ragil sulit tidur, aku meninabobokannya dengan lagu tersebut.

"Ragil sayang.. Cahaya bulan ayah.."

"Jangan takut akan gelapnya malam karena ada rembulan di langit. Sekalipun cahayanya tidak sekuat matahari, pendarnya bisa menolong kunang-kunang untuk menemukan arah pulang ke rumah."

"Jika kelak kau tidak bisa tidur karena ada hal yang menggelisahkan hatimu dan harimu, ingatlah cinta ayah. Cinta ayah yang akan menemani malam-malammu dan akan menerangi tidur lelapmu."

"Cinta ayah akan menolongmu untuk selalu menemukan arah pulang, nak.."

"Cinta ayah, Ragil.." gumamku sambil menyeka air mata yang sudah menetes dari ujung mata kiriku.

***

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun