Mohon tunggu...
nerissa wijaya
nerissa wijaya Mohon Tunggu... Psikolog - Psikolog Klinis

Seorang Psikolog Klinis yang memiliki pengalaman praktik dalam dunia kesehatan mental anak dan keluarga. Pemberdayaan diri, mendengarkan dengan empati, berpikir kritis, dan aktif bergerak dengan mindful merupakan prinsip layanan yang saya yakini dapat berkontribusi positif terhadap kesehatan mental individu.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Menjadi Orang Tua, Siapkah Kita?

30 Agustus 2020   20:33 Diperbarui: 30 Agustus 2020   20:56 117
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

“If we value our children, we must cherish their parents”
– Bowlby, 1951

Tiga Sifat Dasar

Sepanjang waktu, anak-anak menghabiskan waktunya dengan bermain dan bergerak bersama orang tua, saudara, teman, dan pengasuh. Bermain lebih dari sekadar rasa senang dan asyik – bermain merupakan cara anak belajar mengenai dunia, dirinya sendiri, dan teman bermainnya (Landreth & Bratton, 2006; Elkind, 2007). 

Kasih, kerja, dan bermain merupakan tiga watak bawaan yang mendorong timbulnya pikiran dan tindakan manusia sepanjang rentang kehidupan. Bermain adalah kebutuhan manusia untuk beradaptasi dalam dunia dan menciptakan pengalaman belajar yang baru (Elkind, 2007; Ginsburg, 2007). 

Kasih merupakan bentuk keinginan diri untuk mengekspresikan perasaan, hasrat, dan emosi. Sejak usia dini, bayi mengomunikasikan kebutuhannya melaui perbedaan suara tangisan. Sementara itu, kerja adalah sifat manusia untuk beradaptasi dengan tuntutan lingkungan sosial dan fisik/materi.


 Bermain – tanpa cinta dan kerja adalah hiburan semata yang tidak lengkap dan kurang memenuhi kebutuhan kita sebagai manusia (Elkind, 2007; Ginsburg, 2007; Yogman, Garner, Hutchinson, Hirsh-Pasek, Golinkoff, 2018).

Pada era industri masa kini, sering kita temui juga anak yang tampak jemu, lesu, dan “hampa”. Raganya tampak masih anak-anak, tetapi ekspresi dan sikapnya tidak sesuai dengan usianya. 

Anak masa kini dituntut semakin keras dan ketat oleh lingkungan (keluarga, guru, masyarakat, pemerintah) untuk belajar, bekerja, bermain edukatif, dan mengikuti les-les pelajaran. Tingginya tingkat kompetisi dan semakin besarnya tekanan kepada orang tua berkaitan erat dengan fenomena ini (Elkind, 2007; Ginsburg, 2007). 

Anak dan orang tua dijejali fakta-mitos mengenai orang-orang sukses dan orang-orang gagal dalam dunia yang asing dan tak terjamah oleh anak, tanpa adanya pertanyaan atau umpan balik dari orang tua, ingin jadi apa kah si anak kamu di dunia ini? Mungkin, para orang tua sendiri juga membawa luka masa lalunya dan kecewa karena tidak ada yang bertanya dengan lembut dan eksploratif: ingin jadi apa kah kamu di dunia ini?

Bagi orang tua lah tulisan ini dipersembahkan. Orang tua yang terus menerus ingin bergerak maju dan mungkin lupa bahwa ukuran kakinya berbeda dengan ukuran kaki si anak sehingga tanpa sadar menyeret anak dan berusaha membentuk anak menjadi versi mini dirinya sendiri. 

Penulis menawarkan perspektif baru mengenai manfaat dan fungsi bermain tidak hanya bagi anak, tetapi juga bagi orang tua dan/atau orang dewasa masa kini – yang aktif, skeptis, dan naif memandang kesibukan sebagai suatu pencapaian. 

Terinspirasi dari berbagai tokoh psikologi dan filsafat yang buah pikirnya mengenai manfaat bermain bagi perkembangan otak manusia tak hengkang oleh waktu, seperti Bowlby, Ainsworth, Vygoztsky, dan Elkind; penulis berkeyakinan bahwa aktivitas bermain memberikan kesempatan bagi setiap orang untuk mengintegrasikan tiga watak bawaan tersebut (bermain, bekerja, dan mengasihi) dalam kehidupan sehari-hari sehingga dapat tumbuh dan berkembang menjadi versi diri yang terbaik.

3B: Bermain – Belajar – Berkembang

Anak memiliki pikiran, perasaan, dan karakteristik kepribadiannya secara mandiri dan terpisah dari orang tua[1]. Hal ini perlu dipahami dan direnungkan secara pribadi sebagai orang tua dan/atau orang dewasa yang kadang merasa paling mengerti kebutuhan dan ‘yang terbaik’ bagi anak. Nyatanya, seringkali justru orang tua menyuarakan kebutuhan anak sesuai dengan kebutuhan dirinya sendiri,

“Ini anak saya capek tadi pulang sekolah, lalu masih harus les dulu. Jadi dia nggak kerjain tugas untuk terapinya, tolong dimaklumi ya. Dibantu juga, tolong, kak…”

- Orang tua, 2018-2020 (Praktik Psikologi)

Penulis menyadari bahwa dalam kasus di atas tidak hanya anak yang lelah, namun orang tua pun sebagai penyedia kebutuhan anak dan ‘pembaca pikiran’ anak tentu juga kelelahan secara fisik dan mental. Belum lagi mayoritas orang tua yang memandang bekerja sebagai tanggung jawab utama sehingga tidak mengizinkan diri untuk bermain dan mengeksplorasi kasih dalam waktunya bersama keluarga. 

Adanya keyakinan bahwa ‘bermain hanya untuk anak-anak’ kerapkali membuat orang tua lupa bahwa bermain mengandung daya kreativitas, imajinasi, dan kekuatan yang luar biasa sebagai sumber energi mental dalam menjalani hidup dan keseharian.

Menjadi orang tua sering kali membuat diri memisahkan antara kerja dan bermain (Elkind, 2007; Runcan, Petracovschi, Borca, 2012). Bagi banyak orang, kerja adalah hal yang dilakukan sebagai sarana mendapatkan uang untuk memenuhi kebutuhan – dan hal ini menyebabkan kerja dipandang memiliki kontribusi yang kecil terhadap perkembangan kreativitas dan kepuasan emosional. 

Memasuki usia dewasa, hubungan pernikahan dan keluarga menjadi fokus pemenuhan kebutuhan untuk mengasihi. Meski didasarkan oleh kasih, relasi jangka panjang memerlukan kerja – adaptasi terhadap kebutuhan dan keinginan pasangan, anak, dan keluarga besar; dan pembelajaran mengenai diri sendiri serta orang lain. 

Relasi tersebut juga memerlukan kesenangan dan selera humor sehingga semua orang yang terlibat dalam hubungan tersebut dapat menikmati dan berkembang dengan lebih optimal. Kehadiran anak di tengah hubungan suami-istri membuat dorongan kasih berkaitan erat dengan kerja dan kebahagiaan pengasuhan. 

Lagi-lagi, diperlukan sikap sukacita dan selera humor supaya pengasuhan anak menjadi hal yang menyenangkan dan bermakna bagi anak dan orang tua. Untunglah, sebenarnya ada banyak cara menyenangkan untuk memaknai hidup yang seringkali diajarkan oleh anak-anak secara alami (Elkind, 2007; Ginsburg, 2007; Yogman, Garner, Hutchinson, Hirsh-Pasek, Golinkoff, 2018).

Aktivitas bermain mendukung proses pemaknaan hidup bagi anak dan orang tua (Elkind, 2007). Melalui aktivitas bermain anak dan/atau orang tua sama-sama belajar mengenai penetapan tujuan yang jelas dan konkret dalam setiap langkah permainan serta memiliki waktu yang aman untuk memberikan umpan balik (respon) terhadap tindakan yang diambil satu sama lain[2]. 

Tergabungnya aksi dan kesadaran diri saat berproses dan/atau berinteraksi dalam suatu permainan juga memfasilitasi anak dan orang tua untuk mengeksplorasi peluang tanpa takut dilabel ‘gagal’ sehingga menstimulasi perkembangan otak dan mental seseorang (Yogman, Garner, Hutchinson, Hirsh-Pasek, Golinkoff, 2018).

 Hadiah Seumur Hidup

“Ingin jadi apa?”

 Kesederhanaan penting dalam hidup. Pertanyaan ringkas di atas adalah contoh pertanyaan singkat dan eksploratif yang dapat ditanyakan oleh orang tua kepada anak – dan pada momen langka dapat ditanyakan oleh anak kepada orang tua. 

Namun, siapkah kita sebagai orang tua dan/atau orang dewasa merespon pertanyaan itu tanpa merasa sesal, takut, berkonflik, marah, dan kecewa? 

Apabila masih ada respon-respon tidak nyaman yang timbul, barangkali kita perlu mengambil waktu sejenak untuk menyempatkan diri beradaptasi dengan dunia serta mengeksplorasi berbagai potensi diri bersama anak-anak yang ada di sekitar kita. 

Menjejak bumi (realistis) dan menikmati hidup dengan bersenang-senang (ceria, imajinatif) bukanlah hal yang perlu dipertentangkan, melainkan perlu diintregasikan dalam keseharian dan aktivitas kita sebagai pribadi.

 Respon lain yang sering muncul dalam diri orang tua adalah kebingungan menyisihkan waktu untuk bermain (secara mandiri maupun bersama anak). Berikut penulis mengutip respon dalam sebuah artikel bagi para orang tua yang ingin bermain bersama anak, tetapi merasa 24 jam sehari dan tujuh hari seminggu tidak cukup untuk bekerja dan bermain dengan kasih:

 “There never was such a day for flying kites! God doesn’t make two such days in a century.”

- Frances Fowler, 1949 (Reader’s Digest)

 Meski bermain yang ingin dilakukan oleh anak-anak tidak selalu memiliki tujuan yang terarah dan sering malah hanya untuk kesenangan itu sendiri, bermain memiliki makna jangka panjang dan nilai yang mungkin tidak dapat diukur atau dibayangkan oleh orang lain. Kenangan terhadap pengalaman yang mengasyikan, seperti pengalaman bermain itu sendiri dapat membantu seseorang dalam menoleransi tekanan kehidupan dan memberikan rasa nyaman serta keyakinan bahwa anak dan orang tua/orang dewasa dapat hidup bahagia, sehat, dan produktif seiring dengan terintegrasinya watak bermain, kerja, dan kasih.

 

Referensi Bacaan 

Elkind, D. (2007). The power of play. Philadelphia: Da Capo Press.

Ginsburg, K. R. (2007). The Importance of Play in Promoting Healthy Child Development and Maintaining Strong Parent-Child Bonds. American Academy of Pediatrics, 119(1), 182-191. DOI.

Landreth, G. L., & Bratton, S. C. (2006). Child parent relationship therapy (CPRT): a 10-session filial therapy model. New York: Brunner-Routledge.

Runcan, P. L., Petracovschi, S., Borca, C. (2012). The Importance of Play in the Parent-Child Interaction. Procedia - Social and Behavioral Sciences, 46, 795-799. DOI

Yogman, M., Garner, A., Hutchinson, J., Hirsh-Pasek, K., Golinkoff, R. M. (2018). The Power of Play: A Pediatric Role in Enhancing Development in Young Children. American Academy of Pediatrics, 142(3). DOI: .

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun