Mohon tunggu...
Neno Anderias Salukh
Neno Anderias Salukh Mohon Tunggu... Wiraswasta - Pegiat Budaya | Pekerja Sosial | Pengawas Pemilu

Orang biasa yang menulis hal-hal biasa

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Artikel Utama

Mengatasi Kemiskinan Ekstrem di NTT [Bagian 1]

19 Oktober 2021   08:25 Diperbarui: 21 Oktober 2021   07:30 1323
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi: Potret Kemiskinan. (Foto: SUDDIN SYAMSUDDIN via kompas.com)

Nilai jualnya dapat dihitung, jika harga hasil produksinya melampaui garis standar pengeluaran pembelian makanan, atau memenuhi kebutuhan kilokalori per kapita maka yang bersangkutan tak layak dikategorikan sebagai orang yang tidak mampu memenuhi kebutuhan makanannya.

Memang tidak dapat dipungkiri bahwa beberapa masyarakat lokal tidak mampu memproduksi makanan tetapi tidak sedikit yang menghasilkan makanan secara besar-besaran. Nah, inilah yang seharusnya dilihat dengan cermat oleh pemerintah, berapa banyak masyarakat yang produksi, berapa banyak yang tidak produksi.

Kemudian pemerintah perlu mencermati bagaimana pengelolaan makanan (food processing) untuk memenuhi standar kebutuhan nilai gizi. Jika masyarakat tidak mampu mengelola makanan untuk memenuhi kebutuhan nilai gizi rumah tangga maka program bantuan sembako seperti beras dan minyak goreng sangatlah tidak tepat.

Program bantuan sembako seharusnya diperuntukkan bagi mereka yang tidak mampu memproduksi makanan (food production) tetapi penyebab tidak mampu memproduksi makanan harus diketahui. 

Jika persoalannya tidak memiliki lahan, dapat diterima tetapi persoalannya adalah malas-malasan maka program bantuan bentuk apapun tidak layak.

Persoalan semacam ini hanya dapat diintervensi dengan pendidikan non formal yang bersifat vokasi dan kontekstual karena pendidikan formal kita tak mampu menjawab persoalan mendasar ini.

Pendidikan yang dimaksud untuk melatih masyarakat mengenal jati diri mereka, mengenal potensi mereka, mengelola dan menghasilkan makanan dari apa yang mereka miliki.

Inilah yang kemudian lahirlah Sokola Institut. Ada Sekolah Pagesangan, Sekolah Anak Alam Jogja, Lakoat Kujawas dan masih banyak lagi sekolah non formal, komunitas, perkumpulan yang berurusan dengan budaya, kearifan lokal, pangan lokal untuk mengembangkan pendidikan kontekstual.

Kebutuhan dasar bukan makanan seperti perumahan, pendidikan dan kesehatan akan memiliki tempat istimewa pada tulisan selanjutnya.

Salam!!!

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun