Mohon tunggu...
Neno Anderias Salukh
Neno Anderias Salukh Mohon Tunggu... Wiraswasta - Pegiat Budaya | Pekerja Sosial | Pengawas Pemilu

Orang biasa yang menulis hal-hal biasa

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Menyudahi Kabair, Timor dalam Cerita

24 September 2020   09:49 Diperbarui: 24 September 2020   18:06 231
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Buku Menyudahi Kabair | Dokumen pribadi

Hari ini, 24 September 2020, tepat satu tahun, saya memiliki Buku Kumpulan Cerpen Kakak Sayyidati Hajar yang berjudul Menyudahi Kabair. Kala itu, saya bertemu secara langsung dengan penulis di Oebesa, salah satu dusun kecil di Desa Mauleum, Amanuban Timur, Timor Tengah Selatan untuk membeli buku tersebut.

Saya ingat betul, penulis meminta untuk membuat resensi buku tersebut jika sudah terbaca. Seharusnya, tulisan ini sudah rampung beberapa bulan yang lalu tetapi saya sengaja melakukannya di anniversary yang pertama. Biar keren aja!

Karena kesengajaan ini, semoga tulisan ini enak dibaca oleh orang-orang di luar sana terlebih penulis atau setidaknya saya juga yakin bahwa tulisan ini tidak akan menjadi sampah yang tidak berguna.

Sejujurnya, saya tidak pantas meresensi buku ini apalagi mengusulkan sebuah perbaikan. Alasannya sederhana, saya bukan seorang sastrawan yang pantas memberikan kredit baik dan buruknya sebuah karya sastra.

Karena itu, tulisan ini tidak akan terpaku dengan sistematika resensi buku pada umumnya. Saya akan bercerita tentang kesan dan perasaan saya ketika membaca kumpulan cerpen ini.

Penyerahan buku di Mauleum dari penulis (kanan) kepada saya (kiri) | Dokumen pribadi
Penyerahan buku di Mauleum dari penulis (kanan) kepada saya (kiri) | Dokumen pribadi

Sebagaimana yang saya sebutkan pada awal tulisan ini, Kumpulan Cerpen Menyudahi Kabair yang ditulis oleh Kakak Sayyidati Hajar diterbitkan oleh IRGSC Publisher Kupang pada tahun 2019 dengan ketebalan 100 Halaman.

Dengan ketebalan yang demikian dan ukuran yang tergolong kecil, 12  x 19 cm, bagi saya, buku ini tidak terlalu banyak dan tidak terlalu sedikit untuk dibaca. Apalagi cerita-cerita yang dituangkan tidak asing bagi telinga saya. Meminjam kata-kata penulis, Menyudahi Kabair adalah Timor dalam Cerita.

Buku Menyudahi Kabair| Dokumen pribadi
Buku Menyudahi Kabair| Dokumen pribadi

Misalnya cerpen Atois dan Suara-suara Duka yang bercerita tentang fungsi minyak kelapa dan daun aruda, tradisi meratapi orang mati dan hubungannya dengan suara atois sebagai tanda dukacita. Ada juga cerita yang lebih menyeramkan tentang Alaut, manusia pemakan hati manusia yang paling ditakuti dimana-mana. 

Bukan hanya itu, ada kisah lucu masa kecil yang diceritakan seperti Kepala Ayam yang direbut kakak beradik. Entah apa alasannya, bagi anak-anak di Timor, kepala ayam adalah bagian paling enak dari seluruh bagian satu ekor ayam. Kami rela berkelahi atau menangis sebagai bentuk ancaman untuk mendapatkan kepala ayam. Hehehe.

Meskipun mayoritas konteks cerita berlatar daerah Amanuban Timur, keseluruhan cerpen ini benar-benar familiar dalam kehidupan saya sebagai orang Amanuban Selatan 

Seperti cerpen Nete Noebunu yang tidak pernah luput dari pandangan saya ketika masih mengabdi sebagai guru di Amanuban Timur. Kisah-kisah tentang Noebunu juga selalu menjadi cerita menarik dari para orang tua. Ada pembunuhan di masa lampau, ada banjir yang merendam beberapa orang yang hendak melewati sungai Noebunu.

Saya juga menyaksikan bagaimana transportasi dari Amanatun Utara mengestafet penumpang ke transportasi dari Kupang ketika musim hujan karena air sungai dan air hujan yang tidak bosan mengikis ujung jembatan hingga putus.

Orang-orang bahu-membahu menimbun jurang untuk menyambung kembali jalur transportasi. Kemudian, saya melihat gubernur dan bupati menjadi orang pertama yang melewati jembatan yang baru ditimbun, sementara orang-orang berteriak 'co mati bae'. Hehehe.

Namun, yang terutama dalam cerita ini adalah bagaimana Kaka Nuban (panggilan saya kepada penulis) berjuang keluar dari tekanan budaya yang menempatkan perempuan sebagai sosok yang tidak dapat diandalkan untuk mengenyam pendidikan apalagi ke luar daerah.

Ini diibaratkan sebagai sebuah kabair, dosa besar. Tetapi, Kaka Nuban menjelma sebagai perempuan kepercayaan meskipun perempuan-perempuan dari pulau lain lebih unggul darinya. Ia berhasil Menyudahi Kabair.

Sepenggal kalimat dari cerpen Memudahi Kabair | Dokumen pribadi
Sepenggal kalimat dari cerpen Memudahi Kabair | Dokumen pribadi

***
Ketika membaca karya tersebut, saya tersenyum dan tertawa kecil menikmati pengalaman-pengalaman hidup saya dalam sebuah cerita berbentuk prosa. Pertama kali dalam hidup saya, membaca cerita-cerita tentang Atoin Meto (Suku Dawan) yang dituangkan dalam bentuk cerita pendek.

Tentunya, respect yang sebesar-besarnya terhadap Kaka Nuban yang masih mencintai budaya Atoin Meto dan tentunya Uab Meto, bahasa nasional Orang Timor bagian barat dan dituangkan dalam sebuah karya tulis yang sangat berharga.

Hal ini bertolak belakang dengan pandangan Atoin Meto pada umumnya bahwa meninggalkan kampung adalah meninggalkan budaya dan bahasa apalagi Kaka Nuban lama menghabiskan masa studi sarjana dan magister di tanah Jawa.

Budaya dan bahasa adalah milik orang kampung yang 'kampungan' (Jawa: ndeso) sehingga mereka yang keluar dari kampung untuk menempuh studi tidak boleh kampungan dengan budaya dan bahasa.

Ini juga kabair yang harus disudahi. Semoga Kaka Nuban adalah salah satu inspirasi bagi anak-anak muda di Timor pada umumnya untuk tetap mencintai dan memelihara budaya dan bahasa.

Salam!!!

Neno Anderias Salukh

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun