Mohon tunggu...
Neno Anderias Salukh
Neno Anderias Salukh Mohon Tunggu... Wiraswasta - Pegiat Budaya | Pekerja Sosial | Pengawas Pemilu

Orang biasa yang menulis hal-hal biasa

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan Pilihan

Di Balik Negatif Covid-19 di NTT

2 April 2020   09:44 Diperbarui: 2 April 2020   18:56 471
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Peta penyebaran Covid-19 di Indonesia

Penyebaran virus corona di 32 Provinsi di Indonesia merupakan sesuatu yang logis jika kita menengok kembali awal munculnya virus tersebut di Wuhan. Betapa cepatnya menyebar dari manusia ke manusia hingga menjajal ratusan negara yang tersebar di berbagai belahan dunia.

Di Indonesia, hanya menyisakan dua provinsi yang masih dinyatakan negatif Covid-19 yaitu Provinsi Nusa Tenggara Timur (NTT) dan Provinsi Gorontalo. Secara khusus di NTT, masyarakat yang baru pulang dari daerah atau negara yang terpapar Covid-19 diisolasi mandiri baik di rumah sakit maupun di rumah pribadi.

Mereka ditetapkan sebagai Orang Dalam pengawasan (ODP) rumah sakit, puskesmas dan pemerintah selama 14 hari, setelah itu mereka dinyatakan bebas jika tidak ada gejala yang mencurigakan. Sejauh ini, lebih dari seratus orang yang dinyatakan bebas dari ODP dan tiga orang bebas dari status PDP.

Artinya, upaya pemerintah NTT sejauh ini termasuk penertiban tempat-tempat umum dan sebagainya sudah berjalan dengan baik.

Meski demikian, status NTT negatif Covid-19 masih menjadi tanda tanya bagi penulis sebagai warga negara Indonesia yang berdomisili di pendalaman NTT.

Tanda tanya ini mengganggu pikiran penulis sejak kesaksian pasien Covid-19 di salah satu media televisi nasional bahwa birokrasi pengiriman hasil uji swab dari laboratorium yang sudah ditetapkan pemerintah Indonesia terkesan lelet bahkan membutuhkan waktu 4-5 hari untuk mengetahui hasil swab.

Gambaran tahapan untuk mengetahui seseorang positif terjangkit corona (Covid-19) atau tidak berawal dari tim medis melakukan tes swab terlebih dahulu dan mengambil sampel cairan dari belakang hidung dan tenggorokan kemudian sampel tersebut dikirim ke laboratorium untuk diperiksa kumannya.

Rupanya pengiriman hasil dari Rumah Sakit bertahap melalui dinas kesehatan daerah, pemerintah daerah barulah dikirim ke laboratorium dan sebaliknya kembali ke Rumah Sakit.

Misalnya perjalanan sampel pergi dan pulang dari Balai Besar Laboratorium Kesehatan Jakarta yang melayani wilayah Maluku, Maluku Utara, Sumatera Barat, Sumatera Utara, dan Aceh membutuhkan waktu beberapa hari karena birokrasi yang sedikit rumit.

Menurut Juru Bicara Gugus Penanganan Covid-19 Aceh Utara, Andree Prayuda, untuk mengetahui hasil swab pasien di Aceh, setidaknya membutuhkan waktu kurang lebih satu minggu. Apakah di Maluku juga sama? Ataukah membutuhkan waktu yang lebih lama?

Berkaca dari masalah ini maka penulis berani angkat bicara melalui tulisan ini tentang informasi yang beredar melalui media sosial dalam beberapa hari terakhir dari salah satu RSUD yang juga merupakan rumah sakit rujukan Covid-19 di NTT bahwa NTT mengalami kesulitan dalam memeriksa swab tenggorokan untuk membuktikan seseorang positif atau negatif corona.

Alasannya, beberapa kabupaten di NTT masih terbatas soal SDM dan APD di berbagai RSUD untuk berani melakukan pemeriksaan swab sedangkan di rumah sakit rujukan bisa melakukannya tetapi masih kesulitan untuk mengirimkan hasilnya ke Balai Teknik Kesehatan Lingkungan dan Pengendalian Penyakit Surabaya karena beberapa maskapai menolak untuk membawanya.

Penolakan membawa sampel bisa berakibat pada waktu mengetahui hasil, belum lagi, masalah birokrasi yang cukup rumit dan jarak yang membutuhkan waktu lebih banyak untuk mengetahui seseorang positif Corona atau tidak.

Masalah ini membuat keyakinan saya bahwa NTT masih bebas Corona menurun karena Dinas Kesehatan terus melaporkan ODP dan PDP yang membuat masyarakat resah dan bertanya-tanya, apakah mereka positif atau negatif corona?

Bayangkan, terdapat 596 orang termasuk kategori orang dalam pemantauan (ODP) tersebar di seluruh NTT tetapi pemantauan dari pihak pemerintah belum menjamin keamanan mereka di rumah, sewaktu-waktu mereka memilih keluar rumah, berinteraksi dengan orang sekitar.

Budaya dan tingkat pemahaman masyarakat pelosok tentang Covid-19 masih sangat minim bisa menjadi penyebab menyebarnya virus corona dengan mudah. Jika seorang ODP yang positif Corona dan tidak mampu mengawasi dirinya sendiri maka bukan tidak mungkin ia bisa menyebarkan virus tersebut kemana-mana.

Sementara itu, dua Pasien Dalam Pemantauan (PDP) masih mendapatkan perawatan di rumah sakit dan satu orang dinyatakan meninggal dunia dengan status PDP belum diketahui apakah mereka positif atau negatif corona.

Pertanyaannya, sampai kapan status mereka sebagai PDP berakhir seperti tiga orang terdahulunya? Atau hanya menunggu waktu mereka sembuh dan tidak ada konfirmasi bahwa mereka adalah pasien yang positif atau negatif corona.

Lalu PDP yang meninggal adalah murni penyakit lain pada tubuhnya atau karena Covid-19 yang menyerangnya pada saat kekebalan tubuhnya lemah melawan penyakit yang lain?

Berdasarkan masalah ini maka besar harapan penulis pemerintah pusat segera mengirimkan alat tes cepat ke NTT dan juga beberapa daerah yang kesulitan mengirimkan sampel swab ke laboratorium rujukan atau setidaknya memaksimalkan laboratorium rumah sakit rujukan untuk melakukan analisis swab.

Jika tidak, sampai kapanpun itu, NTT akan selalu negatif Covid-19 tanpa bukti medis dan ini sangat meragukan daripada negatif dengan bukti medis yang kuat.

Salam!!!

referensi: satu

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun