Mohon tunggu...
Neno Anderias Salukh
Neno Anderias Salukh Mohon Tunggu... Wiraswasta - Pegiat Budaya | Pekerja Sosial | Pengawas Pemilu

Orang biasa yang menulis hal-hal biasa

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Pilihan

Apa yang Harus Dilakukan terhadap Guru?

25 November 2019   13:04 Diperbarui: 26 November 2019   07:29 149
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi | Magazine

Saya tidak tahu dengan kondisi sekolah ditempat lain, apakah guru masih memiliki tempat yang istimewa? Jika saat ini, otoritas guru tergeser maka tidak semata-mata kita menyalakan faktor lain. Guru harus merefleksi diri.

Saya harus mulai dari pertanyaan mengapa harus jadi guru? Kalau pertanyaan mengapa harus jadi guru ditujukan kepada saya, saya tidak langsung menjawabnya, saya ingin bercerita terlebih dahulu. Dulu, ketika baru masuk kuliah, banyak yang menyarankan saya untuk masuk ke Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan tapi saya memilih menolaknya dengan alasan saya tidak mampu menjadi seorang guru karena guru bukan hanya sekedar mengajar matematika atau fisika dan sebagainya tapi guru bagaimana memanusiakan manusia.

Pendeta Sthepen Tong menyebut guru sebagai Arsitek Jiwa. Ia diberikan kepercayaan oleh Tuhan untuk memegang sebuah kuas dengan cat untuk mengukir masa depan dan karakter seorang anak. Jika ia tidak menggunakannya dengan baik, gambar yang dihasilkan akan menjadi kacau dan tidak memiliki arti.

Juga, ibarat tukang kayu yang mengukir sebuah patung dari sepotong kayu bulat. Ia harus menggunakan alat pemahat dengan penuh hati-hati untuk menghasilkan sebuah ukiran yang akan memiliki nilai estetika yang tinggi.

Jika ia salah membuatnya, ia harus berjuang untuk membuat ukiran yang baru meski masih menggunakan kayu yang sama. Ukuran dan model akan berubah. Semakin banyak ia melakukan kesalahan, kayu itu hanya bisa digunakan sebagai kayu bakar. Berguna tapi nilainya berubah jauh dari tujuan awal pembuatannya.

Sama dengan murid yang guru arsiteki, jika ada kesalahan dalam mendidiknya, masa depan dan karakter anak tersebut akan bobrok. Bahkan, ia tidak akan dianggap dalam lingkungan masyarakatnya.

Waduh, saya sepertinya guru yang hebat, menulis ini tanpa beban, seolah-olah saya adalah guru yang paling sempurna. Tidak, saya baru belajar menjadi guru dan ini refleksi saya dan kita bersama.

Susah menjadi guru. Maju kena mundur kena. Ibarat peribahasa "Guru kencing berdiri, murid kencing berlari". Pertama mendengar peribahasa ini, saya bilang apakah tidak ada peribahasa lain yang lebih sopan? Akan tetapi setelah memahaminya, saya pikir ini adalah peribahasa yang tepat.

Apa yang dilakukan oleh guru tidak sepenuhnya dilakukan oleh siswa. Siswa hanya berusaha mendekati kesempurnaan. Misalnya kita memberikan skor 1-10 untuk sebuah perilaku, jika guru melakukan dengan nilai 10 maka siswa akan mampu melakukan nilai 9.

Akibatnya jika guru itu bobrok, siswanya akan lebih bobrok; Jika gurunya porno makanya muridnya akan jadi bintang porno; jika gurunya pemarah maka muridnya akan jadi preman jalanan. Kira-kira begitu jika dilihat dari sisi karakter.

Alangkah sulitnya jadi guru. Dari sisi kegiatan belajar mengajar, guru harus menyiapkan diri secara ekstra untuk memberikan yang terbaik. Jujur, kadang kala saya lalai dalam hal ini karena tidak sanggup. Apalagi saya mengajar di kampung. Saya tidak bermaksud merendahkan tapi kemampuan bernalar anak-anak di kampung masih rendah. Soal ini harus ada pembahasan khusus karena penyebabnya cukup kompleks.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun