"Teh, lapar!" Ati, adik bungsuku, merengek, sambil memegangi perutnya.
Teh Dini yang sedang mengerjakan PR, cepat-cepat menghampiri, dan membujuknya.
"Tunggu bentar lagi, ya. Ibu pasti pulang."
Adikku masih meringis. Duh, bahaya kalau dia menangis! Segera kuberikan mainan katak dari kertas, yang tadi kubuat.
"Nih, coba liat, Dik!"
Adikku menoleh kepadaku, dan dengan cepat mengambil origami itu dari tanganku. Senyumnya pun seketika mengembang.
"Wah, bagus!" ucapnya.
"Ini katak, ya, Teh Ana?" ia memainkan katak kertas itu dengan gembira.
"Iya, tadi Teh Ana belajar di sekolah!" ujarku.
Sejenak Ati asyik dengan mainannya, dan terlupa akan rasa laparnya.
Kami berempat memang menunggu ibu, yang sedang mengikuti pengajian di rumah tetangga. Biasanya, ibu akan membawa makanan, yang langsung kami serbu.
Dengan empat orang anak yang masih kecil-kecil, kehidupan Ibu sangatlah sulit. Gaji pensiun janda yang ditinggalkan oleh almarhum ayah sebagai guru SD yang baru bertugas sepuluh tahun, tak mencukupi kebutuhan kami.
Untuk menambal kebutuhan keempat anaknya, Ibu biasa berjualan pecel dan pisang goreng pada sore hari.
A Bari, anak tertua, dan Teh Dini, anak kedua, dua-duanya masih duduk di kelas lima SD. Aku anak ketiga, baru kelas dua SD, dan Ati, adikku, baru bermur tiga tahun.
"Assalamu'alaikum!"
Tiba-tiba suara ibu terdengar. Kami berempat langsung menyambut kedatangannya,
"Wa'alaikumussalam warahmatullah!" pintu pun terbuka. Tatapan kami langsung tertuju ke tangan Ibu.
"Ibu, lapaar!" Ati menggelendot manja.
Ibu segera menggendongnya, dan membawanya masuk ke dalam rumah. Tangan kanannya, menjinjing kresek hitam, oleh-oleh dari yang punya hajat.
"Duh, kasian. Nih, Ibu bawa makanan," ujarnya sambil menurunkan si bungsu dari gendongan, dan mendudukannya di atas tikar yang sudah robek di sana sini..
Tanpa banyak bicara, Ibu bergegas ke dapur, dan segera kembali dengan menenteng pisau dan empat buah piring plastik.
A Bari, Teh Dini, aku dan Ati, merubung ibu dengan penuh suka cita.
Ibu segera membuka dus dan terlihatlah makanan yang sangat menggugah selera, Timbel nasi, pindang telur, oseng bihun dan kerupuk udang. Dengan cekatan, ibu membagi makanan itu masing-masing menjadi empat bagian, dan meletakannya pada piring.
"Nah, ayo, makan!" ucapnya sambil mengelus kepala kami.
Kak Bari duluan mengambil piring, disusul Ati. Aku dan Teh Dini mengambil piring setelahnya. Walau sedikit, tetapi makanan itu sangat berati bagi kami. Kami pun langsung melahapnya.
Ibu menatap kami satu per satu.
"Kok, Ibu gak makan?" tanyaku sambil sibuk mengunyah.
Ibu menggelengkan kepala.
"Ibu sudah kenyang, Nak! Makanlah!" ujarnya sambil tersenyum.
"Nah, Ibu mau siap-siap dulu buat jualan, ya!"
Kami hanya mengangguk.
Ibu segera bangkit, dan menuju dapur untuk menyiapkan barang dagangannya. Tetapi masih sempat kulihat, Ibu mengusap matanya yang basah.
Ah, Ibu selalu begitu. Selalu menahan lapar, demi kami anak-anaknya!
Hatiku merasa sedih, padahal dulu kami tak pernah merasa selapar ini, saat Ayah masih ada.
Duh, kenapa sih, Ayah pergi secepat itu? Hiks
Tetapi kesedihanku hanya sesaat. Segera kuhabiskan makanan bagianku, karena takut diminta A Bari, yang selalu makan dengan cepat. Dan ia suka meminta jatah makanan dari adik-adiknya, kalau masih lapar.
Oh, tidaaak!