Mohon tunggu...
Tety Polmasari
Tety Polmasari Mohon Tunggu... Lainnya - ibu rumah tangga biasa dengan 3 dara cantik yang beranjak remaja
Akun Diblokir

Akun ini diblokir karena melanggar Syarat dan Ketentuan Kompasiana.
Untuk informasi lebih lanjut Anda dapat menghubungi kami melalui fitur bantuan.

kerja keras, kerja cerdas, kerja ikhlas, insyaallah tidak akan mengecewakan...

Selanjutnya

Tutup

Trip Pilihan

Cerita Si Kakak Pertama Kali Mendaki Puncak Gunung Gede-Pangrango, Seru Banget!

31 Mei 2022   15:56 Diperbarui: 31 Mei 2022   16:24 1316
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Suami dan si kakak berada di Puncak Gunung Gede (dokumen pribadi)

Dua minggu lalu, anak pertama saya, Putik Cinta Khairunnisa, yang sebentar lagi berusia 17 tahun, ikut kamping di puncak Gunung Gede-Pangrango yang berada di kawasan Taman Nasional Gunung Gede-Pangrango, Jawa Barat.

Itu pun setelah memenuhi persyaratan yang diminta seperti menyertakan kartu identitas diri (kartu pelajar) dan foto sertifikat vaksin Covid-19, serta membayar tiket masuk yang dipesan secara online.

Suami saya sengaja mengajaknya sebagai bentuk memenuhi janjinya untuk mendaki puncak Gunung Gede. Janji yang baru terealisasi setelah dua tahun berselang.

Kebetulan juga pendakian Gunung Gede Pangrango kembali dibuka mulai Selasa 10 Mei 2022. Sebelumnya sempat ditutup dari 14 April hingga 9 Mei 2022 karena faktor potensi cuaca esktrem.

Pembukaan ini sesuai dengan Surat Edaran Kepala Balai Besar TNGGP Nomor: SE. 09/BBTNGGP/Tek.2/05/2022 tentang Pembukaan Kegiatan Pendakian Gunung Gede Pangrango.


Nah, pada dua minggu lalu itu, kebetulan, Sabtu - Minggu ada pendidikan untuk calon anggota Mapala UI atau Mahasiswa Pencinta Alam Universitas Indonesia.

Suami, kebetulan juga, menjadi anggota senior yang diajak untuk menghadiri pendidikan ini. Lalu suami mengajak anak pertama kami. Ada beberapa anggota senior yang juga diajak untuk mengawasi dan mendampingi.

Kalau saya dan dua adiknya tidak ikut meski saya sangat ingin ke sana. Ingin mengulang kisah "kesuksesan" saya mendaki gunung Gede hingga ke puncak pada 18 tahun silam. Di awal-awal saya dan suami baru menikah.

Diajak ke puncak Gunung Gede, tentu saja anak saya senang. Akhirnya, kesampaian juga anak saya mendaki Gunung Gede hingga ke puncak.

Dokumen pribadi
Dokumen pribadi

Dia juga senang banget berada di Alun-alun Suryakencana. Bisa jadi ini adalah moment "bersejarah" dalam hidupnya yang akan dikenangnya di kemudian hari.

"Kakak Putik hebat, Bun, bisa juga dia sampai ke puncak," kata suami ketika tiba di rumah, Senin subuh sambil melaporkan jalur puncak ke bawah macet hingga 5 jam.

Baca juga:
Mengenang Liburan Bersama "Mendaki" Air Terjun Cibeureum

Dua tahun lalu, kami sempat kemping di kaki Gunung Gede. Awalnya, suami menjanjikan mengajak anak-anak mendaki hingga ke puncak. Anak-anak jelas semangat.

Sayangnya, saat itu pendakian hingga ke puncak ditutup. Taman Nasional Gunung Gede Pangrango tengah ada kegiatan pembersihan.

Pengunjung hanya diperkenankan mendaki hanya sampai air terjun Cibereum. Butuh waktu sekitar 1,5 jam hingga 2 jam untuk bisa sampai ke sini.

Cuaca juga sangat tidak mendukung. Hujan turun dengan deras. Terlebih, pada Senin lusanya anak pertama saya ada study tour ke Jogjakarta.

Khawatir tubuhnya nanti jadi tidak fit, suami membatalkan rencana mendaki melalui jalur "tidak resmi". Nah, anak pertama saya ngambek. Dia sangat ingin mendaki sampai ke puncak.

"Kak, mendaki sampai ke puncak jauh lho. Bisa 8 jam atau 10 jam baru sampai. Harus melewati pohon-pohon dan semak berduri. Belum kalau hujan. Kakak sanggup?" kata saya.

"Sanggup," jawabnya.

"Tapi kan Kakak Senin subuh mau ke Jogjakarta. Tubuh Kakak ntar nggak fit, sakit, batal deh jalan-jalannya," kata saya.

Bukan apa-apa, kan sudah bayar. Jadi, ya sayang saja duitnya kalau akhirnya tidak jadi jalan. Kan lumayan buat dialokasikan bayar yang lain.

Dokumen pribadi
Dokumen pribadi
Suami pun berjanji akan mengajaknya lagi mendaki. Wajah anak saya manyun menggambarkan betapa kecewanya dirinya.

Dan, ajakan itu baru terealisasi dua tahun kemudian. Kalau tahun-tahun sebelumnya terhalang karena ada pandemi Covid-19. Kalau sekarang kan sudah diperbolehkan.

Bedanya dengan 18 tahun lalu itu, suami menjelaskan, kami mendaki melalui jalur Gunung Putri. Jalur ini bisa dibilang yang paling cepat untuk bisa mencapai puncak atau ikon Gunung Gede, Alun-alun Suryakencana.

Jalur Gunung Putri (Cipanas) membutuhkan paling tidak lima sampai tujuh jam untuk sampai Alun-alun Suryakencana. Tergantung kecepatan jalan dan beban yang dibawa.

"Kalau jalur Gunung Putri, puncak dulu baru Alun-alun Suryakencana. Nah kalau yang Kakak Putik melalui jalur Cibobas (di Cianjur). Alun-alun dulu baru puncak. Kalau jalurnya Bunda mah termasuk gampang dan cepat," terang suami.

Ada lagi jalur pendakian ke puncak Gunung Gede yang juga resmi, yaitu di Salabinta (Sukabumi). Tapi ini bukan jalur favorit, karena durasinya yang lama. Waktu yang dibutuhkan untuk bisa sampai ke Alun-alun Suryakencana paling tidak satu hari satu malam

Wah, berarti luas juga ya kaki Gunung Gede sampai ke Sukabumi segala. Tapi untuk jalur Salabintana ini saya belum pernah coba. Apa perlu dicoba?

Perbedaan lainnya dari karakter jalan yang dilalui. Jalur Gunung Putri didominasi oleh tanah dan akar-akar dari pepohonan. Kalau lewat Cibodas, melalui tangga buatan, yang bikin kaki terasa cepat pegal.
 
"Bagaimana Kak, seru nggak?" tanya saya sambil mengurut kakinya yang terkilir. Telapak kaki kanannya membengkak tapi tidak mengkilap.

Berarti, kakinya menurut saya, baik-baik saja. Tidak ada yang perlu dikhawatirkan. Tidak ada luka sobek dan tidak ada tulang yang patah.

Dokumen pribadi
Dokumen pribadi
Itu mah lebih karena tulang dan uratnya yang shock terkena benturan keras. Nanti juga kempes. Yang penting, kakinya sering-sering digerak-gerakkan agar uratnya tidak tegang. Begitu penjelasan saya kepadanya.

Saya tanya kenapa bisa terkilir? Anak saya bilang karena terjatuh saat turun dari puncak. Waktu turun hujan cukup deras sehingga jalanan jadi licin.

Kebetulan juga hari mulai gelap. Tongkat yang dibawanya tidak cukup mampu menahannya. Dia pun terjatuh.

"Bagaimana, seru nggak? saya mengulang pertanyaan. Sambil meringis dia menjawab "seru".

Dia bercerita ketika mendaki, hujan turun dengan deras, kalau kata suami sih hujan badai karena angin bertiup cukup kencang, tapi anak saya tetap semangat mendaki.

"Iya, tapi 300 meter menuju puncak, Kakak lepas ranselnya, nggak mau bawa, minta Daddy yang bawa," timpal suami.

Suami tidak bisa memaksa. Karena suami punya riwayat serangan jantung, dan tidak kuat juga harus membawa dua ransel, akhirnya suami menyewa jasa porter untuk membawakan ransel anak kami hingga ke puncak.

Di puncak, cuaca teramat dingin. Suhunya minus sekian. Anak saya mengigil juga meski sudah memakai jaket tebal. Dulu, saya juga menggigil di dalam tenda hehehe...

Paginya baru deh cuaca agak terang. Pemandangan di Alun-alun Suryakencana begitu menakjubkan. Berada di ketinggian 2.750 mdpl, area seluas sekitar 50 hektar ini memang diliputi hamparan rerumputan dan bunga edelweis.

Anak saya menikmati keindahan alam ini sambil menyaksikan bentang alam di sekitarnya yang menakjubkan dari hamparan edelweis hingga puncak Gunung Gede.

Dokumen pribadi
Dokumen pribadi

"Wah, padahal Bunda pengen banget ikutan mendaki. Bunda masih kuat itu, orang sering jalan kaki," kata saya.

Suami lantas mengajak kami untuk mendaki ke puncak Gunung Sumbing, Jawa Tengah, pada 17 Agustus 2022 dalam rangka memeringati Hari Kemerdekaan Republik Indonesia. Tentu saja bersama Mapala UI. Mendengar ajakan tersebut jelas saya senang.

Bagi saya, mendaki gunung itu mengasyikkan. Melihat kedekatan suami sebagai ayah dengan anak kami, tentu sesuatu yang membahagiakan buat saya sebagai ibu dan isteri.

Menurut saya sangat bermanfaat juga. Terkadang jika di rumah anak enggan banyak bercerita, bisa jadi saat mendaki ada komunikasi yang lebih menarik antara anak dan ayah. Sehingga anak menjadi lebih terbuka dan terbawa ketika berada di rumah.

Mendaki kan tidak  sekadar melibatkan aktifitas fisik semata. Namun juga menikmati suasana, menyaksikan tumbuh-tumbuhan dan satwa. Berbincang dalam udara segar ditambah dengan pemandangan alam, biasanya hubungan dan suasana hati menjadi lebih baik.

Nah, manfaat buat anak saya, bisa menjadi semacam terapi bagi kesehatan jiwanya. Jadi, mendaki ini insyaallah sehat fisik, sehat jiwa.

Jadi, anak saya bisa lebih "menyadari" betapa hebatnya sang Pencipta yang menciptakan alam semesta dan segala isinya.

Demikian cerita saya dan anak pertama saya.

Dokumen pribadi
Dokumen pribadi

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Trip Selengkapnya
Lihat Trip Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun