Mohon tunggu...
Tety Polmasari
Tety Polmasari Mohon Tunggu... Lainnya - ibu rumah tangga biasa dengan 3 dara cantik yang beranjak remaja
Akun Diblokir

Akun ini diblokir karena melanggar Syarat dan Ketentuan Kompasiana.
Untuk informasi lebih lanjut Anda dapat menghubungi kami melalui fitur bantuan.

kerja keras, kerja cerdas, kerja ikhlas, insyaallah tidak akan mengecewakan...

Selanjutnya

Tutup

Love Pilihan

Boleh kan Memilih Hidup Tanpa Menikah tapi Tetap Bahagia?

10 Juni 2021   20:28 Diperbarui: 10 Juni 2021   20:49 1934
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Di antara kita, ternyata ada juga yang memilih untuk hidup sendiri dan tidak menikah alias menjomlo. Di saat kawan-kawan seusianya sudah memiliki beberapa anak, bahkan cucu, dia tetap menikmati hidup single yang dipilihnya.

Ya, seperti kawan saya, kawan geng saat di SMA. Setelah tidak bertemu selama 30 tahun, ternyata kabar yang dibagikan dia adalah masih melajang dan dia happy-happy saja. Tidak ada yang salah, bukan? Begitu katanya dengan senyum lebar.

Entah apa penyebabnya. Apakah karena ada trauma masa lalu yang begitu membekas di hati hingga tetap menjomblo? Seingat saya sih kami berdelapan anggota geng tidak pernah pacaran deh. Tapi... dalam perjalanan berpuluh-puluh tahun selepas SMA, siapa yang tahu?

"Gue kalo nanya-nanya kehidupan pribadi loe, keberatan kagak?" tanya saya dalam pertemuan 2 pekan lalu bersama 2 kawan yang lain dalam satu geng.

"Keberatan kenapa? Loe lihat ekspresi wajah gue bagaimana? Ada tampang kesel nggak?" jawabnya tersenyum.

"Coba ceritain kenapa loe masih menyendiri. Apakah pernah sakit hati? Biasanya kan orang masih sendiri itu karena ada trauma masa lalu," tanya kawan saya yang lain. Ibu dari 5 putra yang menikah di usia 21 tahun.

"Nggak, nggak ada," jawabnya tersenyum lebar.

Saya ceritakan, saya juga dulu sempat pernah terlintas untuk tidak menikah setelah beberapa kali menjalin hubungan eh kandas di tengah jalan.

Mantan-mantan saya itu (mantan-mantan? Berarti banyak dong?) menikah dengan yang lain saat hubungan belum ada kata putus. Mending hubungan yang terjalin hanya hitungan bulan, lha ini tahunan?

Sejak itu, saya mengambil keputusan untuk hidup sendiri saja. Bukan trauma sih, tapi lebih tepatnya malas lagi untuk membuka hati. Dalam "kesombongan" saya, saya selalu berujar "tanpa suami gue juga bisa hidup".

Tapi ternyata di usia saya yang ke-31 tahun, akhirnya saya menikah juga dengan masa perkenalan 6 bulan. Di bulan ke-7 lamaran, di bulan ke-8 pernikahan. Singkat dan padat. Dan, berlangsung hingga 17 tahun ini.

"Gue sebenarnya ada keinginan menikah, tapi nggak tahu belum nemu aja mungkin," katanya.

Saat study tour ke Candi Mendut, saya pakai jilbab (dokumen pribadi)
Saat study tour ke Candi Mendut, saya pakai jilbab (dokumen pribadi)

Penyebab mengapa hingga kini dirinya belum menikah mungkin karena dia selalu merasa bisa mengatasi sendiri persoalan-persoalan yang terjadi pada dirinya.

Dengan kata lain, ia menyakinkan dirinya adalah perempuan mandiri. Jadi, tanpa laki-laki pun atau suami, ia masih bisa menjalani kehidupan ini dengan baik-baik saja, dan tentu saja happy.

Persis, seperti pemikiran saya dulu banget. Karena saya bekerja, saya menjadi perempuan yang lebih berdaya, punya uang sendiri, dan bisa mengatasi persoalan sendiri. Jadi, tanpa seorang suami pun, sepertinya tidak masalah.

Tentu saja pemikiran saya ini tidak sejalan dengan orangtua, khususnya ibu saya. Beberapa kali pihak keluarga ayah berusaha menjodohkan saya dengan anak kawannya. Tapi ya tetap saja saya tidak sreg.

"Nah, orangtua loe bagaimana, suka nanya-nanya nggak, sama kayak gue?" tanya saya.

Awalnya sih sering bertanya, tapi lama kelamaan diam dengan sendirinya. Keluarga besarnya yang lain juga biasa-biasa saja. Tidak mengusiknya dengan pertanyaan yang itu-itu lagi.

Kebetulan kakaknya yang perempuan juga belum menikah. Tapi masing-masing tidak saling bertanya mengapa mereka belum menikah juga. Kecuali, jika salah satunya bercerita sendiri tanpa ditanya.

"Gue nggak pernah nanya-nanya, kakak gue juga nggak pernah nanya-nanya. Nggak pernah sharing-sharing juga. Mungkin karena terlalu pribadi kali ya," katanya.

Alasan lain mengapa masih betah menjomblo karena hidup single membuat hidupnya jadi tidak dibebani oleh pasangan.

Hidup single akan membuat dirinya lebih bebas, yang bisa jadi terbebas dari kemungkinan perceraian, pengkhianatan, atau kehilangan harta karena pasangan yang tidak bertanggung jawab.

"Manusia memang bebas memilih bukan?" ujarnya.

"Ya jangan gitulah. Padahal loe menarik kok. Gue yakin banyak pria yang sebenarnya tertarik sama loe. Gue yakin ketika loe akhirnya menikah, nyokap loe pasti lebih bahagia," kata kawan saya yang memiliki usaha jasa kurir JNE di Sukabumi, Jawa Barat.

Teman saya hanya tersenyum.

Dari anggota satu geng ini, ada 3 di antaranya yang dipastikan belum menikah, 3 yang lain sudah menikah, 2 lagi belum ada kabar apakah sudah menikah atau belum.

Memang benar, pernikahan sendiri belum bisa menjamin apakah seseorang akan lebih bahagia daripada ketika hidup sebelum menikah.

Karena faktanya, ada pernikahan tanpa cinta, ada pernikahan karena terpaksa, ada pernikahan yang diwarnai dengan kekerasan dalam rumah tangga, ada pernikahan yang dibumbui dengan perselingkuhan, ada pernikahan yang berakhir dengan perceraian, dan banyak lagi.

Tapi faktanya juga, ada pernikahan yang berjalan dengan penuh kebahagiaan bersama belahan jiwa. Dan, itu banyak kita temui. Entah pernikahan kita sendiri, saudara-saudara, sahabat dan lainnya.

Semuanya berpulang pada pilihan masing-masing. Tidak terjebak pada stigma, bahwa menikah adalah satu-satunya jalan mendapatkan kebahagiaan.

Sekalipun masih sendiri, kebahagiaan masih tetap bisa diciptakan. Bisa didapat dengan cara yang lain. Karena sejatinya, yang menentukan kebahagiaan kita, ya diri kita sendiri. Bukan orang lain, apalagi menggantungkan kebahagiaan kita pada pasangan.

Menikah tak berarti membuat kita lepas dari masalah. Kita hanya diberi kesempatan menghadapi berdua. Sementara menghadapi masalah untuk yang masih sendiri, bukankah akan membuktikan bahwa kita sosok yang tangguh?

***

Berfoto bersama kawan-kawan SMA (saya pakai jilbab)
Berfoto bersama kawan-kawan SMA (saya pakai jilbab)
Terbayang tidak bagaimana rupa wajah kawan satu geng saat SMA yang tidak berjumpa selama 30 tahun? Apakah ada yang berubah?

Nah, itulah yang saya alami, ketika berjumpa dengan beberapa kawan geng dua pekan lalu. Bayangkan 30 tahun tak bersua?! Jadi, saya begitu antusias ketika diajak ketemuan.

Sejatinya, di geng ini "beranggotakan" 8 orang termasuk saya. Dari 7 orang ini, satu di antaranya sudah sering berjumpa dalam berbagai kesempatan. Kebetulan juga bersekolah di SMP yang sama.

Sayang, waktu berjumpa, yang hadir hanya berempat. Yang lain tidak diketemukan jejak digitalnya. Dicari-cari tidak ada. Ditanya ke sana ke sini, tidak ada yang tahu. Hanya kata-katanya saja.

Oh iya, ada satu yang terendus jejaknya, cuma kawan saya ini tidak bisa hadir karena di saat bersamaan kondisi ibunya yang sudah sepuh kurang sehat.

Saat SMA, kaami, para anggota geng kerap "taruhan". Siapa di antara kami yang bisa masuk 5 besar, wajib mentraktir para anggota. Apakah ada? Ya adalah hehehe...

Kawan saya juara pertama, sementara saya masuk 10 besar saja. Yang lain, lupa. Tapi tidak buncit-buncit amat rankingnya. Jadi, yang juara pertamalah yang mentraktir. Asyikkk...

Di gank kami, ada arisan "mie ayam" yang dikocok setiap Sabtu. Yang namanya keluar, berarti giliran mentraktir kami makan mie ayam gerobak yang biasa mangkal di depan sekolah.

Dulu, seingat saya mie ayam termasuk makanan "baru" di Depok, sehingga menjadi favorit teman-teman saya. Rasanya yang enak ditambah saos sambal, semakin nikmat.

Saya lupa berapa harga seporsinya? Yang jelas, masih terjangkau oleh kantong teman-teman. Dan, itu berlangsung hingga kami lulus SMA pada 1991.

Anggota geng saya sih sebenarnya termasuk yang baik-baik saja. Tidak banyak bikin ulah. Meski saya pernah diusir guru kelas karena dinilai tidak mengikuti pelajarannya dengan serius.

Ada juga kawan saya yang beberapa kali terusir dari sekolah karena datang terlambat di saat pintu gerbang sudah ditutup. Ya, akhirnya pulang ke rumah.

Oh iya, kami semua menyukai guru matematika yang sama. Laki-laki. Dia menjadi guru favorit. Apalagi kalau bukan karena ... ganteng hahaha... Belajar jadi fokus.

Kebetulan sebagian dari kami menyukai pelajaran matematika, sebagiannya lagi karena faktor G, alias guru yang ganteng.

Dalam pertemuan itu pun, kami kembali mengenang kekonyolan yang dilakukan saat SMA.

Kami pun mengagendakan pertemuan dilanjutkan dalam kesempatan yang lain, yang tentu saja diharapkan dalam formasi yang lengkap.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Love Selengkapnya
Lihat Love Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun