"Ayah bunda kapan pulang ke rumah? Besok ya besok. Aku mau ada ayah bunda di sini kumpul lagi." Itu adalah kata-kata yang tak pernah putus diucapkan jagoan kecil mereka saat video call.Â
Mendengar perkataan anaknya itu, sejenak hati kawan saya serasa berhenti bergedub. Hanya bisa tarik napas dan mencoba untuk tidak meneteskan air mata. Hampir 1 bulan lamanya anaknya juga tidak sekolah online karena tidak ada yang mendampingi.Â
Tapi nyatanya, meski mereka berdua dinyatakan negatif, tidak serta merta mereka bisa langsung pulang ke rumah. Oleh orang rumahnya, keduanya tidak boleh pulang dulu. Kakaknya amat khawatir kawan saya ini akan menulari orang-orang rumah. Padahal, sudah jelas-jelas hasil PCR-nya negatif.
Berbagai alasan dicari-cari agar keduanya tidak pulang ke rumah. Mereka diminta untuk mengisolasikan diri selama 16 hari lagi, meski hasil PCR sudah negatif dan sudah isolasi mandiri juga.
Di hari ke-9 masa isolasi yang diminta itu, keduanya memeriksakan diri ke dokter, dan dokter membolehkan untuk pulang berkumpul bersama keluarga.Â
"Pulang saja Bapak, Ibu ke rumah. Karena virusnya sudah tidak ada dan tidak menularkan ke orang lain," kata dokter.
Tetap saja, mereka ditolak keluarganya. Tunggu sampai hari ke-16 masa isolasi yang diminta keluarganya. Ia merasa diperlakukan seperti penderita kusta saja.
Karena mereka masih menumpang dengan orangtua, yang tinggal juga dua kakaknya, jadi kawan saya tidak bisa berbuat apa-apa, selain mengalah.
Jadilah mereka menumpang tinggal di rumah tetangga yang kosong. Masih di kompleks yang sama, hanya beda blok. Mungkin kalau mereka tinggal di rumah sendiri, jalan ceritanya jadi lain.
"Hanya karena keparnoan dan overthinking yang ada di kepala mereka, sampai mereka lupa sisi kemanusian. Mereka takut tertular. Takut, takut, takut hingga akhirnya diplintir, diputar-putar lagi dengan beribu-ribu alasan agar kami tidak cepat pulang ke rumah," cerita kawan saya.
"Yang kami punya sabar, doa, dan 2 jagoan yang tak sabar ingin kami cium, peluk," tuturnya lagi.