Mohon tunggu...
Tety Polmasari
Tety Polmasari Mohon Tunggu... Lainnya - ibu rumah tangga biasa dengan 3 dara cantik yang beranjak remaja
Akun Diblokir

Akun ini diblokir karena melanggar Syarat dan Ketentuan Kompasiana.
Untuk informasi lebih lanjut Anda dapat menghubungi kami melalui fitur bantuan.

kerja keras, kerja cerdas, kerja ikhlas, insyaallah tidak akan mengecewakan...

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Artikel Utama

Balada Penyintas Covid-19, "Terusir" dari Rumah hingga Tak Bisa Bersua Anak

24 Januari 2021   17:14 Diperbarui: 25 Januari 2021   11:18 1463
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

"Ayah bunda kapan pulang ke rumah? Besok ya besok. Aku mau ada ayah bunda di sini kumpul lagi." Itu adalah kata-kata yang tak pernah putus diucapkan jagoan kecil mereka saat video call. 

Mendengar perkataan anaknya itu, sejenak hati kawan saya serasa berhenti bergedub. Hanya bisa tarik napas dan mencoba untuk tidak meneteskan air mata. Hampir 1 bulan lamanya anaknya juga tidak sekolah online karena tidak ada yang mendampingi. 

Tapi nyatanya, meski mereka berdua dinyatakan negatif, tidak serta merta mereka bisa langsung pulang ke rumah. Oleh orang rumahnya, keduanya tidak boleh pulang dulu. Kakaknya amat khawatir kawan saya ini akan menulari orang-orang rumah. Padahal, sudah jelas-jelas hasil PCR-nya negatif.

Berbagai alasan dicari-cari agar keduanya tidak pulang ke rumah. Mereka diminta untuk mengisolasikan diri selama 16 hari lagi, meski hasil PCR sudah negatif dan sudah isolasi mandiri juga.

Di hari ke-9 masa isolasi yang diminta itu, keduanya memeriksakan diri ke dokter, dan dokter membolehkan untuk pulang berkumpul bersama keluarga. 

"Pulang saja Bapak, Ibu ke rumah. Karena virusnya sudah tidak ada dan tidak menularkan ke orang lain," kata dokter.

Tetap saja, mereka ditolak keluarganya. Tunggu sampai hari ke-16 masa isolasi yang diminta keluarganya. Ia merasa diperlakukan seperti penderita kusta saja.

Karena mereka masih menumpang dengan orangtua, yang tinggal juga dua kakaknya, jadi kawan saya tidak bisa berbuat apa-apa, selain mengalah.

Jadilah mereka menumpang tinggal di rumah tetangga yang kosong. Masih di kompleks yang sama, hanya beda blok. Mungkin kalau mereka tinggal di rumah sendiri, jalan ceritanya jadi lain.

"Hanya karena keparnoan dan overthinking yang ada di kepala mereka, sampai mereka lupa sisi kemanusian. Mereka takut tertular. Takut, takut, takut hingga akhirnya diplintir, diputar-putar lagi dengan beribu-ribu alasan agar kami tidak cepat pulang ke rumah," cerita kawan saya.

"Yang kami punya sabar, doa, dan 2 jagoan yang tak sabar ingin kami cium, peluk," tuturnya lagi.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun