Mohon tunggu...
Tety Polmasari
Tety Polmasari Mohon Tunggu... Lainnya - ibu rumah tangga biasa dengan 3 dara cantik yang beranjak remaja
Akun Diblokir

Akun ini diblokir karena melanggar Syarat dan Ketentuan Kompasiana.
Untuk informasi lebih lanjut Anda dapat menghubungi kami melalui fitur bantuan.

kerja keras, kerja cerdas, kerja ikhlas, insyaallah tidak akan mengecewakan...

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Sketsa Kehidupan "Perempuan-perempuan Tangguh"

5 Desember 2020   12:48 Diperbarui: 5 Desember 2020   13:29 109
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Namanya Ibu Dwi Lastuti. Usianya 67 tahun di Desember ini. Setidaknya, begitu menurut pengakuannya. Pembawaannya ceria. Usianya memang tak lagi muda, tapi ia terlihat semangat. Meski memakai masker, senyumnya bisa terlihat dari sorot matanya.

"Bu, ada air minum nih, Liminerale," begitu katanya pada saya. Dan, ini menjadi awal saya berkenalan dengannya di Kedokteran Nuklir RSCM, usai punggung tangan saya disuntik zat radioaktif, Kamis (3/12/2020).

"Yaaa...saya sudah beli 3 botol ini," kata saya membalikkan badan lalu menunjuk 3 botol air mineral yang saya beli di loket Kedokteran Nuklir. Saya membeli karena petugas mengingatkan pasien setelah disuntik pasien harus banyak minum air putih, minimal 1,5 liter.

"Ini ada lontong, lemper, dadar burung, kue lapis," katanya mencoba menawarkan. Sebenarnya saya tidak dalam kondisi lapar, tapi saya berjam-jam di sini, jadi bisa saja saya diserang rasa lapar. 

Ia pun mengeluarkan jualannya yang dikemas dalam plastik mika, lalu ditaruh di bangku. Dalam satu plastik mika ini berisi tiga makanan. Ada yang sama, ada yang berbeda. Semuanya dihargai Rp10000.

"Ada kacang nggak Bu?" tanya saya yang dijawabnya ada. Satu bungkus kecil kacang goreng ini dihargai Rp2500. Berhubung saya penyuka kacang goreng saya pun membeli empat bungkus, yang ternyata memang hanya tersisa sejumlah itu.

Saya juga mengambil satu kemasan yang berisi tahu isi dan dua bungkus lontong, yang cukup menggoda saya. Lalu ambil satu kemasan yang isinya tiga bungkus lemper isi abon ayam. Saya juga ambil satu botol minuman mineral.

"Berapa semuanya Bu?" tanya saya. Dalam hitungannya Rp35.000. Saya memberikan uang yang kembaliannya saya bilang buat ibu saja. Ia pun mengucapkan terima kasih.

Ibu Dwi ini penjual makanan yang ia jajakan dengan berkeliling area RSCM. Ia sendiri mengaku sudah dua tahun ini berjualan di sini. Bisa jadi saya sering berpapasan dengannya mengingat saya menjadi pasien RSCM sejak Mei 2018. 

Yang menjual makanan di RSCM banyak. Tidak hanya Ibu Dwi seorang. Mereka tidak membuka lapak sebagaimana biasanya orang jualan. Jadi, para penjual yang sebagian para ibu ini berkeliling di setiap poli dengan memanggul tas ransel.

Dagangannya dimasukkan ke dalam tas ransel yang cukup besar. Terkadang di tangan kiri dan kanannya juga menenteng kantong plastik yang isinya makanan ringan yang untuk dijual kepada pasien atau pendamping pasien.

"Somay, somay, somay..., Aqua, Aqua..." kata seorang ibu penjual melewati saya ketika saya berobat di Poli Bedah dan Tumor yang berada di lantai 2. 

"Keripiknya juga ada," katanya lagi. "Ini bikin sendiri Bu," katanya lagi. Saya pun membeli sambil mengulik soal kehidupannya. Tak perlu detil. Dua tiga kalimat saja sudah cukup menggambarkan sketsa kehidupannya.

Beberapa pendamping pasien juga ada yang membeli. Lalu ia mengitari ruang tunggu yang cukup luas ini sambil menjajakan makanannya dengan suara yang tidak keras dan juga tidak pelan.

Suatu ketika saya berobat di poli Rehabilitasi Medik, yang dekat Radioterapi, juga didekati seorang ibu yang menawarkan dagangannya. Di poli Pulmonologi dan Paru, Radiologi, poli Penyakit Dalam, poli Kandungan dan Kebidanan, pun demikian. 

Sepertinya di setiap area RSCM ini ada ibu-ibu penjual makanan yang tengah mencari rejeki untuk keluarganya. Yang dijual pun bermacam jenis makanan ringan seperti roti, lontong, lemper, mie goreng, somay, pastel, kue-kue, air mineral, dan banyak lagi. 

Mereka ini, perempuan-perempuan tangguh yang tidak mengenal lelah mencari uang demi anak-anaknya dan keluarganya, atau bahkan buat dirinya sendiri. Tidak peduli sudah berapa jauh kaki melangkah, yang penting ada senyum kebahagiaan yang menyambutnya di rumah.

Bagi saya pribadi, keberadaan para penjual ini sangat membantu pasien, terutama pendamping pasien, yang tengah berobat di sini. Ketika mereka haus atau lapar dan tidak membawa bekal, ibu-ibu penjual itu bisa menjadi penolong. Jadi, pengunjung tidak perlu takut lagi kelaparan. 

Kehadiran ibu-ibu penjual ini sama-sama menguntungkan. Pendamping pasien atau pasien tidak kelaparan, dan ibu penjual mendapatkan uang dari makanan yang dijualnya.

Berobat di rumah sakit sekelas RSCM butuh waktu cukup lama. Bisa berjam-jam. Sebagai rumah sakit rujukan nasional, bisa dimaklumi jika pasiennya berasal dari berbagai daerah di Indonesia. 

Karena pasien yang banyak itulah yang membutuhkan waktu lebih lama berada di sini. Dari mulai dari pemberkasan (bagi pasien BPJS), pendaftaran, pemeriksaan, hingga mengambil obat. 

Waktu yang berjam-jam ini tentu saja akan membuat perut-perut kelaparan. Bagi yang membawa bekal tidak masalah. Yang tidak bawa? Membeli makanan di luar khawatir namanya dipanggil. Belum lagi harus jalan kaki mengitari area RSCM. 

Bisa juga sih memesan makanan secara online seperti beberapa kali saya lakukan, tapi kan itu butuh waktu. Sementara ibu penjual itu tepat berada di depan kita. Jadi tidak butuh waktu, tidak harus mengeluarkan tenaga juga. 

Memang ada kantin dan gerai-gerai makanan, tapi perlu waktu dan tenaga juga untuk bisa ke sini. Iya kalau dekat dengan poli yang kita kunjungi, kalau jauh? Tahu sendiri kan betapa luasnya area RSCM. Bagi yang baru ke sini tentu memusingkan.

Itulah yang mendorong Ibu Dwi berjualan. Saat ia sempat dirawat di RSCM, ia melihat beberapa pendamping kesulitan untuk membeli makanan. Membeli berarti harus meninggalkan pasien. Jadi, ia melihat ada peluang usaha di sini.

Untuk mempersiapkan jualannya, ibu tiga putra ini rela bangun jam 2 dini hari di saat yang lain masih terlelap tidur. Ia shalat sunah dulu sebelum memulai aktifitasnya itu. Setelah itu, baru ia berkutat di dapur. Membuat lontong, lemper, tahu isi, pastel, dadar burung. 

"Semuanya hasil bikin sendiri, bukan beli di pasar subuh," katanya. 

Dalam sehari itu, ia bisa membawa sekitar 40 kemasan yang ditaruh di tas ranselnya. Lalu ia pun beranjak dari rumahnya yang berada di sekitar Cipinang dengan naik angkot dua kali. 

Biasanya, ia tiba di RSCM pada pukul 8 pagi. Tidak sampai setengah hari jualannya ludes tak bersisa. Berapa keuntungan yang ia peroleh? 

"Ya cukuplah, yang penting nutupin modal dan ongkos. Kalo tenaga mah saya nggak hitung. Saya mah hitung-hitung nolongin pasien aja. Itu udah cukup membahagiakan buat saya. Biar berkah juga. Kalo mikir keuntungan, duit yang saya dapatkan ini mah nggak ada artinya," katanya. 

Mengapa ia harus banting tulang toh ia punya tiga anak yang semuanya lelaki. Apakah anak-anaknya tidak ada yang membantunya?

"Anak-anak saya jauh-jauh. Yang satu tinggal di Cimanggis, anaknya ada enam. Yang satu lagi tinggal di Bekasi, anaknya ada empat. Yang satu lagi di sekitaran Jakarta, ada anaknya juga. Kasian kalo direpotin," katanya.

Daripada ia berkeluh kesah dan berpangku tangan tanpa hasil, ia pun berjualan. Ia sendiri tinggal bersama adiknya yang juga janda seperti dirinya. Suaminya sudah meninggal beberapa tahun lalu.

Dengan berjualan ia bisa mendapatkan uang. Sedikit atau banyak uang yang didapat tak jadi soal baginya. Yang jelas ada kepuasan batin yang ia rasakan. Ia memperoleh uang dari hasil keringatnya sendiri, bukan meminta-minta.

Saya melihat sketsa kehidupan yang begitu indah dari sosok Ibu Dwi. Setidaknya, ada nilai kehidupan yang bisa saya petik darinya: banyak bersyukur, tidak mengeluh, gigih, bekerja keras.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun