Belakangan, mulai bermunculan masker yang macam warna. Saya senang dong. Berarti saya bisa mencocokkan dengan warna baju atau jilbab atau kaos kaki yang saya kenakan.
Kalau baju yang saya pakai dominan warna ungu, berarti jilbab, kaos kaki, dan masker "harus" warna senada. Kalau tidak ada, saya pakai warna masker yang berwarna netral seperti putih, hitam, biru dongker, krem, abu-abu.
Biar tidak ribet, saya biasanya membeli dalam jumlah banyak yang saya beli di dekat Stasiun Citayam, saat saya berangkat atau pulang kerja. Atau ketika saya menjumpai penjual masker yang mangkal di jembatan penyeberangan.
Semua warna yang ada saya beli. Terlebih masker ini hanya sekali pakai, tidak bisa dipakai berulang kali. Biasanya, sampai di rumah sepulang saya kerja baru saya buang ke tempat sampah.
Ketiga, pada 2018 saya divonis kanker payudara stadium tiga. Jadi saya harus sering bolak-balik ke rumah sakit. Mengingat sifat kanker yang bisa membuat daya tahan tubuh menurun, kebiasaan saya memakai masker saya teruskan. Tetap dong dengan memperhatikan warna yang senada. Pakai baju warna hijau, misalnya, ya jilbab, kaos kaki, dan masker warna senada.
Keempat, pada 2019 saya terkena infeksi paru-paru. Penyebabnya mungkin karena efek dari 26 kali saya diradioterapi atau disinar. Selain dada kiri saya (bagian yang terkena kanker) hangus, ternyata saya mengalami batuk yang tak kunjung sembuh meski sudah minum obat batuk bebas.Â
Setelah diperiksa di poli paru dan pulmonologi RSCM -- dengan membawa surat pengantar dari dokter di bagian Radoterapi, ternyata saya terkena infeksi paru-paru. Atas kondisi ini, oleh dokter, saya diharuskan pakai masker. Ah. Tanpa "diperintah" pun saya sudah pakai masker kok.Â
Pada "fase" ini masker yang saya pakai terbuat dari kain. Motif dan warnanya pun bermacam-macam. Tapi saya lebih sering pakai masker warna polos tanpa motif untuk menghindari kesan "ramai" terlebih baju atau jilbab saya bermotif banyak warna. Kecuali, jika baju atau jilbab yang saya kenakan berwarna polos, baru masker motif saya pakai. Ribet? Ah, tidak juga.
Kelima, kebetulan saya dikelilingi teman-teman yang sebagian besar pria, dan sebagian besar dari mereka adalah perokok garis keras. Sesama pekerja lapangan juga tetapi berbeda institusi. Saya paling tidak kuat mencium asap rokok. Saya bisa langsung batuk-batuk, meski yang merokok berjarak 3 meter dari saya. Mungkin karena kondisi paru-paru saya sudah tidak sesehat sebelum-belumnya.Â
Jadi ketika saya bersama mereka, masker yang saya kenakan tidak saya lepaskan. Mau rapat, diskusi, atau sekedar kumpul-kumpul. Kecuali kalau mau makan atau minum.
Keenam, ya agar tidak tertular dan menulari Covid-19. Mengingat riwayat penyakit saya yang katanya rentan tertular, suami pun "mengintruksikan" saya untuk semakin ketat menjaga diri. Selain pakai masker, saya juga diingatkan untuk pakai sarung tangan dan face sheild.Â