Mohon tunggu...
Nelda Lawolo
Nelda Lawolo Mohon Tunggu... Mahasiswa

Aku menulis bukan karena tahu segalanya, tapi karena aku sedang mencari, bertanya, dan kadang terdiam.

Selanjutnya

Tutup

Lyfe Pilihan

Ketika Canda Berubah Luka, Siapa yang Bertanggung Jawab?

20 Juli 2025   13:40 Diperbarui: 20 Juli 2025   13:37 39
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Foto seorang anak yang sedang sedih (Sumber: Pixabay/Mofarrelly))

Setiap orang pasti sudah pernah jadi bahan lelucon. Kadang kita yang tertawa, kadang juga kita yang ditertawakan. Namun, ada saat ketika suasana canda berubah menjadi nada yang membekas tergores didalam hati. Ketika canda berubah menjadi luka, siapa yang seharusnya bertanggung jawab?

Di sebuah kelas sekolah menengah, seorang anak laki-laki duduk terdiam membisu. Teman-temannya tertawa sambil menunjuk-nunjuk rambutnya yang acak-acakkan, seragamnya lusuh dan tampak lelah. "Eh, si dekil datang! jangan duduk dekat-dekat nanti miskinnya ketularan! salah satu mereka berteriak, disambut dengan tawa yang amat riuh. Anak itu hanya meresponi dengan menunduk. Tak ada jawaban. Hanya matanya yang terlihat sedikit basah, lalu buru-buru diseka. "Ah, bercanda doang kali, jangan terlalu baper!" kata teman-temannya yang lain, mencoba meredam suasana dengan menahan tawa kecil.

Kalimat itu "Cuma bercanda" telah menjadi patokan oleh banyak pelaku bullying untuk melindungi diri dari rasa bersalah. Mereka lupa bahwa candaan yang menurut lucu, menjadi racun yang perlahan-lahan membunuh kepercayaan diri korban. Di balik senyum korban, seringkali tersembunyi luka yang tidak terlihat. Luka yang mereka bawa pulang, mereka bisa nangis dan kadang terbawa trauma hingga dewasa.

Fenomena ini tidak hanya terjadi di lingkungan sekolah. Di tempat kerja, pergaulan, rumah yang kerap disamarkan sebagai lelucon. Seorang rekan kerja diejek karena tubuhnya kurus, gemuk, pendek, pelit yang berfokus pada penampilan fisik. Semua dibungkus dalam label "guyonan", padahal yang merasakannya tidak pernah ikut tertawa.

Masalahnya, korban bullying seringkali tidak berani melawan. Mereka takut kalau mereka di cap berlebihan, sensitif bahkan akan dijauhi teman-temannya. Sementara pelaku tidak sadar akan kesalahan yang di perbuat karena telah menganggap bahwa itu semua hanya sekadar canda. Inilah ketidakadilan yang selama ini tidak pernah di perhatikan bahwa yang melukai tidak merasa bersalah, sementara korban memikul beban dan diam-diam seorang diri.

Siapa yang seharusnya bertanggung jawab? Jawabannya sangat sederhana yaitu semua orang. Pelaku harus diajari untuk menumbuhkan kesadaran bahwa lelucon yang baik tidak pernah melukai. Penonton hanya menyaksikan apa yang sedang terjadi, tetapi mereka juga mempunyai tanggung jawab untuk melerai pelaku tersebut , bukan malah ikut menertawakannya. Korban pun perlu diberi ruang untuk bicara, didukung untuk berani untuk menyatakan bagian apa yang terluka.

Tawa memang menyatukan, tetapi hanya jika tidak ada yang disakiti karenanya. Saat kita menyaksikan seseorang terdiam dengan mata yang basah ketika semua orang tertawa, mungkin dari situ kita bertanya bahwa : apakah ini masih canda, atau sudah menjadi luka? Dan, jika sudah menjadi luka, berhentilah. Jangan tunggu sampai terlambat sehingga tidak bisa dipulihkan.

Karena tak ada ketawa yang sepadan dengan air mata seseorang.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

Mohon tunggu...

Lihat Konten Lyfe Selengkapnya
Lihat Lyfe Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun