Evolusi Pendekatan Munsabah: Dari Tradisi Klasik ke Wacana KontemporerÂ
Pendekatan al-Munasabah atau keterkaitan antar ayat dan surat telah muncul sejak fase awal perkembangan ilmu tafsir. Salah satu tokoh awal yang menyinggung pentingnya keterkaitan dalam struktur ayat adalah al-Zamakhsyari (wafat 538 H) melalui karyanya al-Kashshaf. Meskipun tidak secara sistematis mengembangkan metodologi munasabah, ia telah menunjukkan adanya hubungan logis antara ayat-ayat dalam surah tertentu.[8]
Pemikiran tersebut kemudian dikaji lebih rinci oleh al-Biqa'i (wafat 885 H) melalui karyanya Nazm ad-Durar fi Tanasub al-Ayat wa as-Suwar. Menurutnya, hubungan antar ayat merupakan bagian dari keindahan struktur ilahi Al-Qur'an, dan ia menolak anggapan bahwa ayat-ayat dalam satu surat tidak memiliki kesatuan tema.[9]
Meski begitu, tidak semua ulama klasik merespon pendekatan ini dengan positif. Imam as-Suyuti, misalnya, dalam al-Itqan f 'Ulum al-Qur'an mengkritik sebagian mufassir yang terlalu memaksakan adanya hubungan antar ayat yang sebenarnya keterkaitannya.[10] Dalam konteks modern, pendekatan munasabah mengalami penguatan kembali. Quraish Shihab dalam kitabnya Membumikan Al-Qur'an menekankan pentingnya memahami keterkaitan antar ayat agar pesan Al-Qur'an dapat diserap secara utuh, khususnya dalam konteks masyarakat Indonesia.[11]Â
Selain itu, perkembangan hermeneutika kontekstual yang diusung Fazlur Rahman melalui metode double movement memberikan kerangka yang lebih fleksibel dalam membaca relasi teks dan konteks, baik historis maupun kontemporer.[12] Pendekatan munasabah kini tidak hanya dipakai untuk melacak kesinambungan lafadz atau tema dalam Al-Qur'an, melainkan juga dijadikan sebagai instrumen strategis dalam menyelaraskan pesan-pesan ilahi dengan tuntutan zaman.[13]
Kritik Terhadap Fragmentasi Tafsir Konvensional
Metode tafsir konvensional yang cenderung memandang ayat-ayat secara terpisah kerap mengabaikan konteks luas dalam Al-Qur'an. Akibatnya, penafsiran yang dihasilkan menjadi terpotong-potong dan terkadang bertentangan dengan ayat lainnya, sehingga makna wahyu menjadi terpecah dan tema utama tidak tersampaikan secara lengkap dan efektif.[14]
Sebagai alternatif, pendekatan al-Munasabah menekankan hubungan tematik dan struktur antara ayat dan surat sehingga tafsir yang dihasilkan menjadi lebih menyeluruh. Pendekatan ini mengutamakan kesinambungan narasi wahyu serta konteks sosial-historis yang melingkupinya. Dengan demikian, struktur dalam Al-Qur'an menjadi lebih jelas dan meminimalisir risiko terjadinya tafsir yang saling bertolak belakang.
Selain itu, al-Munasabah memungkinkan pemahaman ayat secara dinamis dan relevan dengan perkembangan zaman, karena setiap ayat dipandang sebagai bagian dari sistem yang saling terkait, bukan sebagai potongan-potongan terpisah. Pendekatan ini memperkuat pemahaman Al-Qur'an sebagai kitab suci yang tetap relevan seiring perkembangan zaman, tidak hanya terbatas pada saat wahyu itu diturunkan.
Manna' al-Qaththan pun menekankan bahwa pendekatan ini memperkuat landasan ijtihad dalam tafsir dengan menegaskan keterkaitan tematik dan retoris antar ayat. Dengan cara ini, al-Munasabah menjadi metode penting dalam membangun tafsir yang lebih sistematis dan ilmiah, berbeda dengan tafsir konvensional yang cenderung terfragmentasi.[15]
Relevansi dengan Tantangan Hermeneutika Modern