Bagi generasi sebelum tahun 2000-an, menikah sering dianggap sebagai bagian alami dari perjalanan hidup. Namun, bagi Generasi Z anak muda yang lahir sekitar tahun 1997 hingga awal tahun 2010-an pernikahan bukanlah sekedar ritual budaya atau pencapaian sosial. Bagi mereka, menikah berarti komitmen emosional, tanggung jawab finansial, serta tantangan psikologis yang harus dihadapi dengan persiapan matang. Tidak heran jika banyak riset menunjukkan munculnya berbagai kekhawatiran Gen Z terhadap kehidupan setelah menikah, terutama terkait dengan stabilitas ekonomi, kemandirian, dan kesehatan mental.
Biaya, Stabilitas Ekonomi, dan Beban Psikologis
Ketika membicarakan pernikahan, salah satu hal pertama yang muncul di benak Gen Z adalah soal biaya. Mereka tumbuh dalam situasi ekonomi yang penuh ketidakpastian, mulai dari krisis global, inflasi, hingga harga properti yang terus meningkat. Sebuah survei di Amerika Serikat mencatat bahwa 75% pasangan muda Gen Z dan milenial menganggap pernikahan terlalu mahal untuk kondisi ekonomi saat ini (CNBC, 2023). Beban ekonomi ini tidak hanya memengaruhi keputusan untuk menikah, tetapi juga membawa dampak psikologis, seperti kecemasan dan stres berkepanjangan. Studi dalam Journal of Affective Disorders menegaskan bahwa ketidakstabilan ekonomi menjadi salah satu faktor risiko utama timbulnya kecemasan pada generasi muda, termasuk Gen Z (Leung et al., 2023). Ketika biaya hidup dan ekspektasi finansial semakin tinggi, tekanan mental pun meningkat. Akibatnya, sebagian besar anak muda lebih memilih menunda pernikahan mereka hingga merasa cukup aman secara ekonomi.
Kemandirian, Karier, dan Kesehatan Mental
Selain masalah ekonomi, Gen Z juga cemas tentang bagaimana pernikahan dapat memengaruhi kemandirian pribadi dan karir mereka. Generasi ini tumbuh dengan nilai kebebasan dan pengembangan diri. Mereka khawatir bahwa setelah menikah, fokus terhadap pekerjaan, pendidikan lanjutan, atau hobi bisa terganggu. Bagi perempuan, ada tambahan kekhawatiran tentang beban ganda: mengurus rumah tangga sambil mempertahankan karir. Kondisi ini memiliki kaitan erat dengan kesehatan mental. Studi WHO (2022) mencatat bahwa perempuan muda lebih rentan mengalami depresi dan kelelahan emosional ketika menghadapi tuntutan ganda antara keluarga dan pekerjaan. Sementara itu, survei Just So Soul di Tiongkok pada 2023 menunjukkan bahwa meskipun 80% Gen Z masih ingin menikah, mereka menekankan pentingnya kesetaraan dalam rumah tangga. Kekhawatiran akan "terjebak" dalam pola gender tradisional membuat sebagian besar Gen Z lebih berhati-hati sebelum menikah (PR Newswire, 2023).
Tekanan Sosial dan Dampaknya pada Kesehatan Psikologis
Gen Z juga menghadapi tekanan sosial yang tidak kecil. Pertanyaan seperti "kapan menikah?" atau "kapan punya anak?" seringkali menjadi pemicu stres. Survei Arkipelago Analytics di Filipina (Manila Bulletin, 2025) menunjukkan bahwa sebagian besar anak muda merasa tertekan karena ekspektasi keluarga. Banyak di antara mereka yang menunda menikah hingga usia 35 tahun  ke atas , dengan alasan ingin mencapai kestabilan emosional dan finansial terlebih dahulu. Tekanan sosial ini dapat berdampak buruk pada kesehatan mental. Menurut American Psychological Association (APA, 2020), tekanan untuk memenuhi standar sosial yang tidak sesuai dengan kondisi individu bisa meningkatkan risiko gangguan kecemasan sosial dan depresi. Bagi Gen Z, yang sudah akrab dengan isu kesehatan mental, hal ini menjadi salah satu alasan utama mereka memilih untuk menikah lebih lambat atau bahkan tidak menikah sama sekali.Â
Hubungan Pernikahan, Kesehatan Mental, dan Kesehatan Fisik
Menariknya, meskipun penuh kekhawatiran, riset juga menunjukkan bahwa pernikahan dapat memberikan manfaat bagi kesehatan mental maupun fisik-tetapi hanya jika dijalani dengan hubungan yang sehat. Studi longitidunal yang diterbitkan dalam Journal of Family Psychology (Umberson & Thomeer, 2020) menunjukkan bahwa pernikahan yang suportif mampu mengurangi risiko depresi dan meningkatkan kesejahteraan psikologis. Sebaliknya, pernikahan penuh konflik justru meningkatkan risiko gangguan mental bahkan penyakit kardiovaskular. Hal ini semakin memperkuat alasan mengapa Gen Z sangat berhati-hati dalam mengambil keputusan untuk menikah. Mereka tidak ingin sekedar menikah demi memenuhi ekspetasi, tetapi benar-benar memastikan bahwa pernikahan mereka membawa dampak positif bagi kesehatan mental dan kehidupan secara keseluruhan.
Pernikahan sebagai pilihan autentik
Meski banyak kekhawatiran, bukan berarti Gen Z menolak pernikahan. Survei Charles Russell Speechlys (2025) menemukan bahwa 75% Gen Z dewasa di Inggris tetap berencaan menikah, dengan 69% diantaranya berharap memiliki anak. Namun, cara mereka memandang pernikahan berbeda: bukan sekedar status sosial, melainkan sebuah pilihan yang autentik dan personal. Survei The Knot Worldwide (2024) juga menemukan bahwa lebih dari 70% persen Gen Z di Amerika menantikan hari pernikahan mereka, tetapi dengan gaya yang lebih sederhana dan sesuai dengan identitas mereka.Â