PENDAHULUAN
Teori Akuntansi dengan pendekatan hermeneutik Wilhelm Dilthey memberikan cara pandang baru terhadap hakikat akuntansi sebagai ilmu yang tidak hanya berfokus pada angka, data, dan prosedur teknis, tetapi juga pada pemahaman makna dan nilai kemanusiaan di balik praktik ekonomi. Wilhelm Dilthey (1833-1911), seorang filsuf Jerman, dikenal sebagai tokoh yang membedakan secara tegas antara ilmu alam (Naturwissenschaften) dan ilmu kemanusiaan (Geisteswissenschaften). Menurutnya, ilmu alam menjelaskan fenomena dengan hukum sebab-akibat yang objektif, sedangkan ilmu kemanusiaan berupaya memahami kehidupan manusia dari dalam melalui pengalaman, makna, dan nilai moral. Ketika pandangan ini diterapkan dalam akuntansi, Dilthey mengajak untuk melihat bahwa angka-angka dalam laporan keuangan bukan sekadar hasil perhitungan matematis, melainkan simbol kehidupan ekonomi manusia yang mencerminkan tanggung jawab, niat, dan nilai sosial.
Pendekatan hermeneutik dalam akuntansi berangkat dari gagasan bahwa memahami lebih penting daripada sekadar menjelaskan. Akuntansi tidak dapat direduksi menjadi alat pengukuran objektif yang netral, karena di balik setiap transaksi dan laporan terdapat keputusan moral, pengalaman emosional, serta konteks sosial yang memengaruhi maknanya. Laba, misalnya, bukan hanya hasil perhitungan keuangan, tetapi juga bisa dimaknai sebagai keseimbangan antara usaha dan nilai moral, atau bahkan sebagai wujud rasa syukur dan tanggung jawab sosial. Dengan demikian, akuntansi menjadi bagian dari ekspresi kehidupan manusia (das Leben), di mana setiap simbol dan angka mencerminkan makna yang hidup dan dinamis.
Dalam perspektif Dilthey, penelitian dan praktik akuntansi seharusnya tidak hanya menjelaskan data ekonomi secara empiris, tetapi juga menafsirkan makna dan nilai di baliknya melalui proses pemahaman (Verstehen). Pendekatan hermeneutik memungkinkan akuntansi menjadi ilmu yang lebih manusiawi, karena memperhatikan dimensi etika, empati, dan moralitas yang melekat dalam kehidupan ekonomi. Peneliti dan akuntan tidak lagi dipandang sebagai pengamat netral, melainkan sebagai penafsir kehidupan sosial yang berusaha memahami konteks dan nilai-nilai yang melatarbelakangi setiap angka. Dengan demikian, teori akuntansi hermeneutik Wilhelm Dilthey menghadirkan akuntansi sebagai ilmu yang utuh bukan sekadar alat teknis untuk mencatat realitas ekonomi, tetapi juga cermin kehidupan manusia yang menulis kisah, nilai, dan makna kemanusiaan melalui simbol-simbol angka.
Apa yang dimaksud Dilthey ketika menyebut akuntansi sebagai ilmu kemanusiaan yang menafsirkan makna di balik angka?
Wilhelm Dilthey memandang akuntansi bukan hanya sebagai sistem teknis yang berfungsi mencatat transaksi keuangan, tetapi sebagai ilmu kemanusiaan yang menafsirkan makna di balik angka. Pandangan ini muncul dari pemikirannya tentang dua jenis ilmu, yaitu ilmu alam (Naturwissenschaften) dan ilmu kemanusiaan (Geisteswissenschaften). Ilmu alam menjelaskan fenomena objektif berdasarkan hukum sebab-akibat, sedangkan ilmu kemanusiaan berupaya memahami pengalaman, makna, dan nilai kehidupan manusia. Dalam konteks ini, Dilthey menegaskan bahwa akuntansi tidak cukup dijelaskan melalui pendekatan ilmiah yang hanya menekankan angka dan data, karena di balik angka-angka tersebut terdapat kehidupan manusia yang penuh makna, nilai moral, dan ekspresi sosial.
Selama ini, akuntansi sering dianggap sebagai "ilmu sosial yang meniru ilmu eksakta." Pendekatan positivistik memandang laporan keuangan sebagai objek yang bisa diukur secara empiris dan diuji dengan rumus atau korelasi statistik. Namun, menurut Dilthey, pendekatan tersebut hanya melihat permukaan dari realitas ekonomi. Ia mengibaratkan cara pandang positivistik seperti dokter yang mengamati pasien dari luar tanpa memahami perasaan dan pengalaman batinnya. Sebaliknya, dalam pendekatan hermeneutik yang dikembangkan Dilthey, akuntansi harus dilihat dari dalam, melalui pemahaman terhadap pengalaman hidup para pelaku ekonomi. Laporan keuangan bukan lagi sekadar kumpulan data, tetapi teks kehidupan yang menyimpan kisah manusia, keputusan moral, dan tanggung jawab sosial.
Bagi Dilthey, memahami berarti menafsirkan (Verstehen), bukan sekadar menjelaskan (Erklren). Pemahaman hanya bisa diperoleh jika peneliti atau akuntan mau "menghidupkan kembali" pengalaman orang lain (nacherleben) dengan dasar empati. Dalam akuntansi, ini berarti memahami bagaimana seseorang memaknai laba, utang, atau tanggung jawab bukan sebagai angka netral, tetapi sebagai simbol kehidupan ekonomi yang dijalani. Misalnya, bagi pedagang tradisional, laba mungkin dimaknai sebagai rezeki dan tanda keberkahan. Bagi korporasi modern, laba merupakan ukuran kinerja dan bentuk legitimasi sosial. Sementara bagi komunitas religius, laba bisa dianggap sebagai keseimbangan moral antara usaha manusia dan kehendak Tuhan. Dengan demikian, makna akuntansi selalu berbeda-beda tergantung pada konteks sosial, budaya, dan spiritual masyarakat yang melahirkannya.
Dalam kerangka hermeneutik Dilthey, akuntansi merupakan bagian dari dunia hidup manusia (Lebenswelt). Dunia hidup adalah realitas sosial yang penuh nilai, makna, dan pengalaman historis yang dihayati manusia. Artinya, akuntansi tidak berada di luar manusia, melainkan menjadi bagian dari cara manusia memahami dan menata kehidupannya. Angka-angka dalam laporan keuangan adalah simbol-simbol dari kehidupan itu sendiri. Misalnya, angka saldo kas mencerminkan rasa aman dan kontrol; laporan tahunan menggambarkan tanggung jawab dan keinginan untuk diakui; sementara neraca sosial menandakan nilai solidaritas dan spiritualitas. Dalam perspektif ini, angka bukan realitas mati, tetapi jejak kehidupan batin manusia.
Dilthey menolak pandangan bahwa hanya ilmu alam yang rasional. Ia menegaskan bahwa ilmu kemanusiaan juga rasional, hanya saja rasionalitasnya bersifat interpretatif. Kebenaran dalam akuntansi hermeneutik tidak diukur dari seberapa kuat hubungan statistiknya, melainkan dari kedalaman makna yang berhasil dipahami dan dihubungkan secara koheren. Peneliti atau akuntan hermeneutik bukanlah pengamat netral, melainkan penafsir yang ikut terlibat secara batin. Validitas pengetahuan diperoleh dari keutuhan makna dan konsistensi nilai yang ditemukan dalam proses penafsiran. Dengan demikian, pendekatan hermeneutik tidak menolak angka, tetapi memberi jiwa pada angka dengan cara memahami maknanya bagi manusia.
Selain aspek epistemologis, Dilthey juga menekankan aksiologi atau nilai dalam akuntansi. Baginya, ilmu tanpa nilai adalah pengetahuan yang terpisah dari kehidupan. Dalam akuntansi, setiap angka selalu membawa nilai tertentu. Laba bisa mencerminkan keadilan atau keserakahan, tergantung pada niat di baliknya. Pajak bisa dipandang sebagai bentuk solidaritas sosial, bukan sekadar kewajiban hukum. Laporan keuangan yang jujur merupakan wujud tanggung jawab moral kepada masyarakat. Dengan kata lain, angka-angka akuntansi adalah simbol moral yang hidup. Akuntansi bukan hanya berbicara tentang efisiensi dan laba, tetapi juga tentang kejujuran, empati, dan keseimbangan moral.
Empati (Einfhlung) menjadi aspek penting dalam akuntansi hermeneutik. Akuntan yang berempati tidak hanya memahami data finansial, tetapi juga memahami kehidupan manusia di baliknya seperti tekanan moral, tanggung jawab sosial, atau penderitaan akibat keputusan ekonomi. Auditor yang berempati tidak sekadar memeriksa angka, tetapi berusaha memahami konteks sosial dan etis di balik laporan. Dengan empati, akuntansi menjadi praktik moral dan kemanusiaan, bukan hanya prosedur teknis.
Melalui pendekatan ini, akuntansi dipandang sebagai cermin kehidupan manusia yang plural dan historis. Sistem akuntansi yang berlaku di suatu masyarakat mencerminkan nilai-nilai yang dipegang oleh masyarakat itu sendiri. Akuntansi kolonial mencerminkan rasionalitas kontrol dan dominasi, sedangkan akuntansi koperasi desa mencerminkan semangat gotong royong. Artinya, setiap sistem akuntansi adalah produk dari jiwa historis (historischer Geist) suatu bangsa. Maka, tidak ada satu bentuk akuntansi yang benar secara universal, karena maknanya selalu dibentuk oleh konteks sosial dan nilai budaya.
Dari seluruh pandangan tersebut, dapat disimpulkan bahwa ketika Dilthey menyebut akuntansi sebagai ilmu kemanusiaan yang menafsirkan makna di balik angka, ia ingin mengembalikan akuntansi pada hakikatnya sebagai ekspresi kehidupan manusia. Angka dalam laporan keuangan bukan sekadar hasil perhitungan, tetapi narasi tentang kehidupan, perjuangan, dan moralitas manusia dalam dunia ekonomi. Akuntansi tidak berhenti pada pencatatan transaksi, melainkan menjadi tindakan menulis kehidupan (das Leben schreiben) cara manusia menandai eksistensinya dan mengungkapkan nilai-nilai sosial serta spiritualnya. Dengan memahami makna di balik angka, akuntansi dapat berfungsi bukan hanya sebagai alat ekonomi, tetapi juga sebagai bahasa moral yang menuntun manusia pada keseimbangan antara keuntungan dan kemanusiaan.
Mengapa akuntansi perlu dimaknai secara hermeneutik agar tidak kehilangan nilai moral dan kemanusiaannya?
Akuntansi perlu dimaknai secara hermeneutik agar tidak kehilangan nilai moral dan kemanusiaannya, karena pada dasarnya akuntansi bukan hanya sekadar alat teknis untuk mencatat dan mengukur transaksi ekonomi, tetapi juga merupakan ekspresi kehidupan manusia yang penuh makna, nilai, dan tanggung jawab sosial. Dalam pandangan Wilhelm Dilthey, ilmu kemanusiaan (Geisteswissenschaften) harus berfokus pada pemahaman (Verstehen) terhadap kehidupan batin manusia, bukan sekadar penjelasan kausal (Erklren) seperti dalam ilmu alam. Dengan kata lain, ilmu tentang manusia termasuk akuntansi tidak cukup dijelaskan melalui angka dan rumus, melainkan harus dipahami melalui penafsiran makna kehidupan yang terkandung di dalamnya. Ketika akuntansi hanya dilihat dari sisi teknis dan kuantitatif, ia berisiko menjadi ilmu yang kering, mekanistik, dan terlepas dari nilai-nilai kemanusiaan yang seharusnya menjadi ruhnya. Oleh karena itu, pendekatan hermeneutik hadir untuk mengembalikan makna moral, empati, dan nilai hidup ke dalam praktik dan pemahaman akuntansi.
Dalam kerangka hermeneutik Dilthey, manusia adalah makhluk yang hidup di dalam dunia pengalaman (Lebenswelt) yang penuh dengan simbol, nilai, dan makna. Akuntansi sebagai bagian dari kehidupan sosial juga mencerminkan dunia hidup tersebut. Angka-angka dalam laporan keuangan tidak muncul begitu saja sebagai hasil hitungan matematis, tetapi merupakan simbol kehidupan manusia hasil dari keputusan moral, pertimbangan etis, dan pengalaman sosial. Misalnya, angka laba bukan hanya selisih antara pendapatan dan beban, tetapi dapat dimaknai sebagai bentuk tanggung jawab, keadilan, atau bahkan spiritualitas, tergantung pada nilai yang dipegang oleh individu atau organisasi. Dalam konteks inilah hermeneutika menjadi penting, karena ia mengajak kita untuk melihat apa makna di balik angka-angka itu. Tanpa pemahaman hermeneutik, angka-angka akuntansi dapat dengan mudah diperlakukan sebagai "objek mati" yang terpisah dari kehidupan manusia, padahal sesungguhnya angka-angka itu adalah jejak moral dan sosial dari aktivitas ekonomi manusia.
Jika akuntansi hanya berfokus pada efisiensi, laba, dan kepatuhan teknis tanpa memahami makna sosialnya, maka akuntansi akan kehilangan sisi etik dan moralnya. Dalam konteks modern, banyak praktik manipulasi laporan keuangan, penyimpangan etika profesi, dan krisis kepercayaan publik yang berakar dari pandangan sempit terhadap akuntansi sebagai alat teknis semata. Hal ini sejalan dengan kritik Dilthey terhadap positivisme yang meniadakan nilai dari ilmu. Ia menegaskan bahwa ilmu tanpa nilai adalah pengetahuan yang terasing dari kehidupan. Karena itu, akuntansi yang bermakna secara hermeneutik berusaha untuk tidak hanya menjawab "berapa laba yang diperoleh," tetapi juga "apa makna laba itu bagi manusia, masyarakat, dan lingkungan." Pendekatan ini mengembalikan akuntansi pada perannya sebagai bahasa moral dan sosial yang menyampaikan nilai tanggung jawab, kejujuran, dan keadilan.
Aksiologi hermeneutik menurut Dilthey menjelaskan bahwa pengetahuan sejati tidak hanya mencari kebenaran empiris, tetapi juga menyelami nilai dan makna dari kebenaran itu sendiri. Dalam akuntansi, nilai kehidupan (Lebenswert), empati (Einfhlung), dan makna moral menjadi tiga pilar utama yang memberi arah bagi praktik profesional. Nilai kehidupan berarti bahwa akuntansi harus mencerminkan orientasi kemanusiaan seperti keadilan, tanggung jawab sosial, dan kesejahteraan bersama. Empati berarti akuntan, auditor, dan peneliti perlu memahami kehidupan orang lain dari dalam, melihat "nasib di balik angka," dan tidak sekadar menilai dari data. Sementara makna moral berarti bahwa setiap keputusan akuntansi adalah tindakan etis yang membawa konsekuensi sosial. Misalnya, keputusan pengakuan pendapatan, penghapusan piutang, atau pelaporan CSR bukan hanya persoalan teknis, melainkan cerminan dari nilai moral seperti kejujuran, kepedulian, dan tanggung jawab terhadap masyarakat.
Selain itu, akuntansi yang dimaknai secara hermeneutik dapat membantu menumbuhkan kesadaran reflektif terhadap peran sosial dan kemanusiaan profesi akuntan. Dalam pandangan Dilthey, memahami berarti juga merefleksikan kehidupan sendiri dalam hubungannya dengan orang lain. Artinya, seorang akuntan yang bekerja dengan pendekatan hermeneutik tidak hanya mematuhi standar dan peraturan, tetapi juga merenungkan makna moral dari pekerjaannya. Ia sadar bahwa setiap laporan keuangan adalah bentuk komunikasi etis antara perusahaan dan publik, dan bahwa angka-angka yang disajikan dapat memengaruhi kehidupan banyak orang. Dengan kesadaran ini, akuntansi dapat menjadi praktik moral yang berlandaskan empati dan tanggung jawab, bukan sekadar rutinitas administratif.
Hermeneutika juga memberi ruang bagi pluralitas makna dalam akuntansi. Setiap masyarakat atau lembaga memiliki nilai-nilai historis dan budaya yang berbeda dalam memaknai angka. Akuntansi di perusahaan kapitalistik mungkin menekankan efisiensi dan pertumbuhan, sedangkan akuntansi koperasi menonjolkan nilai solidaritas dan kesejahteraan bersama. Dalam konteks spiritual, akuntansi bahkan bisa dipahami sebagai sarana menjaga keseimbangan antara dimensi material dan moral. Dengan memahami keragaman makna ini, pendekatan hermeneutik membantu akuntansi untuk tidak terjebak dalam pandangan tunggal yang mekanistik dan universal, tetapi terbuka terhadap konteks sosial dan moral di mana ia dijalankan.
Dengan demikian, akuntansi perlu dimaknai secara hermeneutik karena pendekatan ini menghidupkan kembali dimensi manusia, nilai, dan etika dalam angka-angka keuangan. Hermeneutika menempatkan akuntansi sebagai praktik interpretatif yang menyatukan logika rasional dan empati manusiawi. Melalui pemahaman ini, akuntansi tidak lagi hanya menjadi alat pengukuran ekonomi, tetapi juga menjadi sarana untuk memahami dan memperkuat nilai-nilai kemanusiaan. Setiap angka dalam laporan keuangan dapat dibaca sebagai teks moral yang berbicara tentang kejujuran, tanggung jawab, dan keadilan sosial.
Pada akhirnya, tanpa pendekatan hermeneutik, akuntansi berisiko kehilangan jiwanya menjadi ilmu yang kaku, dingin, dan terpisah dari kehidupan manusia yang nyata. Namun, dengan menafsirkan akuntansi secara hermeneutik, angka-angka kembali hidup sebagai simbol kemanusiaan yang mengandung nilai moral, empati, dan kesadaran sosial. Inilah mengapa akuntansi perlu dimaknai secara hermeneutik: agar ia tidak hanya mencatat transaksi ekonomi, tetapi juga menjaga makna hidup manusia di balik setiap angka.
Bagaimana peneliti akuntansi menerapkan pendekatan hermeneutik untuk memahami makna simbol dan pengalaman ekonomi?
Pendekatan hermeneutik dalam akuntansi, sebagaimana dijelaskan melalui pemikiran Wilhelm Dilthey, berfokus pada pemahaman makna di balik simbol-simbol dan pengalaman ekonomi manusia, bukan sekadar pada pengukuran angka-angka keuangan. Bagi Dilthey, setiap ilmu yang mempelajari manusia harus berangkat dari pemahaman terhadap kehidupan itu sendiri (das Leben), karena manusia tidak hanya menghasilkan data, tetapi juga makna. Dalam konteks penelitian akuntansi, pendekatan hermeneutik berarti bahwa peneliti tidak hanya mengamati laporan keuangan sebagai objek empiris yang netral, melainkan berusaha menafsirkan pengalaman dan nilai yang melatarbelakangi angka-angka tersebut. Misalnya, angka laba, beban, atau utang bukan hanya hasil hitungan matematis, tetapi cerminan keputusan moral, tekanan sosial, dan pengalaman hidup para pelaku ekonomi. Dengan demikian, penelitian akuntansi hermeneutik berusaha menggali makna subjektif di balik simbol ekonomi agar dapat memahami bagaimana manusia menghayati aktivitas keuangannya.
Dalam praktiknya, peneliti akuntansi hermeneutik tidak bersikap sebagai pengamat luar yang netral, seperti ilmuwan dalam ilmu alam, melainkan sebagai penafsir yang ikut terlibat dalam konteks kehidupan sosial subjek yang ditelitinya. Ia berusaha memasuki "dunia hidup" (Lebenswelt) para pelaku ekonomi melalui empati dan dialog, bukan melalui jarak dan objektivitas kaku. Prinsip ini dikenal sebagai Verstehen, yaitu proses memahami dari dalam dengan menghidupkan kembali pengalaman orang lain (nacherleben). Sebagai contoh, ketika meneliti laporan keuangan suatu koperasi desa, peneliti hermeneutik tidak hanya menghitung laba atau rasio keuangan, tetapi juga berusaha memahami bagaimana anggota koperasi memaknai laba sebagai bentuk kebersamaan dan keseimbangan sosial. Begitu pula, dalam perusahaan yang berlandaskan nilai religius, peneliti mencoba memahami bahwa keputusan akuntansi tidak hanya berorientasi pada profit, tetapi juga pada moralitas dan keberkahan. Dengan cara ini, pemahaman hermeneutik membantu peneliti menangkap dimensi manusiawi dari angka-angka keuangan.
Pendekatan ini juga menempatkan simbol sebagai kunci utama pemahaman. Dilthey berpendapat bahwa manusia selalu mengekspresikan kehidupan batinnya melalui simbol-simbol (Ausdruck) seperti bahasa, tindakan, dan karya budaya. Dalam akuntansi, simbol itu hadir dalam bentuk angka, laporan keuangan, neraca, tanda tangan, dan prosedur administratif. Setiap simbol adalah ekspresi kehidupan yang menyimpan makna tertentu. Misalnya, angka saldo kas dapat mencerminkan rasa aman dan stabilitas; laporan tahunan bisa menggambarkan keinginan untuk diakui dan dipercaya; sementara neraca sosial dapat menandakan nilai solidaritas atau tanggung jawab moral suatu entitas. Oleh karena itu, peneliti akuntansi hermeneutik membaca laporan keuangan layaknya teks sastra dimana sesuatu yang dapat ditafsirkan untuk menemukan makna batin dan nilai kehidupan di baliknya.
Selain itu, penerapan hermeneutika dalam penelitian akuntansi melibatkan kesadaran bahwa makna selalu bersifat historis dan kontekstual. Dilthey menekankan bahwa pemahaman manusia tidak pernah lepas dari sejarah dan budaya tempat ia hidup. Maka, peneliti akuntansi harus melihat sistem dan praktik akuntansi sebagai produk dari sejarah sosial dan nilai-nilai masyarakat tertentu. Akuntansi di perusahaan multinasional, misalnya, mungkin mencerminkan rasionalitas efisiensi dan kontrol, sedangkan akuntansi di lembaga sosial atau koperasi menggambarkan nilai keadilan dan gotong royong. Artinya, peneliti hermeneutik tidak mencari hukum universal seperti dalam ilmu alam, melainkan berupaya memahami makna yang hidup di dalam konteks sosial-historis tertentu.
Dalam menerapkan pendekatan ini, peneliti akuntansi harus melalui proses interpretasi berlapis. Pertama, ia mengamati ekspresi luar dari praktik akuntansi seperti dokumen, laporan, dan kebijakan. Kedua, ia menafsirkan makna yang tersembunyi di balik ekspresi tersebut dengan mempertimbangkan nilai, pengalaman, dan motivasi para pelakunya. Ketiga, ia merefleksikan kembali pemahaman itu dalam konteks sosial yang lebih luas agar dapat mengungkap makna kehidupan ekonomi secara utuh. Proses ini bersifat dialogis, karena peneliti harus terus-menerus berinteraksi dengan subjek dan teks akuntansi untuk memperdalam pemahaman. Inilah yang disebut sebagai lingkaran hermeneutik (hermeneutic circle) pemahaman yang berkembang secara dinamis antara bagian dan keseluruhan, antara teks dan konteks, antara simbol dan pengalaman.
Pendekatan hermeneutik juga menuntut sikap empati dan etika pemahaman. Empati (Einfhlung) dalam pandangan Dilthey bukan sekadar simpati emosional, melainkan cara ilmiah untuk memahami kehidupan batin orang lain. Dalam penelitian akuntansi, empati memungkinkan peneliti melihat realitas dari perspektif pelaku ekonomi itu sendiri. Misalnya, ketika meneliti laporan CSR, peneliti berusaha memahami bukan hanya data donasi, tetapi juga niat moral di balik tindakan tersebut: apakah itu bentuk tanggung jawab sosial yang tulus, strategi reputasi, atau ekspresi nilai spiritual. Dengan empati, peneliti dapat menangkap dimensi moral dari setiap simbol akuntansi, menjadikan hasil penelitiannya lebih manusiawi dan bermakna.
Selain empati, penerapan hermeneutika menuntut peneliti untuk mengakui nilai (aksiologi) yang melekat pada praktik akuntansi. Dilthey menolak pandangan bahwa nilai harus dipisahkan dari ilmu. Menurutnya, pengetahuan sejati justru lahir dari keterhubungan antara fakta dan nilai. Maka, penelitian akuntansi hermeneutik tidak hanya menjelaskan bagaimana angka dihasilkan, tetapi juga mempertanyakan makna etis dan sosial dari angka itu. Misalnya, apa arti laba bagi kesejahteraan masyarakat? Apa nilai moral di balik transparansi laporan keuangan? Pertanyaan-pertanyaan seperti ini membuat penelitian akuntansi tidak hanya deskriptif, tetapi juga reflektif dan etis.
Dengan menerapkan pendekatan hermeneutik, peneliti akuntansi pada dasarnya berusaha menjadikan akuntansi sebagai ilmu yang hidup dan manusiawi. Ia memahami bahwa angka bukanlah objek mati, melainkan ekspresi moral, sosial, dan spiritual manusia. Setiap laporan keuangan mencerminkan cerita dan perjuangan manusia dalam mengatur kehidupannya. Maka, tugas peneliti bukan hanya menghitung dan mengukur, tetapi menafsirkan makna dari simbol-simbol itu agar akuntansi dapat berperan sebagai bahasa kemanusiaan. Dengan memahami makna di balik angka, peneliti hermeneutik membantu mengembalikan akuntansi ke hakikatnya sebagai cermin kehidupan manusia, bukan sekadar alat teknis untuk mencapai keuntungan.
Melalui cara pandang ini, penelitian akuntansi tidak lagi terbatas pada analisis statistik atau model kuantitatif, tetapi berkembang menjadi proses pemahaman yang menyeluruh terhadap kehidupan ekonomi manusia. Hermeneutika menjadikan peneliti akuntansi bukan sekadar pengumpul data, tetapi penafsir kehidupan yang berupaya menemukan makna, nilai, dan tanggung jawab moral di balik setiap simbol angka. Dengan demikian, pendekatan hermeneutik membantu kita melihat bahwa akuntansi pada akhirnya adalah kisah tentang manusia tentang bagaimana mereka memberi makna pada dunia ekonomi dan mengekspresikan kemanusiaannya melalui angka-angka yang tampak sederhana, namun penuh kehidupan.
KESIMPULAN
Teori Akuntansi dengan pendekatan hermeneutik Wilhelm Dilthey menempatkan akuntansi sebagai ilmu kemanusiaan yang memahami makna di balik angka, bukan sekadar alat teknis untuk mencatat transaksi. Dalam pandangan ini, angka dalam laporan keuangan bukan hanya data kuantitatif, tetapi simbol kehidupan manusia yang mencerminkan nilai moral, tanggung jawab sosial, dan pengalaman ekonomi. Pendekatan hermeneutik menekankan proses pemahaman (Verstehen) terhadap makna yang dihayati pelaku ekonomi, sehingga peneliti atau akuntan tidak hanya menjelaskan fenomena secara objektif, tetapi juga menafsirkan kehidupan dari dalam dengan empati.
Akuntansi yang dimaknai secara hermeneutik menjadi ilmu yang hidup dan bermoral, karena menghubungkan aspek rasional dengan nilai kemanusiaan. Melalui penafsiran terhadap simbol-simbol keuangan seperti laba, utang, dan tanggung jawab sosial, akuntansi dapat berfungsi sebagai bahasa etis yang menuturkan kisah manusia dalam dunia ekonomi. Tanpa pendekatan hermeneutik, akuntansi berisiko kehilangan nilai moralnya dan menjadi sistem yang mekanistik. Oleh karena itu, teori akuntansi hermeneutik Wilhelm Dilthey mengingatkan bahwa setiap angka memiliki makna kehidupan yang menjadikan akuntansi bukan sekadar catatan keuangan, tetapi refleksi kemanusiaan yang menulis kisah moral dan sosial manusia melalui simbol ekonomi.
DAFTAR PUSTAKA
Dilthey, Wilhelm. (1976). Selected Works: Volume I, Introduction to the Human Sciences. Princeton University Press.
Dilthey, Wilhelm. (2002). The Formation of the Historical World in the Human Sciences. Princeton University Press.
Triyuwono, Iwan. (2015). Akuntansi Syariah: Perspektif, Metodologi, dan Teori. Jakarta: Rajawali Pers.Â
Suwardjono. (2014). Teori Akuntansi: Perekayasaan Pelaporan Keuangan. Yogyakarta: BPFE.
Buku Referensi Teori Akuntansi. (2025). Modul Pendukung Kajian Hermeneutika dan Akuntansi. Fakultas Ekonomi dan Bisnis Islam, Universitas Islam Negeri (UIN).
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI