Mohon tunggu...
Nayla Ayesha Humaira
Nayla Ayesha Humaira Mohon Tunggu... Mahasiswa Universitas Mercu Buana

NIM 43223010133 | Mata Kuliah: Teori Akuntansi | Dosen Pengampu: Prof. Dr. Apollo Daito, S.E., Ak., M.Si., CIFM., CIABV., CIABG | Fakultas Ekonomi dan Bisnis | Program Studi S1 Akuntansi

Selanjutnya

Tutup

Ruang Kelas

Teori Akuntansi Pendekatan Hermeneutik Wilhelm Dilthey

13 Oktober 2025   12:13 Diperbarui: 14 Oktober 2025   09:27 61
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Dokumen Modul dari Prof. Dr. Apollo Daito, S.E., Ak., M.Si., CIFM., CIABV., CIABG.

Akuntansi perlu dimaknai secara hermeneutik agar tidak kehilangan nilai moral dan kemanusiaannya, karena pada dasarnya akuntansi bukan hanya sekadar alat teknis untuk mencatat dan mengukur transaksi ekonomi, tetapi juga merupakan ekspresi kehidupan manusia yang penuh makna, nilai, dan tanggung jawab sosial. Dalam pandangan Wilhelm Dilthey, ilmu kemanusiaan (Geisteswissenschaften) harus berfokus pada pemahaman (Verstehen) terhadap kehidupan batin manusia, bukan sekadar penjelasan kausal (Erklren) seperti dalam ilmu alam. Dengan kata lain, ilmu tentang manusia termasuk akuntansi tidak cukup dijelaskan melalui angka dan rumus, melainkan harus dipahami melalui penafsiran makna kehidupan yang terkandung di dalamnya. Ketika akuntansi hanya dilihat dari sisi teknis dan kuantitatif, ia berisiko menjadi ilmu yang kering, mekanistik, dan terlepas dari nilai-nilai kemanusiaan yang seharusnya menjadi ruhnya. Oleh karena itu, pendekatan hermeneutik hadir untuk mengembalikan makna moral, empati, dan nilai hidup ke dalam praktik dan pemahaman akuntansi.

Dalam kerangka hermeneutik Dilthey, manusia adalah makhluk yang hidup di dalam dunia pengalaman (Lebenswelt) yang penuh dengan simbol, nilai, dan makna. Akuntansi sebagai bagian dari kehidupan sosial juga mencerminkan dunia hidup tersebut. Angka-angka dalam laporan keuangan tidak muncul begitu saja sebagai hasil hitungan matematis, tetapi merupakan simbol kehidupan manusia hasil dari keputusan moral, pertimbangan etis, dan pengalaman sosial. Misalnya, angka laba bukan hanya selisih antara pendapatan dan beban, tetapi dapat dimaknai sebagai bentuk tanggung jawab, keadilan, atau bahkan spiritualitas, tergantung pada nilai yang dipegang oleh individu atau organisasi. Dalam konteks inilah hermeneutika menjadi penting, karena ia mengajak kita untuk melihat apa makna di balik angka-angka itu. Tanpa pemahaman hermeneutik, angka-angka akuntansi dapat dengan mudah diperlakukan sebagai "objek mati" yang terpisah dari kehidupan manusia, padahal sesungguhnya angka-angka itu adalah jejak moral dan sosial dari aktivitas ekonomi manusia.

Jika akuntansi hanya berfokus pada efisiensi, laba, dan kepatuhan teknis tanpa memahami makna sosialnya, maka akuntansi akan kehilangan sisi etik dan moralnya. Dalam konteks modern, banyak praktik manipulasi laporan keuangan, penyimpangan etika profesi, dan krisis kepercayaan publik yang berakar dari pandangan sempit terhadap akuntansi sebagai alat teknis semata. Hal ini sejalan dengan kritik Dilthey terhadap positivisme yang meniadakan nilai dari ilmu. Ia menegaskan bahwa ilmu tanpa nilai adalah pengetahuan yang terasing dari kehidupan. Karena itu, akuntansi yang bermakna secara hermeneutik berusaha untuk tidak hanya menjawab "berapa laba yang diperoleh," tetapi juga "apa makna laba itu bagi manusia, masyarakat, dan lingkungan." Pendekatan ini mengembalikan akuntansi pada perannya sebagai bahasa moral dan sosial yang menyampaikan nilai tanggung jawab, kejujuran, dan keadilan.

Aksiologi hermeneutik menurut Dilthey menjelaskan bahwa pengetahuan sejati tidak hanya mencari kebenaran empiris, tetapi juga menyelami nilai dan makna dari kebenaran itu sendiri. Dalam akuntansi, nilai kehidupan (Lebenswert), empati (Einfhlung), dan makna moral menjadi tiga pilar utama yang memberi arah bagi praktik profesional. Nilai kehidupan berarti bahwa akuntansi harus mencerminkan orientasi kemanusiaan seperti keadilan, tanggung jawab sosial, dan kesejahteraan bersama. Empati berarti akuntan, auditor, dan peneliti perlu memahami kehidupan orang lain dari dalam, melihat "nasib di balik angka," dan tidak sekadar menilai dari data. Sementara makna moral berarti bahwa setiap keputusan akuntansi adalah tindakan etis yang membawa konsekuensi sosial. Misalnya, keputusan pengakuan pendapatan, penghapusan piutang, atau pelaporan CSR bukan hanya persoalan teknis, melainkan cerminan dari nilai moral seperti kejujuran, kepedulian, dan tanggung jawab terhadap masyarakat.

Selain itu, akuntansi yang dimaknai secara hermeneutik dapat membantu menumbuhkan kesadaran reflektif terhadap peran sosial dan kemanusiaan profesi akuntan. Dalam pandangan Dilthey, memahami berarti juga merefleksikan kehidupan sendiri dalam hubungannya dengan orang lain. Artinya, seorang akuntan yang bekerja dengan pendekatan hermeneutik tidak hanya mematuhi standar dan peraturan, tetapi juga merenungkan makna moral dari pekerjaannya. Ia sadar bahwa setiap laporan keuangan adalah bentuk komunikasi etis antara perusahaan dan publik, dan bahwa angka-angka yang disajikan dapat memengaruhi kehidupan banyak orang. Dengan kesadaran ini, akuntansi dapat menjadi praktik moral yang berlandaskan empati dan tanggung jawab, bukan sekadar rutinitas administratif.

Hermeneutika juga memberi ruang bagi pluralitas makna dalam akuntansi. Setiap masyarakat atau lembaga memiliki nilai-nilai historis dan budaya yang berbeda dalam memaknai angka. Akuntansi di perusahaan kapitalistik mungkin menekankan efisiensi dan pertumbuhan, sedangkan akuntansi koperasi menonjolkan nilai solidaritas dan kesejahteraan bersama. Dalam konteks spiritual, akuntansi bahkan bisa dipahami sebagai sarana menjaga keseimbangan antara dimensi material dan moral. Dengan memahami keragaman makna ini, pendekatan hermeneutik membantu akuntansi untuk tidak terjebak dalam pandangan tunggal yang mekanistik dan universal, tetapi terbuka terhadap konteks sosial dan moral di mana ia dijalankan.

Dengan demikian, akuntansi perlu dimaknai secara hermeneutik karena pendekatan ini menghidupkan kembali dimensi manusia, nilai, dan etika dalam angka-angka keuangan. Hermeneutika menempatkan akuntansi sebagai praktik interpretatif yang menyatukan logika rasional dan empati manusiawi. Melalui pemahaman ini, akuntansi tidak lagi hanya menjadi alat pengukuran ekonomi, tetapi juga menjadi sarana untuk memahami dan memperkuat nilai-nilai kemanusiaan. Setiap angka dalam laporan keuangan dapat dibaca sebagai teks moral yang berbicara tentang kejujuran, tanggung jawab, dan keadilan sosial.

Pada akhirnya, tanpa pendekatan hermeneutik, akuntansi berisiko kehilangan jiwanya menjadi ilmu yang kaku, dingin, dan terpisah dari kehidupan manusia yang nyata. Namun, dengan menafsirkan akuntansi secara hermeneutik, angka-angka kembali hidup sebagai simbol kemanusiaan yang mengandung nilai moral, empati, dan kesadaran sosial. Inilah mengapa akuntansi perlu dimaknai secara hermeneutik: agar ia tidak hanya mencatat transaksi ekonomi, tetapi juga menjaga makna hidup manusia di balik setiap angka.

Dokumen Modul dari Prof. Dr. Apollo Daito, S.E., Ak., M.Si., CIFM., CIABV., CIABG.
Dokumen Modul dari Prof. Dr. Apollo Daito, S.E., Ak., M.Si., CIFM., CIABV., CIABG.

Dokumen Modul dari Prof. Dr. Apollo Daito, S.E., Ak., M.Si., CIFM., CIABV., CIABG.
Dokumen Modul dari Prof. Dr. Apollo Daito, S.E., Ak., M.Si., CIFM., CIABV., CIABG.

Dokumen Modul dari Prof. Dr. Apollo Daito, S.E., Ak., M.Si., CIFM., CIABV., CIABG.
Dokumen Modul dari Prof. Dr. Apollo Daito, S.E., Ak., M.Si., CIFM., CIABV., CIABG.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ruang Kelas Selengkapnya
Lihat Ruang Kelas Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun