Mohon tunggu...
Nugroho Dewayanto
Nugroho Dewayanto Mohon Tunggu... profesional -

Lahir dan besar di Yogyakarta tigapuluhan tahun silam. Memilih nama pena Nayantaka karena mengagumi tokoh Ki Lurah Semar Bodronoyo dalam kisah pewayangan. Saat ini sedang menempuh studi lanjut di bidang Teknik Kimia di sebuah universitas di negeri jiran. Beberapa tulisan di sini adalah repost dari artikel yang pernah dipublish di blog-blog pribadi terdahulu.

Selanjutnya

Tutup

Travel Story Artikel Utama

Ada Garuda di Museum Provinsi Hubei

24 November 2009   01:32 Diperbarui: 26 Juni 2015   19:13 1152
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Karier. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

[caption id="attachment_28708" align="alignright" width="300" caption="Pin Garuda yang terpampang di salah satu ruang Hubei Provincial Museum"][/caption] Museum. Apa yang terlintas dalam benak anda ketika mendengar kata itu? Remang-remang, kusam, kuno, berdebu, atau bahkan sedikit kesan angker. Suatu tempat yang bukan merupakan pilihan utama untuk melepas penat di akhir pekan. Suatu tempat yang dikunjungi karena keterpaksaan, entah tugas dari sekolah, atau memang tiada tempat lain yang lebih layak dikunjungi. Buang-buang waktu, bongkahan batu kok ditonton, begitu kata teman saya beberapa tahun silam. Maka ketika sahabat baru saya, Liew Liu alias Leona, menyodorkan usulan untuk mengunjungi Hubei Provincial Museum, saya menanggapi dengan sekadarnya saja. Saya iyakan ajakan itu, sekedar menghormati kebaikan hati dia selama mendampingi saya di South Central University for Nationalities, Wuhan. Sabtu pagi itu, cuaca sungguh bersahabat. Bahkan terlalu hangat untuk situasi penghujung musim gugur. Angin lembut bertiup, sementara matahari menampakkan diri dengan ramahnya. Janji kami pukul delapan berangkat dari kampus, namun terpaksa molor setengah jam gara-gara Tao alias Peter terlambat bangun. Maka rencana untuk menumpang bus umum pun gagal. Kami berempat, saya, Haizal, teman Malaysia saya, Tao dan Liu akhirnya menyetop taksi, yang 40 menit kemudian menurunkan kami beberapa puluh meter dari gerbang museum. [caption id="attachment_28709" align="alignleft" width="300" caption="Di depan papan nama Hubei Provincial Museum"][/caption] Hal yang sangat mengejutkan terpapar di depan mata saya begitu memasuki halaman museum. Antrian yang luar biasa panjangnya. Lebih dari dua ratus meter barisan manusia membentuk formasi ular. Penasaran, aku mencoba melihat counter yang ada di pintu masuk, saat itu sudah 617 pengunjung yang melewati gerbang masuk. Sesuatu yang tak akan pernah terjadi di museum tanah airku. Berhubung antrian masih panjang, kami berbagi tugas. Tao dan Liu menunggu antrian, sementara saya dan Haizal asyik mengabadikan moment di depan museum. Sekitar dua puluh menit kemudian, sampailah giliran kami untuk mendapatkan tiket masuk. Hebatnya, semua gratis. Ini jugakah penyebab panjangnya antrian, atau memang ada banyak hal menarik di dalam? Di atas loket disebutkan, pengunjung dibatasi maksimal 5000 orang per hari. Counter pada saat saya mengambil tiket menunjukkan angka 1242, berarti tadi ada lebih dari 600 orang yang berbaris di depan kami. Memasuki gerbang museum, pemeriksaan dilakukan dengan ketat, melebihi pemeriksaan keamanan bandara di tanah air. Tak sebarang cairan pun diperkenankan dibawa. Terpaksa satu botol air mineral yang ada di tas punggung aku relakan. Tas harus melewati X-ray detector, sementara orangnya pun wajib melintasi metal detector. Sebelum memasuki museum, Liu mengusulkan kami untuk menyewa translator, karena dia sendiri tidak cukup pede untuk menerangkan segala sesuatu yang berkenaan dengan museum. Awalnya saya menolak, karena menurut saya, lebih nyaman jalan-jalan sendiri tanpa harus diikuti oleh sang translator, dan toh sudah ada teks tertulis yang menyertai seluruh benda-benda yang dipamerkan. Namun, betapa kelihatan kupernya saya tatkala dipertontonkan sang translator, yang dalam bayangan saya orang, ternyata sebuah alat sebesar telepon genggam yang dilengkapi dengan headphone. Cukup dengan mendekatkan alat tersebut pada nomor ID benda yang dipamerkan, atau dengan memasukkan nomor identitas secara manual, maka alat tersebut akan memutar penjelasan mengenai sejarah benda tersebut dalam bahasa Inggris. Maka, 200 yuan pun berpindah dari tangan, untuk menebus alat itu selama tiga jam. Sebenarnya ongkos sewa hanya 30 yuan (sekitar Rp. 75.000), sisanya adalah jaminan yang nanti akan dikembalikan sewaktu kita selesai menggunakan alat tersebut. Ada tiga bangunan di kompleks museum yang terletak di tepi East Lake, danau terbesar di Wuhan. Di sisi kiri terdapat Chu Culture exhibition hall, yang memuat pernik-pernik budaya negeri Chu. Termasuk di dalamnya terdapat pedang asli milik Guo Jian, raja dari negeri Wu. Terdapat pula beberapa kereta perang dan persenjataan yang berhasil dievakusi dari situs-situs setempat, yang kemudian direkonstruksi secara cermat untuk mendapatkan wujud yang menyerupai bentuk asalnya. Bangunan kedua, yang terletak di tengah adalah bangunan utama. Di sini terdapat beberapa ruang pameran yang dibagi-bagi berdasarkan tema: keramik, kayu, logam, sejarah keberadaan manusia, serta ribuan relik yang diangkat dari kuburan kuno Marquis Yi. Salah satu peninggalan yang dianggap terhebat di museum ini adalah satu set alat musik yang terdiri atas 65 lonceng perunggu berlapis emas. Alat musik ini mencakup 5 oktaf, dengan ukuran fisik terbesar 153.4 cm dengan berat 203.6 kg. Menurut informasi yang tertera di museum, alat musik ini adalah hadiah dari Raja Hui dan dibuat pada tahun 433 SM. Meskipun telah terkubur selama lebih dari 2000 tahun, instrumen ini masih bisa dimainkan, dan pada saat tertentu digunakan untuk konser. Dalam gedung ini juga saya menemukan beberapa replika Java Man, alias pithecanthropus erectus, yang ditemukan oleh Eugene Dubois di Sangiran abad silam. Setidaknya nama Sangiran, Ngandong, Trinil, Jawa dan Indonesia turut terabadikan di museum tersebut. Di salah satu bagian, terdapat sebuah pin emas berbentuk garuda. Di bawahnya terdapat tulisan yang memuat keterangan: Image of Garuda. Garuda, a transcription of the Sanksrit garuda. The garuda is described as a huge, golden-winged bird of some sort that eats dragons. It is sometimes translated into English as griffin. It is the personal mount of Amoghasiddhi. It symbolizes the absolute reign of the 'law-king'. [caption id="attachment_28710" align="aligncenter" width="300" caption="Replika tengkorak pithecanthropus erectus"][/caption] Bangunan terakhir adalah gedung eksibishi untuk acara-acara yang sifatnya insidental atau temporer. Kami memutuskan untuk tidak memasukinya, selain karena pada saat itu tidak ada event, juga perut kami telah menyiratkan tanda-tanda lapar yang menggila. Kami memutuskan untuk mencari makan siang, halal food tentunya, untuk kemudian. melanjutkan perjalanan menuju Huazhong University of Science and Technology. Sebelum keluar gerbang museum, Tao dengan gesitnya menyempatkan diri mengambil empat botol air mineral sitaan petugas di dekat pintu masuk sebagai bekal di perjalanan.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Travel Story Selengkapnya
Lihat Travel Story Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun