Mohon tunggu...
MOH NUR NAWAWI
MOH NUR NAWAWI Mohon Tunggu... Founder Surenesia dan Nawanesia

Seorang pecinta dunia maritim / Pelayan dan Pengabdi Masyarakat / suka menulis, bercerita dan berdiskusi / Hubungi saya di lynk.id/nawawi_Indonesia

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Pilihan

Ketika Guru Tak Lagi Disebut Orang Tua Kedua

17 Oktober 2025   10:14 Diperbarui: 17 Oktober 2025   10:14 65
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
ilustrasi guru dan murid saling memafkan (Sumber:kompas.com/Kredit Foto)

Psikolog sosial dari Universitas Indonesia, Hamdi Muluk, dalam risetnya tentang perilaku publik digital (2022), menyebut bahwa "netizen sering kali terjebak dalam moral outrage, kemarahan moral yang terjadi bukan karena pemahaman atas konteks, tetapi karena identifikasi terhadap narasi yang viral." Dengan kata lain, publik lebih cepat bereaksi emosional ketimbang memahami duduk perkara. Dan dalam sistem pendidikan yang rentan tekanan opini publik, guru menjadi pihak yang paling mudah disalahkan karena ia memegang otoritas yang kini sedang digugat oleh zaman.

Antara Disiplin dan Kekerasan

Tentu saja, tidak semua tindakan guru bisa dibenarkan. Kekerasan, dalam bentuk apa pun, tetap tidak sejalan dengan semangat pendidikan yang menumbuhkan. Namun batas antara "ketegasan" dan "kekerasan" kini semakin kabur. Di satu sisi, ada tuntutan agar sekolah menjadi tempat yang ramah anak; di sisi lain, ada kebutuhan untuk menegakkan kedisiplinan agar anak memahami tanggung jawab sosial.

Data Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Kemendikbudristek) menunjukkan bahwa sekitar 68 persen guru di Indonesia mengaku takut salah dalam mendisiplinkan murid karena khawatir dilaporkan ke pihak berwajib (Survei Litbang Kemendikbud, 2023). Ketakutan ini menyebabkan banyak guru memilih diam ketika menemukan pelanggaran ringan seperti bolos, merokok, atau berkelahi. Akibatnya, sekolah kehilangan daya didik moral. Anak-anak tumbuh dalam ruang yang serba bebas, tetapi minim arahan yang bermakna.

Dalam sebuah seminar pendidikan di Bandung, Seto Mulyadi mengingatkan bahwa "pendidikan tanpa disiplin ibarat kapal tanpa kemudi. Tapi disiplin tanpa kasih juga akan menenggelamkan." Di sinilah letak tantangan besar pendidikan modern: bagaimana mendisiplinkan dengan empati, dan bagaimana berempati tanpa kehilangan arah.

Generasi yang Sulit Diatur?

Kalimat "anak zaman sekarang susah diatur" sering muncul, tetapi sebetulnya bukan karena mereka lahir berbeda, melainkan karena lingkungan yang membentuknya berbeda. Anak-anak kini tumbuh dalam era hiper-informasi, di mana setiap nilai, norma, dan otoritas dapat dipertanyakan. Dalam riset UNICEF Indonesia (2022), disebutkan bahwa lebih dari 80 persen remaja Indonesia menghabiskan rata-rata 4-6 jam sehari di internet, dan sebagian besar waktu itu dihabiskan di media sosial. Artinya, sebagian besar proses sosialisasi anak kini terjadi di dunia maya, bukan di rumah atau sekolah. Mereka belajar nilai dari tren, bukan dari teladan. Mereka menilai benar-salah dari reaksi "like" dan "share," bukan dari nasihat orang dewasa.

Kondisi ini menantang peran orang tua dan guru. Bukan karena anak berubah menjadi lebih nakal, tapi karena ruang moral mereka bergeser. Dalam konteks seperti ini, hukuman fisik tidak hanya tidak efektif, tapi juga kontraproduktif. Anak yang merasa dipermalukan di depan publik justru akan melawan, apalagi ketika publik digital memberikan ruang pembelaan. Tapi di sisi lain, jika setiap bentuk disiplin dianggap kekerasan, maka sekolah akan kehilangan wibawa moralnya.
Kita tengah menghadapi dilema pendidikan yang tak sederhana.

Pola Asuh dan Perubahan Nilai

Jika di masa lalu orang tua lebih mempercayakan proses pendidikan kepada sekolah, kini banyak yang menganggap diri mereka sebagai pengontrol utama kebijakan sekolah. Pola pikir ini sejalan dengan perubahan besar dalam pola asuh global. Dalam literatur psikologi modern, dikenal istilah intensive parenting pola asuh di mana orang tua sangat terlibat bahkan dalam hal-hal kecil kehidupan anak. Di satu sisi, ini bentuk kasih sayang; di sisi lain, menciptakan generasi yang sulit menerima otoritas di luar rumah.

Psikolog keluarga Elly Risman pernah mengatakan, "Banyak orang tua kini takut anaknya sedih, padahal sedikit rasa bersalah atau ditegur justru penting untuk membentuk tanggung jawab." Anak-anak yang tumbuh tanpa pengalaman menghadapi konsekuensi moral kecil seperti ditegur karena melanggar aturan cenderung lebih rapuh menghadapi tekanan sosial yang lebih besar di kemudian hari. Dengan kata lain, ketika orang tua terlalu melindungi anak dari rasa bersalah, mereka sesungguhnya menghapus ruang pendidikan moral yang penting.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun