Sekolah Sebagai Ruang Sosial
Kasus Cimarga juga mengingatkan kita bahwa sekolah bukan hanya tempat belajar akademik, tetapi ruang sosial yang menanamkan nilai. Di sana anak belajar tentang aturan, hormat, tanggung jawab, dan konsekuensi. Jika orang tua menolak setiap bentuk teguran di sekolah, maka sekolah kehilangan fungsinya sebagai ruang pendidikan karakter.
Dalam pandangan Imam Prasodjo, pendidikan sejati harus melibatkan "tiga pilar", rumah, sekolah, dan masyarakat. Ketiganya saling menopang. Bila satu pilar retak, yang lain ikut goyah. Sayangnya, di banyak kasus, ketiga pilar ini kini berdiri sendiri-sendiri. Guru sibuk dengan administrasi dan ketakutan hukum, orang tua sibuk bekerja atau membela di ruang digital, sementara masyarakat lebih suka menjadi hakim di kolom komentar.Â
Pendidikan akhirnya kehilangan dimensi gotong royongnya padahal itu ruh utama pendidikan Indonesia sejak Ki Hajar Dewantara, Ing ngarsa sung tulada, ing madya mangun karsa, tut wuri handayani.
Nilai itu kini sering kita kutip, tapi jarang kita hayati.
Mendidik di Zaman yang Kompleks
Kita memang hidup di masa yang berbeda. Dunia pendidikan kini dikepung oleh dua ekstrem: satu sisi menuntut empati tanpa batas, sisi lain menginginkan ketegasan tanpa kekerasan. Yang dibutuhkan bukan nostalgia akan masa lalu, melainkan kebijaksanaan menyesuaikan diri tanpa kehilangan nilai. Guru perlu memahami bahwa mendidik tidak lagi bisa dengan pendekatan otoriter, karena anak-anak kini lebih peka terhadap keadilan dan harga diri. Tapi orang tua juga perlu menyadari bahwa mendidik bukan berarti selalu membenarkan anak, apalagi ketika mereka keliru.
Kita mungkin perlu kembali pada semangat awal pendidikan, membentuk manusia yang berkarakter, bukan sekadar berprestasi.
Pendidikan sejatinya adalah proses membentuk hati dan nalar, bukan sekadar mengajar atau menghukum. Dalam konteks itu, setiap tindakan termasuk teguran keras sekalipun seharusnya berakar pada niat mendidik, bukan marah. Dan setiap pembelaan terhadap anak pun seharusnya berakar pada keinginan agar mereka belajar dari kesalahan, bukan untuk membenarkan semuanya.
Belajar untuk Saling Memahami
Kasus di SMAN 1 Cimarga seharusnya tidak kita baca semata sebagai perdebatan benar-salah antara guru dan murid. Ia adalah cermin dari ketegangan sosial yang lebih besar, antara masa lalu dan masa kini, antara otoritas dan kebebasan, antara niat mendidik dan ketakutan akan salah langkah.
Kita perlu berhenti mencari siapa yang salah, dan mulai mencari bagaimana agar sekolah kembali menjadi rumah bersama.
Guru perlu ruang untuk dipercaya, murid perlu ruang untuk belajar, dan orang tua perlu ruang untuk memahami bahwa pendidikan bukan arena kompetisi antara siapa yang paling benar, tapi proses tumbuh bersama di tengah perubahan zaman.
Karena sejatinya, seperti kata Ki Hajar Dewantara, "pendidikan itu menuntun segala kekuatan kodrat yang ada pada anak, agar mereka sebagai manusia dan sebagai anggota masyarakat dapat mencapai keselamatan dan kebahagiaan yang setinggi-tingginya."
Menuntun, bukan menampar. Tapi juga tidak berarti melepaskan begitu saja tanpa arah.