Masih hangat di ruang publik peristiwa di SMAN 1 Cimarga, Kabupaten Lebak, Banten. Seorang kepala sekolah menampar siswanya yang kedapatan merokok di lingkungan sekolah. Video yang beredar memperlihatkan sang siswa ditampar di hadapan teman-temannya, lalu tanggapan cepat pun muncul: sebagian menyebut sang kepala sekolah sebagai figur yang "menegakkan disiplin," sebagian lain mengutuk tindakan itu sebagai bentuk kekerasan yang tak pantas dilakukan seorang pendidik. Tak lama, kasus itu berujung pada laporan hukum. Guru dan murid kini berhadapan di ruang berbeda bukan lagi di kelas, melainkan di ranah hukum dan opini publik.
Namun yang menarik bukan sekadar kasusnya, melainkan percakapan besar yang menyertainya. Di berbagai media sosial, kalimat yang sama berulang muncul: "Zaman saya dulu, kalau dimarahi guru, justru dimarahi balik sama orang tua. Sekarang, malah guru yang disalahkan." Kalimat sederhana yang sarat nostalgia itu sejatinya menggambarkan perubahan besar dalam hubungan antara orang tua, anak, dan guru di Indonesia perubahan yang tak hanya bersifat perilaku, tetapi juga menyentuh fondasi nilai, persepsi, dan cara kita memandang otoritas pendidikan.
Dari Guru ke Sahabat
Di masa lalu, sekolah sering disebut sebagai "rumah kedua." Guru bukan sekadar pengajar, tetapi juga pengganti orang tua di luar rumah. Ada relasi hierarkis yang jelas: murid menghormati guru, guru mengarahkan murid, dan orang tua mempercayakan anaknya sepenuhnya kepada lembaga pendidikan. Sosiolog Universitas Indonesia, Imam Prasodjo, pernah menulis bahwa masyarakat Indonesia tradisional dibangun di atas sistem nilai patron-client, relasi sosial yang menempatkan figur pemimpin atau pengasuh (seperti guru) dalam posisi dihormati dan dipercaya. Guru menjadi simbol kebijaksanaan; apa yang dikatakan guru nyaris tak pernah digugat.
Namun dua dekade terakhir, tatanan itu berubah cepat. Di era digital dan demokratisasi informasi, otoritas tidak lagi tunggal. Anak-anak tumbuh dalam lingkungan yang memberi akses pengetahuan tak terbatas. Mereka bisa belajar dari YouTube, TikTok, atau influencer yang berusia sebaya. Dalam banyak hal, guru bukan lagi satu-satunya sumber kebenaran. Psikolog anak Seto Mulyadi menyebut fenomena ini sebagai "pergeseran otoritas moral." Dalam wawancara dengan Kompas (2023), ia mengatakan bahwa "anak-anak zaman sekarang lebih banyak mendapat teladan dari layar ketimbang dari figur nyata di sekitar mereka." Akibatnya, ketika guru menegur atau memberi hukuman, respon emosional anak sering kali tidak lagi didasari rasa hormat, melainkan resistensi terhadap figur otoritas.
Orang Tua di Persimpangan
Di sisi lain, para orang tua juga mengalami kebingungan nilai. Generasi yang kini menjadi orang tua adalah generasi yang tumbuh dalam kultur otoriter pendidikan ketika guru boleh menegur dengan keras, dan murid dianggap salah jika membantah. Tapi generasi ini juga generasi yang kini hidup di era keterbukaan, di mana hak anak dijunjung tinggi dan kekerasan dalam bentuk apa pun dianggap tak dapat dibenarkan. Kebingungan inilah yang sering membuat orang tua bersikap kontradiktif. Mereka menginginkan anak disiplin, tetapi menolak anak dimarahi. Mereka berharap guru tegas, tetapi juga menuntut guru untuk lembut. Mereka ingin anak berkarakter kuat, namun menolak setiap bentuk tekanan yang dianggap melukai psikologis anak.
Seperti dikatakan Sosiolog Universitas Gadjah Mada, Irwan Abdullah, "orang tua hari ini hidup dalam ruang sosial yang penuh paradoks: mereka menginginkan hasil pendidikan zaman dulu, tetapi dengan metode pengasuhan zaman sekarang."
Paradoks ini tampak nyata dalam banyak kasus serupa: ketika guru menegur dengan keras, laporan hukum pun mengintai. Menurut data Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) tahun 2023, ada lebih dari 190 kasus laporan terhadap guru terkait dugaan kekerasan di sekolah, dan sebagian besar muncul setelah video atau foto kejadian tersebar di media sosial. Artinya, bukan hanya tindakan yang menjadi masalah, tapi juga persepsi publik yang dibentuk oleh ruang digital.
Media Sosial dan Krisis Narasi
Media sosial memainkan peran besar dalam memperkeruh sekaligus mempercepat reaksi publik terhadap isu pendidikan. Dalam kasus Cimarga, video berdurasi beberapa detik dengan narasi sepihak cukup untuk menimbulkan badai opini. Padahal, setiap peristiwa pendidikan selalu memiliki konteks yang lebih kompleks, relasi guru dan murid sebelumnya, kebijakan sekolah, hingga reaksi spontan terhadap pelanggaran kedisiplinan.