Sistem ini tidak hanya berfungsi sebagai alat administrasi, tetapi juga sebagai instrumen pengawasan preventif. Setiap izin, baik untuk eksploitasi pasir laut, pemasangan kabel, pemasangan pipa, maupun pengangkatan BMKT, harus melalui sistem elektronik yang terhubung langsung dengan database pengawasan.Â
Di dalamnya termuat persyaratan teknis seperti hasil analisis risiko lingkungan, kewajiban pelaporan kegiatan, serta integrasi dengan sistem pemantauan. Transparansi juga menjadi kunci. Dengan mempublikasikan izin dan lokasi aktivitas secara terbuka, masyarakat dan pihak berwenang dapat turut mengawasi agar tidak terjadi penyalahgunaan izin atau kegiatan di luar area yang ditentukan.
Ketiga, aspek pemantauan dan deteksi aktivitas bawah laut menjadi tulang punggung pengawasan modern.Â
Laut Indonesia sangat luas dan sebagian besar berada jauh dari jangkauan fisik pengawas. Karena itu, pemanfaatan teknologi menjadi keharusan. Kapal pengawas perlu dilengkapi dengan sensor sonar, kamera bawah air, dan sistem Remotely Operated Vehicle (ROV) untuk melakukan inspeksi di lokasi yang sulit dijangkau.Â
Di sisi lain, penggunaan drone laut (USV) dan drone udara dapat memperluas cakupan pemantauan, sementara citra satelit beresolusi tinggi dapat digunakan untuk mendeteksi perubahan dasar laut, pergerakan kapal yang mencurigakan, atau aktivitas eksploitasi pasir tanpa izin. Data-data tersebut perlu dipusatkan dalam satu sistem informasi nasional yang mengintegrasikan seluruh sumber data dari radar pantai, sensor akustik, hingga sistem AIS dan VMS.
Selain itu, dengan kemajuan kecerdasan buatan, KKP dapat mengembangkan algoritma deteksi anomali yang mampu mengenali pola aktivitas tidak wajar di laut, misalnya kapal yang berdiam di titik tertentu tanpa alasan atau perubahan bentuk dasar laut yang terjadi tiba-tiba.Â
Sistem peringatan dini (early warning) ini akan memberikan sinyal bagi tim lapangan untuk melakukan verifikasi langsung sebelum pelanggaran menjadi lebih besar. Dengan pendekatan berbasis data seperti ini, pengawasan tidak lagi bergantung pada patroli acak, melainkan diarahkan secara presisi ke titik-titik berisiko tinggi.
Keempat, sistem pengawasan yang efektif memerlukan mekanisme respons cepat dan penegakan hukum yang tegas.Â
Ketika terjadi dugaan pelanggaran, seperti pengambilan pasir ilegal atau pengangkatan BMKT tanpa izin, tim pengawasan harus mampu bergerak dengan segera. Pembentukan unit tanggap cepat bawah laut di lingkungan Ditjen PSDKP sangat penting.Â
Tim ini dapat terdiri atas penyelam profesional, operator ROV, dan penyidik maritim yang dilengkapi kapal serta peralatan selam teknis. Bila ditemukan bukti pelanggaran, langkah pertama adalah menghentikan aktivitas di lokasi, mengamankan barang bukti, dan mendokumentasikan kejadian dengan rekaman video dan data posisi.
Dalam hal penegakan hukum, perlu ditegaskan kembali bahwa objek bawah laut, terutama BMKT, merupakan aset negara yang tidak dapat dipindahtangankan tanpa izin. Banyak kasus pengangkatan artefak kapal tenggelam yang dilakukan oleh pihak swasta tanpa pelaporan, menyebabkan kerugian budaya dan ekonomi. Oleh karena itu, pengawasan terintegrasi harus menjamin adanya jejak audit dari setiap kegiatan bawah laut, mulai dari izin hingga pelaporan akhir. Semua proses harus terekam dan terhubung dengan sistem pusat agar tidak ada celah penyimpangan.