Pengawasan Terintegrasi Obyek Bawah Laut untuk Menegakkan Kedaulatan dan Keberlanjutan Sumber Daya Maritim Indonesia
Laut Indonesia menyimpan kekayaan yang begitu besar, tidak hanya pada permukaannya tetapi juga jauh di bawah dasar lautnya. Di sanalah tersimpan berbagai objek strategis seperti Barang Muatan Kapal Tenggelam (BMKT), pasir dasar laut, kabel dan pipa bawah laut, hingga artefak sejarah dan sumber daya mineral yang memiliki nilai ekonomi tinggi.Â
Kekayaan bawah laut ini bukan hanya aset bangsa, tetapi juga bagian dari kedaulatan negara yang wajib dijaga. Namun, selama ini pengawasan terhadap objek-objek tersebut masih berjalan secara sektoral, parsial, dan belum terintegrasi dalam satu sistem nasional yang kuat.
Kementerian Kelautan dan Perikanan, melalui Direktorat Jenderal Pengawasan Sumber Daya Kelautan dan Perikanan (PSDKP), memiliki mandat besar untuk memastikan seluruh aktivitas pemanfaatan sumber daya bawah laut berjalan sesuai hukum, berwawasan lingkungan, dan memberikan manfaat sebesar-besarnya bagi negara. Namun, kompleksitas tantangan pengawasan bawah laut mulai dari keterbatasan teknologi, tumpang tindih kewenangan, hingga lemahnya data dasar membutuhkan pembaruan pendekatan.Â
Karena itu, diperlukan sebuah konsep pengawasan terintegrasi objek bawah laut yang menggabungkan unsur kelembagaan, teknologi, sumber daya manusia, serta sistem data dan informasi dalam satu ekosistem pengawasan nasional.
Konsep pengawasan terintegrasi ini menempatkan laut bukan semata sebagai ruang ekonomi, tetapi juga sebagai ruang kedaulatan dan ekologi yang harus dijaga. Gagasan utamanya adalah membangun sistem pengawasan yang holistik, berbasis data, dan kolaboratif lintas lembaga. Dengan demikian, seluruh aktivitas di bawah permukaan laut mulai dari eksploitasi pasir dasar, instalasi pipa dan kabel bawah laut, hingga pengangkatan BMKT serta aktivitas dibawah laut lainnya dapat dikendalikan secara transparan dan berkelanjutan.
Pertama, pengawasan terintegrasi ini harus dimulai dari inventarisasi menyeluruh terhadap seluruh objek bawah laut yang berada dalam yurisdiksi Indonesia.Â
Saat ini, data tentang objek bawah laut masih tersebar di berbagai lembaga, mulai dari KKP, Kementerian Perhubungan, Kementerian ESDM, Kementerian Kebudayaan hingga TNI AL. Padahal, keberhasilan pengawasan sangat bergantung pada kejelasan data dasar.Â
Inventarisasi tersebut meliputi pendataan BMKT dan artefak sejarah, lokasi pengambilan pasir laut, jalur pipa minyak dan gas, jaringan kabel komunikasi bawah laut, hingga struktur buatan seperti terumbu buatan, platform, dan blok beton untuk budidaya. Termasuk di dalamnya adalah wilayah-wilayah sensitif seperti terumbu karang, padang lamun, serta kawasan konservasi yang rawan terganggu oleh aktivitas manusia. Dengan peta inventarisasi yang akurat, setiap objek dapat diberi identitas hukum dan status pengawasan yang jelas.
Kedua, diperlukan sistem perizinan yang terintegrasi dan berbasis digital untuk seluruh kegiatan yang berkaitan dengan objek bawah laut.Â
Sistem ini tidak hanya berfungsi sebagai alat administrasi, tetapi juga sebagai instrumen pengawasan preventif. Setiap izin, baik untuk eksploitasi pasir laut, pemasangan kabel, pemasangan pipa, maupun pengangkatan BMKT, harus melalui sistem elektronik yang terhubung langsung dengan database pengawasan.Â
Di dalamnya termuat persyaratan teknis seperti hasil analisis risiko lingkungan, kewajiban pelaporan kegiatan, serta integrasi dengan sistem pemantauan. Transparansi juga menjadi kunci. Dengan mempublikasikan izin dan lokasi aktivitas secara terbuka, masyarakat dan pihak berwenang dapat turut mengawasi agar tidak terjadi penyalahgunaan izin atau kegiatan di luar area yang ditentukan.
Ketiga, aspek pemantauan dan deteksi aktivitas bawah laut menjadi tulang punggung pengawasan modern.Â
Laut Indonesia sangat luas dan sebagian besar berada jauh dari jangkauan fisik pengawas. Karena itu, pemanfaatan teknologi menjadi keharusan. Kapal pengawas perlu dilengkapi dengan sensor sonar, kamera bawah air, dan sistem Remotely Operated Vehicle (ROV) untuk melakukan inspeksi di lokasi yang sulit dijangkau.Â
Di sisi lain, penggunaan drone laut (USV) dan drone udara dapat memperluas cakupan pemantauan, sementara citra satelit beresolusi tinggi dapat digunakan untuk mendeteksi perubahan dasar laut, pergerakan kapal yang mencurigakan, atau aktivitas eksploitasi pasir tanpa izin. Data-data tersebut perlu dipusatkan dalam satu sistem informasi nasional yang mengintegrasikan seluruh sumber data dari radar pantai, sensor akustik, hingga sistem AIS dan VMS.
Selain itu, dengan kemajuan kecerdasan buatan, KKP dapat mengembangkan algoritma deteksi anomali yang mampu mengenali pola aktivitas tidak wajar di laut, misalnya kapal yang berdiam di titik tertentu tanpa alasan atau perubahan bentuk dasar laut yang terjadi tiba-tiba.Â
Sistem peringatan dini (early warning) ini akan memberikan sinyal bagi tim lapangan untuk melakukan verifikasi langsung sebelum pelanggaran menjadi lebih besar. Dengan pendekatan berbasis data seperti ini, pengawasan tidak lagi bergantung pada patroli acak, melainkan diarahkan secara presisi ke titik-titik berisiko tinggi.
Keempat, sistem pengawasan yang efektif memerlukan mekanisme respons cepat dan penegakan hukum yang tegas.Â
Ketika terjadi dugaan pelanggaran, seperti pengambilan pasir ilegal atau pengangkatan BMKT tanpa izin, tim pengawasan harus mampu bergerak dengan segera. Pembentukan unit tanggap cepat bawah laut di lingkungan Ditjen PSDKP sangat penting.Â
Tim ini dapat terdiri atas penyelam profesional, operator ROV, dan penyidik maritim yang dilengkapi kapal serta peralatan selam teknis. Bila ditemukan bukti pelanggaran, langkah pertama adalah menghentikan aktivitas di lokasi, mengamankan barang bukti, dan mendokumentasikan kejadian dengan rekaman video dan data posisi.
Dalam hal penegakan hukum, perlu ditegaskan kembali bahwa objek bawah laut, terutama BMKT, merupakan aset negara yang tidak dapat dipindahtangankan tanpa izin. Banyak kasus pengangkatan artefak kapal tenggelam yang dilakukan oleh pihak swasta tanpa pelaporan, menyebabkan kerugian budaya dan ekonomi. Oleh karena itu, pengawasan terintegrasi harus menjamin adanya jejak audit dari setiap kegiatan bawah laut, mulai dari izin hingga pelaporan akhir. Semua proses harus terekam dan terhubung dengan sistem pusat agar tidak ada celah penyimpangan.
Kelima, pengawasan yang baik membutuhkan dukungan sumber daya manusia dan infrastruktur yang memadai.Â
Selama ini, jumlah dan kompetensi pengawas laut masih terbatas, apalagi untuk operasi di bawah laut yang memerlukan keahlian khusus. Diperlukan tenaga ahli di bidang selam teknis, inspeksi bawah laut, hidroakustik, serta pengolahan data spasial.Â
Selain itu, tenaga penyidik dan penegak hukum kelautan harus dibekali pemahaman mendalam tentang hukum laut internasional dan prosedur penyidikan maritim. KKP perlu membangun program pelatihan berkelanjutan, baik melalui kerja sama dengan universitas, lembaga riset, maupun mitra internasional.
Dari sisi infrastruktur, kapal pengawas perlu ditingkatkan kapasitasnya, baik dari segi teknologi maupun jangkauan operasional. Kapal harus dilengkapi dengan sonar, ROV, AUV, dan sistem komunikasi bawah laut.Â
Pusat komando nasional yang terhubung dengan radar pantai dan satelit juga perlu dibangun untuk mengintegrasikan seluruh data pemantauan secara real-time. Laboratorium konservasi BMKT dan fasilitas penyimpanan objek bawah laut yang disita juga harus disiapkan agar barang sitaan negara dapat ditangani secara aman dan profesional. Semua itu memerlukan dukungan anggaran yang cukup, baik dari APBN maupun dari kemitraan dengan pihak swasta dan lembaga donor.
Keenam, untuk menjamin keberlanjutan sistem, perlu disusun SOP nasional pengawasan bawah laut yang menjadi acuan bagi seluruh petugas di lapangan.Â
SOP ini mencakup tahap perencanaan, pelaksanaan inspeksi, analisis data, hingga tindak lanjut hukum. Setiap operasi harus dimulai dengan penetapan target objek, pengecekan kesiapan alat, dan koordinasi lintas instansi.Â
Selama patroli, setiap temuan didokumentasikan secara visual dan spasial. Setelah operasi, seluruh data dikirim ke pusat analitik untuk diverifikasi dan dianalisis. Jika ditemukan pelanggaran, tim tanggap cepat bergerak sesuai prosedur, dilanjutkan dengan langkah penegakan dan pemulihan lingkungan. Melalui SOP yang baku, kegiatan pengawasan menjadi terukur, terstandar, dan akuntabel.
Ketujuh, pengawasan tidak bisa hanya mengandalkan pemerintah pusat.Â
Pelibatan masyarakat pesisir dan lembaga lokal menjadi bagian penting dari strategi ini. Nelayan, komunitas pesisir, dan kelompok masyarakat pengawas (Pokmaswas) memiliki potensi besar untuk menjadi "mata dan telinga" negara di lapangan.Â
Mereka bisa dilibatkan dalam pelaporan aktivitas mencurigakan, membantu dokumentasi, dan turut menjaga wilayahnya dari eksploitasi ilegal. Keterlibatan masyarakat ini juga memperkuat rasa memiliki terhadap sumber daya laut serta mendorong pengawasan partisipatif yang berkelanjutan.
Kedelapan, pengawasan yang efektif juga harus diiringi dengan pemulihan dan rehabilitasi lingkungan.Â
Setiap pelanggaran yang mengakibatkan kerusakan dasar laut, seperti pengerukan pasir tanpa izin atau perusakan habitat karang, harus diikuti dengan langkah pemulihan yang terukur. Biaya pemulihan lingkungan harus menjadi bagian dari sanksi yang dibebankan kepada pelaku.Â
KKP dapat mengembangkan program pemulihan bersama lembaga penelitian dan komunitas konservasi, misalnya melalui pembangunan terumbu buatan atau restorasi padang lamun. Dengan demikian, pengawasan tidak hanya berhenti pada penindakan, tetapi juga menjamin keberlanjutan ekosistem laut.
Kesembilan, dalam konteks tata kelola nasional, pengawasan bawah laut harus memperkuat koordinasi antar-lembaga.Â
Banyak objek bawah laut yang berada dalam lintas kepentingan pipa minyak di bawah laut berurusan dengan Kementerian ESDM, kabel komunikasi dengan Kementerian Kominfo, jalur pelayaran dengan Kementerian Perhubungan, BMKT dengan Kementerian Kebudayaan dan aspek keamanan dengan TNI AL serta Bakamla. Karena itu, perlu dibentuk forum koordinasi maritim yang berfungsi sebagai wadah sinkronisasi kebijakan, pertukaran data, dan mekanisme respons cepat. Melalui interoperabilitas data dan protokol bersama, tumpang tindih kewenangan dapat diminimalkan dan setiap lembaga bekerja dalam koridor yang sama.
Kesepuluh, seluruh upaya pengawasan ini memerlukan dukungan regulasi yang jelas dan progresif.Â
KKP perlu mendorong pembaruan regulasi terkait BMKT, eksploitasi pasir laut, serta instalasi kabel dan pipa bawah laut agar sesuai dengan perkembangan teknologi dan tantangan lingkungan. Standar nasional mengenai sensor bawah laut, kewajiban pelaporan kegiatan, serta mekanisme berbagi data antar-lembaga perlu diatur secara rinci.Â
Regulasi juga dapat mencakup insentif bagi pelaku industri yang berpartisipasi aktif dalam sistem pengawasan, misalnya melalui kewajiban mereka untuk menyerahkan data sensor dari pipa atau kabel yang mereka miliki kepada pusat data KKP.
Kesebelas, untuk memastikan keberlanjutan dan efektivitas sistem, evaluasi dan adaptasi berkala harus menjadi bagian dari kebijakan pengawasan.Â
Setiap tahun, dilakukan audit terhadap efektivitas operasi pengawasan, jumlah pelanggaran yang terdeteksi, serta dampak lingkungan yang berhasil dicegah. Hasil audit ini digunakan untuk memperbarui SOP, mengembangkan teknologi baru, dan memperbaiki kelemahan yang ditemukan.Â
Evaluasi juga mencakup aspek pelibatan publik apakah mekanisme pengaduan berjalan efektif, apakah masyarakat merasa dilibatkan, dan sejauh mana transparansi data dapat meningkatkan kepercayaan publik terhadap pemerintah.
Kedua belas, untuk menjamin keberhasilan jangka panjang, perlu ditetapkan peta jalan (roadmap) implementasi pengawasan bawah laut nasional.Â
Pada tahap awal, dapat dimulai dengan proyek percontohan di beberapa wilayah prioritas seperti Laut Natuna, Selat Malaka, atau Laut Jawa yang memiliki intensitas aktivitas tinggi. Tahap berikutnya adalah integrasi sistem data dan operasi antar-lembaga, lalu perluasan cakupan ke seluruh wilayah perairan Indonesia.Â
Setelah sistem berjalan stabil, pengawasan dapat dikembangkan ke arah yang lebih canggih, termasuk integrasi kecerdasan buatan, penggunaan kendaraan otonom bawah laut, dan pemanfaatan data besar (big data) untuk prediksi pelanggaran.
Seluruh tahapan tersebut tentu membutuhkan komitmen politik yang kuat, dukungan anggaran yang memadai, dan koordinasi lintas sektor yang solid. Namun, manfaat yang akan diperoleh jauh lebih besar, laut yang lebih aman, lingkungan yang lebih lestari, serta kedaulatan maritim yang lebih kokoh. Sistem pengawasan terintegrasi bukan hanya alat administratif, tetapi juga simbol keseriusan negara dalam menjaga warisan kelautannya.
Pada akhirnya, pengawasan objek bawah laut tidak dapat dipandang sebagai urusan teknis semata. Ini adalah wujud nyata dari tanggung jawab negara terhadap ruang maritimnya. Setiap kapal yang tenggelam di masa lalu menyimpan cerita sejarah bangsa. Setiap butir pasir dasar laut memiliki peran dalam keseimbangan ekosistem. Setiap kabel dan pipa bawah laut adalah urat nadi ekonomi nasional. Semua itu harus dijaga, diawasi, dan dikelola dengan penuh kehati-hatian.
Dengan sistem pengawasan terintegrasi yang didukung teknologi, regulasi, dan kolaborasi antarlembaga, Kementerian Kelautan dan Perikanan dapat memastikan bahwa laut Indonesia bukan hanya luas, tetapi juga terkelola dengan baik, berdaulat, dan berkelanjutan.Â
Pengawasan yang kuat bukan hanya menegakkan hukum, tetapi juga menjaga martabat bangsa di mata dunia sebagai negara kepulauan yang benar-benar berdaulat atas lautnya sendiri.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI