Mohon tunggu...
MOH NUR NAWAWI
MOH NUR NAWAWI Mohon Tunggu... Founder Surenesia dan Nawanesia

Seorang pecinta dunia maritim / Pelayan dan Pengabdi Masyarakat / suka menulis, bercerita dan berdiskusi / Hubungi saya di lynk.id/nawawi_Indonesia

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Aspirasi, Legislasi dan konflik Kepentingan Legislator

6 September 2025   15:30 Diperbarui: 6 September 2025   15:30 22
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi penyaluran PIP jalur aspirasi Anggota DPRD (sumber: radarmuria.com)

Masih dalam suasana hangat pembahasan tentang kinerja anggota DPR akhir-akhit ini, selain tunjangan yang banyak di kritik oleh masyarakat, ada hal lain yang perlu kita pahami dan bisa menjadi bahan diskusi panjang, yaitu tentang aktivitas para anggota dewan yang justru ikut menjadi penyalur program-program pemerintah. 

Dalam setiap perhelatan politik, baik pemilu legislatif maupun pemilihan presiden, nama besar program-program pemerintah hampir selalu ikut terseret ke tengah panggung politik. Program yang sejatinya dirancang untuk menjawab kebutuhan masyarakat, mulai dari sektor pendidikan, pertanian, kelautan, hingga jaring pengaman sosial, kerap kali dipersonalisasi atau bahkan direbranding menjadi milik pribadi seorang anggota dewan. Fenomena ini bukan sekadar keliru, melainkan juga berbahaya, sebab ia menimbulkan konflik kepentingan yang secara fundamental merusak tatanan demokrasi serta mengaburkan peran sejati wakil rakyat.

Kita bisa mengambil contoh Program Indonesia Pintar (PIP). Program ini lahir dari semangat konstitusi, yakni mencerdaskan kehidupan bangsa dengan memberikan bantuan biaya pendidikan kepada siswa yang berasal dari keluarga tidak mampu. Mekanismenya sederhana, Kementerian Pendidikan dan instansi terkait menyalurkan bantuan melalui bank penyalur kepada siswa penerima berdasarkan Data Terpadu Kesejahteraan Sosial (DTKS) serta data sekolah. Namun dalam praktiknya, publik berkali-kali menemukan narasi yang menyebutkan adanya "jalur aspirasi anggota DPR". Siswa atau orang tua siswa diarahkan untuk mengisi formulir dengan mencantumkan nama anggota dewan tertentu, seolah-olah program ini adalah hasil perjuangan pribadi seorang legislator. Padahal, dana PIP bersumber sepenuhnya dari APBN, bukan dari kantong pribadi wakil rakyat. Inilah contoh konkret bagaimana fungsi pengawasan DPR justru tergeser menjadi fungsi eksekusi dan distribusi sebuah ranah yang bukan domainnya.

Fenomena serupa terjadi pada program bantuan alsintan (alat dan mesin pertanian) yang digelontorkan Kementerian Pertanian. Di sejumlah daerah, penyerahan traktor tangan, cultivator, hingga pompa air dilakukan dalam seremoni yang dipimpin langsung oleh anggota DPR dari Komisi IV. Foto-foto mereka terpampang dengan bangga di spanduk acara, lengkap dengan kalimat bahwa bantuan tersebut adalah "aspirasi dari anggota dewan". Padahal, seluruh pengadaan itu menggunakan APBN yang dikelola Kementan. Anggota DPR memang memiliki fungsi menyerap aspirasi konstituen dalam bentuk pokok-pokok pikiran (pokir), tetapi ketika sampai pada tahap distribusi fisik barang dan tampil sebagai "pemberi bantuan", di situlah konflik kepentingan muncul. Mereka berpotensi menuai keuntungan politik elektoral dari program negara, sementara kewajiban pengawasan distribusi bisa terganggu oleh kepentingan citra.

Kondisi ini tidak berhenti di sektor pendidikan dan pertanian. Nelayan di beberapa daerah juga pernah menerima bantuan jaring dan kapal kecil yang dibingkai sebagai hasil perjuangan seorang legislator. Kasus ini berulang, seakan sudah menjadi pola baku: program kementerian disalurkan, anggota DPR datang, memberi sambutan, lalu publik disuguhkan narasi bahwa bantuan itu adalah hadiah pribadi dari wakil rakyat. Dalam banyak kesempatan, masyarakat yang awam terhadap mekanisme APBN mudah percaya. Akibatnya, program pemerintah tidak lagi dipandang sebagai hak rakyat dari uang negara, melainkan sebagai kebaikan hati seorang politisi. Fenomena inilah yang mereduksi kesadaran publik tentang relasi negara, rakyat, dan wakil rakyat.

Kita tentu tidak boleh abai terhadap fakta bahwa praktik seperti ini menimbulkan kerancuan peran (role conflict). Konstitusi dan Undang-Undang MD3 sudah jelas mengatur fungsi DPR, yakni: legislasi, anggaran, dan pengawasan. Tidak ada satu pun pasal yang menyebutkan bahwa anggota DPR berhak membagi-bagikan program atau bansos. Fungsi legislasi mengharuskan mereka menyusun undang-undang yang responsif terhadap kebutuhan rakyat. Fungsi anggaran mengharuskan mereka membahas, mengawasi, dan menyetujui alokasi APBN. Sementara fungsi pengawasan menuntut mereka mengontrol jalannya program pemerintah agar tepat sasaran, bebas dari KKN, serta bermanfaat nyata bagi publik. Ironisnya, banyak anggota dewan justru menyimpang dari ketiga fungsi itu dengan menjadi "distributor" program. Padahal, begitu mereka ikut membagikan bantuan, potensi bias pengawasan akan membesar---sebab bagaimana mungkin seseorang bisa mengawasi secara objektif sebuah program yang sudah mereka klaim sebagai milik pribadi?

Dampak konflik kepentingan ini jauh lebih serius daripada sekadar persoalan etik. Pertama, ia melahirkan praktik klientelisme politik. Rakyat penerima bantuan merasa berutang budi kepada anggota dewan tertentu, lalu terdorong untuk memberikan dukungan suara pada pemilu berikutnya. Kedua, ia membuka celah korupsi dan kolusi. Jika proses distribusi bantuan didasarkan pada kedekatan dengan politisi alih-alih kebutuhan objektif, maka kelompok masyarakat yang tidak punya akses ke anggota DPR bisa terabaikan. Ketiga, ia merusak integritas institusi DPR itu sendiri. Lembaga legislatif yang semestinya menjadi penjaga keseimbangan justru menjadi pemain dalam distribusi program eksekutif. Ini adalah bentuk deviasi yang berbahaya bagi kesehatan demokrasi.

Data dan fakta yang muncul dalam pemberitaan media memperkuat kritik ini. Misalnya, Reuters pada Februari 2024 melaporkan kontroversi pembagian beras 10 kilogram menjelang pemilu, yang menimbulkan tudingan politisasi bansos. CNBC Indonesia juga menyoroti BLT El Nino yang digelontorkan menjelang pemilu, menimbulkan persepsi sebagai alat politik. Kasus-kasus lokal memperlihatkan paket bantuan sosial ditempeli stiker caleg atau partai politik, sebagaimana diberitakan oleh Liputan6 (2024) dan TribunBanten (2020). Bahkan dalam bantuan alsintan, ANTARA mencatat sejumlah anggota DPR menyalurkan langsung traktor tangan atau pompa air ke kelompok tani di dapilnya. Fakta-fakta ini menunjukkan bahwa persoalan konflik kepentingan bukan kasus sporadis, melainkan pola sistemik yang terus berulang.

Masyarakat sipil dan akademisi juga telah menyoroti persoalan ini. Analisis dari The Conversation Indonesia (Februari 2024) menekankan bahwa politisasi program negara melemahkan akuntabilitas demokrasi. Begitu pula laporan Asumsi.co (2018) yang menilai pembagian sertifikat tanah (PTSL) dalam jumlah besar pada tahun politik sarat kepentingan elektoral. Kritik ini konsisten: program negara yang seharusnya netral dan berbasis data kebutuhan rakyat telah ditarik ke ranah politik praktis demi keuntungan jangka pendek.

Lalu, apa yang seharusnya dilakukan? Pertama, kita harus menegaskan kembali batas peran DPR. Wakil rakyat harus berhenti memposisikan diri sebagai pemberi bantuan. Mereka harus kembali pada fungsi inti: memastikan regulasi, anggaran, dan pengawasan dijalankan dengan benar. Aspirasi dari dapil bisa disalurkan dalam bentuk pokok-pokok pikiran (pokir) yang diajukan ke pemerintah, tetapi begitu program itu disetujui dan dieksekusi, anggota dewan tidak boleh lagi tampil seolah-olah sebagai penyalur langsung. Dengan demikian, publik tidak akan terkecoh, dan pengawasan bisa berjalan tanpa bias.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun