Menanggapi demonstrasi dengan empati
Di jalan-jalan utama Jakarta, dan seluruh kota negeri ini suara rakyat masih bergema. Spanduk dan poster terangkat tinggi, orasi bersahutan dari pengeras suara, dan ribuan langkah kaki berpadu menjadi denyut kegelisahan kolektif.Â
Demonstrasi bukanlah hal baru di republik ini. Sejak era reformasi, jalanan memang menjadi panggung utama ekspresi politik rakyat. Namun, setiap kali massa turun dengan jumlah besar, itu selalu menjadi pertanda ada jarak yang melebar antara pemerintah dengan masyarakatnya.Â
Ada aspirasi yang tak tersalurkan melalui kanal formal, ada keresahan yang tak menemukan jawab di meja birokrasi. Maka, turun ke jalan adalah bahasa terakhir yang dimengerti.
Bagi sebagian pejabat, demonstrasi dianggap sekadar keramaian musiman yang akan reda seiring hujan turun atau gas air mata ditembakkan. Namun bagi masyarakat yang hadir, itu adalah taruhan harga diri dan masa depan. Mereka meninggalkan pekerjaan, kuliah, bahkan rumah tangga, untuk berdiri di jalan dengan harapan suaranya didengar.Â
Di titik itulah pejabat publik diuji, bukan hanya sebagai pengelola negara, tetapi sebagai manusia yang diberi amanah. Apakah mereka sekadar penguasa yang ingin melanggengkan privilese, atau benar-benar pemimpin yang mau mendengar, menanggung, dan bertindak?
Respons pejabat publik terhadap demonstrasi selalu menjadi penanda kualitas demokrasi. Negara demokratis tidak diukur dari seberapa sering rakyat turun ke jalan, melainkan bagaimana pemerintah merespons. Apakah aspirasi dianggap gangguan, atau diperlakukan sebagai masukan berharga? Apakah pejabat bersembunyi di balik tembok tinggi dan pasukan keamanan, atau justru maju menemui rakyatnya dengan wajah terbuka?
Sejarah panjang negeri ini memberi banyak pelajaran. Kita ingat tahun 1998, ketika mahasiswa berbulan-bulan turun ke jalan menuntut reformasi. Pemerintah waktu itu memilih merespons dengan kekerasan dan pembungkaman. Hasilnya adalah runtuhnya kepercayaan publik dan jatuhnya rezim.Â
Sebaliknya, di momen-momen ketika pemimpin berani mendengar, berani meminta maaf, bahkan berani membatalkan kebijakan yang salah, rakyat bisa menerima dengan lapang. Mereka mungkin tetap kecewa, tetapi kepercayaan tidak sepenuhnya hilang.