Demonstrasi yang Memanas, Fokus akar Masalah, dan Jalan Keluar PolitikÂ
Jalanan terus bergejolak. Demonstrasi yang awalnya hanya turun dengan poster, toa, dan suara lantang mahasiswa, kini berubah menjadi pemandangan yang lebih keras: gas air mata, gedung DPR dilempari, kantor polisi dibakar, rumah politisi dirusak. Kota-kota besar seperti tak lagi bisa membedakan mana demo, mana kerusuhan.
Tentu, ada yang bilang itu ulah provokator. Ada juga yang bilang itu ekspresi kemarahan rakyat yang sudah lama dipendam. Nyatanya, kita memang sedang hidup di zaman ketika jarak antara rakyat dan wakilnya terasa makin lebar. Seolah-olah para politisi itu tinggal di menara kaca rapat, berdebat, berbicara panjang, tetapi hasilnya terasa makin menjauh dari kebutuhan rakyat.
Dan di situlah sebenarnya akar masalahnya, kalau kita mau jujur, hampir semua orang yang turun ke jalan hari ini punya rasa yang sama, mereka tidak lagi percaya pada kinerja anggota dewan, pada kebijakan pemerintah, bahkan pada janji-janji partai politik.
Kenapa? Karena kebijakan-kebijakan besar yang lahir beberapa tahun terakhir ini justru lebih banyak berpihak pada elit. Entah dalam bentuk UU yang melindungi kepentingan konglomerat, entah dalam bentuk aturan yang membuka peluang eksploitasi sumber daya alam, atau bahkan keputusan-keputusan anggaran yang lebih sibuk memikirkan proyek mercusuar dan tunjangan anggota dewan daripada nasib petani, buruh, dan nelayan.
Dari sudut pandang rakyat kecil, DPR sudah bukan lagi rumah aspirasi. Ia lebih mirip kantor akuntansi besar, tempat para elit mengutak-atik angka demi proyek dan kepentingan kelompok. Tidak heran, ketika satu UU baru lahir dan dirasakan merugikan, jalanan pun langsung penuh. Karena rakyat tidak lagi merasa punya saluran lain.
Dan ini, sesungguhnya, tragedi dalam demokrasi. Demokrasi kita dibangun atas dasar representasi. Tetapi begitu representasi itu hilang atau terasa hilang yang muncul adalah kemarahan.
Demonstrasi dan Gejolak Sosial
Demo memang bagian dari demokrasi. Tetapi ketika demo berubah menjadi penjarahan dan pengrusakan, itu pertanda ada yang lebih serius, yaitu frustrasi.
Orang yang frustasi, kalau tidak punya lagi cara, akan mengambil jalan pintas. Gedung DPR dilempari bukan karena mereka benci gedung itu, melainkan karena mereka merasa simbol di dalamnya sudah mati. Kantor polisi dirusak bukan karena mereka benci polisi, melainkan karena aparat dianggap terlalu sering berdiri di seberang rakyat, bukan di samping rakyat. Rumah politisi dibakar bukan karena dendam pribadi, melainkan karena politisi dianggap bagian dari elit yang selama ini tertawa di atas penderitaan orang banyak.