Mohon tunggu...
Moh Nur Nawawi
Moh Nur Nawawi Mohon Tunggu... Nelayan - Founder Surenesia

Seorang pecinta dunia maritim / Pelayan dan Pengabdi Masyarakat / suka menulis, bercerita dan berdiskusi / @nawawi_indonesia nawawisurenesia@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan Artikel Utama

Pandemi Covid-19 Momentum Optimalkan Blue and Green Economy

18 Februari 2021   03:59 Diperbarui: 18 Februari 2021   07:51 646
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi seorang pria tengah snorkeling di lautan jernih dengan terumbu karang indah di Bunaken.(SHUTTERSTOCK/SOFT_LIGHT via KOMPAS.COM)

Pertumbuhan ekonomi yang tinggi bukanlah segala-galanya, mungkin itu menjadi pelajaran penting dari 2020 yang begitu dramatis. Dunia belajar banyak dengan adanya pandemi Covid-19 pasalnya, pertumbuhan ekonomi yang tinggi tidak menjamin kualitas dan ketahanan dari ekonomi itu sendiri sehingga ketika terjadi guncangan ancaman resesi bahkan collapse menanti di ujung jalan.

Mengejar pertumbuhan ekonomi mungkin banyak gencar dilakukan oleh para pemerintah di dunia, dengan mendesain kebijakan untuk menyeimbangkan fiskal di tengah Pandemi melanda, berupaya cara dilakukan untuk men-triger ekonomi masyarakat agar terus tumbuh, tapi faktanya ekonomi dunia tetap terseok seok karena banyak industri yang harus mandek karena terdampak oleh pandemi. Efek domino semakin membuat ekonomi terpuruk sehingga keuangan negara terganggu.

Jika kita menoleh ke belakang sebenarnya pada November 2008, Persatuan Bangsa-Bangsa (PBB) melalui United Nations Programe (UNEP) telah meluncurkan konsep Green Economy Inisiatives (GEI) untuk mendorong penerapan ekonomi negara-negara anggotanya.

Hal tersebut dilatarbelakangi pada fenomena semakin menurunnya kualitas lingkungan seiring pertumbuhan ekonomi dalam 50 tahun belakangan. 

Lingkungan darat dan laut semakin memprihatinkan akan eksplorasi sumber daya yang hanya berorientasi pada ekonomi semata tanpa mengindahkan dampak ekologi.

Premisnya, GEI adalah pembangunan yang sesuai dengan kebutuhan generasi saat ini, tanpa mengurangi kesempatan bagi generasi yang akan datang untuk memenuhi kebutuhan mereka (United Nations Division for Sustainable Development 2007).

Semangatnya adalah pembangunan keberlanjutan (sustainable development), sebuah konsep pembangunan yang mampu menyeimbangkan antara ekonomi dan ekologi. Mungkin untuk menggambarkan konsep yang tepat untuk itu adalah sebuah konsep ekonomi yang tetap menjaga kehijauan daratan dan kebiruan lautan (Blue and Green Economy).

Ekonomi hijau dan ekonomi biru berkelanjutan pun tidak semata hanya bicara lingkungan dan seluruh sumber daya alam, tapi konsep pembangunan ekonomi tersebut juga bicara tentang  ketahanan, kekuatan, dan kualitas pertumbuhan yang tentu memiliki prospek jangka panjang.

Dampak eksploitasi masif tanpa mengindahkan ekologi telah banyak terasa, pemanasan global, kerusakan lingkungan justru menambah beban ekonomi yang semakin besar hal ini memaksa kita untuk segera beralih pada konsep pembangunan ekonomi yang lebih efisien sehingga biaya menambal kerusakan bisa untuk menumbuhkan sektor ekonomi baru.

Momentum pandemi Covid-19 bagi dunia diartikan sebagai tahun titik balik atau titik move on untuk membangun ekonomi biru dan ekonomi hijau berkelanjutan. Namun realitas dunia sampai saat ini banyak yang belum tergerak untuk mengimplementasikan hal tersebut.

Implementasi ekonomi hijau dan ekonomi biru masih sulit diaplikasikan karena banyak negara belum bisa move on dari ekonomi yang menawarkan kemudahan dalam mengeruk keuntungan tanpa melihat kerusakan yang ditimbulkan. 

Cara cara instan masih terus dilakukan, di mana mengeruk kekayaan dengan cara cepat tanpa peduli imbas kerusakan ekologi masih jadi pola pikir pemerintahan mayoritas di dunia.

Ekonomi yang ekspolitatif memang mungkin akan lebih tampak manis di awal, namun, sebenarnya konsep ekonomi tersebut akan berujung pahit. Eksploitasi sumber daya alam dapat dikatakan sudah sangat tidak relevan dan wajib untuk segera ditinggalkan.

Mencari jalan menuju ekonomi yang lebih tangguh dan tahan banting adalah keniscayaan. Kita tentu tidak ingin lagi terpukul dan terpuruk seperti di 2020 akibat pandemi oleh karena itu tahun 2021 harus segera berbenah. Mendesain ulang strategi pembangunan ekonomi yang tepat.

Pukulan telak pandemi COVID-19

Dunia benar benar terpukul keras dan tak dapat dipungkiri bahwa saat pandemi COVID-19 menghantam dunia, sisi ekonomi berkelanjutan yang bertumpu pada keadilan, kepedulian, dan perlindungan lingkungan, hutan, laut dan alam, terbengkalai.

Di tahun 2020 komitmen iklim malah semakin dikesampingkan. Alasannya tentu adalah pandemi COVID-19 yang dianggap sangat berbahaya dibandingkan isu lainnya. 

Prioritas menghadapi pandemi membuat pemimpin dunia bergerak cepat dan berpikir cara tercepat mengatasi masalah tersebut dan semua itu menjadi dalih pembangunan ekonomi eksploitatif yang sebenarnya justru semakin menambah masalah baru.

Benar bahwa memprioritaskan penanganan pandemi adalah hal utama yang harus dilakukan, pasalnya, krisis kesehatan yang semakin menggerogoti begitu mengancam nyawa manusia. Dan menyelamatkan nyawa adalah hal utama, tapi bukan berarti pandemi harus mengendorkan semangat melawan dampak perubahan iklim, karena jelas bahwa kerusakan yang akan dihasilkan jauh lebih berbahaya dari pandemi itu sendiri. 

Dampak jangka panjang yang tentunya akan sulit dibenahi dan pembenahan tersebut tentunya akan lebih banyak menguras waktu, biaya dan tenaga.

Para pakar virologi dan spesialis mikrobiologi banyak yang mengemukakan bahwa beberapa faktor krisis iklim berperan dalam perkembangan dan penyebaran wabah virus salah satunya COVID-19. Kerusakan ekosistem hewan akibat aktivitas manusia, telah meningkatkan dampak buruk lingkungan sehingga membuat perkembangan virus semakin pesat.

Hal ini menjadi warning bagi dunia bahwa dampak kerusakan ekonomi eksploitatif yang terus menerus dilakukan dimasa lalu menjadi penyumbang cepatnya wabah pandemi melanda. Karena alam tidak mampu memfilter alami karena kerusakan oleh manusia.

Keberadaan hutan hujan di seluruh daerah memainkan peran penting dalam siklus karbon global dan mengatur cuaca bumi. Ekosistem laut yang di dalamnya mengandung berjuta partikel dan biota aquatik menjadi penyeimbang iklim selain itu menjadi Penyedia sumber protein sebagai penambah daya imun bagi manusia. 

Bila keberadaan semua itu punah atau terjadi ketidakseimbangan maka dampaknya adalah petaka bagi kelangsungan hidup manusia.

Ekonomi Biru dan Ekonomi Hijau Berkelanjutan

Pembangunan ekonomi dengan konsep melindungi ekosistem atau memanfaatkan sumber daya alam dengan bijak adalah langkah terbaik untuk mengantisipasi terjadi dampak kerusakan yang ujungnya akan membuat perekonomian bahkan kehidupan manusia terpuruk.

Ekonomi hijau di mana pemanfaatan sumber daya alam dalam rangka pembangunan ekonomi harus memperhatikan keseimbangan alam, menghindari perusakan hutan lindung, perusakan gunung, dengan relokasi hijau yaitu memindahkan hutan ketika terjadi eksploitasi sehingga alam tetap seimbang.

Ekonomi biru adalah konsep pembangunan ekonomi yang tetap menjaga keberlanjutan sumber daya laut, menjaga keseimbangan lingkungan maritim, mengeksploitasi laut dengan tepat seperti penangkapan ikan yang terzonasi dan terarah, penggunaan alat tangkap yang ramah lingkungan, stop pencemaran laut, pembuatan kebijakan yang tepat dilaut.

Dalam menjalankan agenda ekonomi biru dan ekonomi hijau berkelanjutan, banyak hal mendasar yang wajib diperhatikan.

Pertama, komitmen dan integritas penyelamatan lingkungan. 

Tanpa komitmen dan integritas, penyelamatan lingkungan itu hanya akan manis di bibir saja. Selama ini merusak lingkungan dianggap sebagai jalan pintas dalam meraup keuntungan yang besar. 

Janji mengembalikan ekosistem seperti semula tak pernah dipenuhi, karena selalu berpikir tentang nilai ekonomi semata. Jadi sudah seharusnya komitmen dibangun dari awal karena ekspansi bisnis dengan mengabaikan kepentingan lingkungan menjadi sangat masif jika komitmen lingkungan terbengkalai.

Contoh nyata masifnya ekspansi bisnis sawit bahkan sampai dengan rencana food estate yang pada dasarnya mengalihfungsikan hutan menjadi lahan produktif transaksional perlu untuk ditinjau lebih matang. 

Jika diabaikan, kita dapat menyesal di kemudian hari akibat kerusakan lingkungan yang semakin mengkhawatirkan. Selain itu pembukaan kran pemanfaatan sumber daya ikan dengan alat tangkap yang tidak ramah lingkungan ibarat menanam bom waktu yang pada waktunya akan membuat sengsara manusia.

Kedua, rancangan model ekonomi dan peta jalan (road map) ekonomi biru dan ekonomi hijau berkelanjutan. 

Dalam rangka mewujudkan ekonomi biru dan ekonomi hijau berkelanjutan, maka perlu rancangan model ekonomi serta peta jalan yang berorientasi jangka panjang tanpa pengaruh politik praktis transaksional. 

Semangat menjaga keberlanjutan Sumber daya dan keseimbangan alam harus menjadi dasar pemikiran para pembuat kebijakan.

Politik praktis yang cenderung transaksional, hanya berorientasi pada kepentingan pribadi dan kelompok menjadi salah satu penyebab penerapan ekonomi  berkelanjutan selama ini tersendat dan  tertahan di persimpangan jalan. 

Belum selesai agenda penyelamatan dilakukan, pergantian pemimpin kerap kali ikut mengubah agenda sehingga upaya menjalankan roda ekonomi  berkelanjutan hanya berjalan di tempat.

Ketiga, kebijakan reward and punishment. 

Penerapan kebijakan reward and punishment dalam konteks ekonomi berkelanjutan sangat penting. Reward diberikan untuk pihak swasta, pemerintahan daerah, bahkan masyarakat yang berinisiatif untuk memanfaatkan, menjaga, dan merawat lingkungan.

Sedangkan punishment diberlakukan bagi para pelanggar, para perusak lingkungan dan mereka yang tidak pernah konsisten dalam menjaga keseimbangan antara ekonomi dan ekologi. Penegakan hukum tanpa pandang bulu menjadi tiang berjalannya roda ekonomi berkelanjutan.

Pelaku perusakan lingkungan apalagi sampai dengan membakar hutan wajib mendapatkan sangsi tegas, bahkan jika perlu pemerintah menerapkan pungutan untuk berbagai aktivitas yang berdampak pada lingkungan seperti kendaraan beremisi gas buang yang berbahaya sampai dengan cukai untuk penggunaan plastik sekali pakai.

Banyak negara yang menerapkan hal tersebut justru memiliki keuntungan ganda selain menekan laju kerusakan lingkungan juga menambah pendapatan negara, misalnya cukai rokok yang dinaikkan dan lain sebagainya.

Dengan tingginya angka kerusakan lingkungan dan tidak kuatnya perekonomian, maka penting bagi pemerintah untuk mendorong ekonomi biru dan ekonomi hijau berkelanjutan sehingga bukan hanya mengejar pertumbuhan yang tinggi, tapi juga mengejar kualitas dari pertumbuhan itu sendiri. Bukan sekedar keuntungan secara ekonomi tapi juga secara ekologi.

Perlu menjadi catatan pertumbuhan ekonomi tanpa dibarengi dengan keseimbangan ekologi justru akan menimbulkan permasalahan baru, karena biaya yang akan dikeluarkan untuk memperbaiki kerusakan akan lebih besar dari pada nilai ekonomi yang didapat sebelumnya. 

Pembangunan ekonomi berkelanjutan dengan konsep ekonomi biru dan ekonomi hijau tidak bisa ditawar lagi demi keberlanjutan hidup manusia.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun