Bab 1: Lahir dalam Lingkaran Ekspektasi
Sejak kecil, kita diajarkan banyak hal yang "seharusnya" dilakukan. Kita diarahkah untuk menjadi pintar, sopan, patuh, dan tidak boleh mengecewakan orang tua. Kita dibesarkan dengan standar keberhasilan yang sudah dibentuk sebelumnya: nilai bagus, kuliah di universitas ternama, kerja kantoran yang mapan, menikah tepat waktu, punya rumah sendiri, dan seterusnya.
Tak salah jika orang tua punya harapan. Bahkan, itu bentuk kasih sayang. Namun, ketika harapan itu berubah menjadi tekanan yang menuntut untuk dipenuhi tanpa kompromi, di sanalah masalah muncul. Kita belajar menuruti tanpa benar-benar memahami. Kita belajar menjalani tanpa benar-benar menikmati.
Di usia dewasa, kita tiba-tiba tersadar bahwa banyak pilihan dalam hidup kita bukanlah murni kehendak kita sendiri. Jurusan kuliah, pilihan karier, bahkan pasangan hidup---semuanya kadang dipilih atas dasar 'apa kata orang', bukan 'apa kata hati'.
Bab 2: Hidup dalam Kompetisi Tak Berujung
Era digital memperparah beban ekspektasi ini. Media sosial memperlihatkan dunia yang terlihat sempurna. Orang lain tampak bahagia, sukses, dan selalu berada selangkah lebih maju. Kita pun tanpa sadar terjebak dalam kompetisi yang tak sehat: kompetisi membandingkan diri.
Alih-alih menjadi tempat saling berbagi, media sosial berubah menjadi ajang pamer keberhasilan. Setiap orang berlomba menjadi paling menginspirasi, paling produktif, paling bahagia. Yang tidak bisa mengikuti, merasa gagal. Yang belum mencapai, merasa tertinggal.
Kita lupa bahwa setiap orang punya garis start yang berbeda. Latar belakang keluarga, kondisi ekonomi, hingga kesehatan mental---semuanya berperan besar. Tapi dalam pandangan dunia yang dibentuk oleh algoritma, kita dipaksa percaya bahwa semua harus secepat dan sesempurna itu.
Bab 3: Ketika Ekspektasi Menjadi Beban Mental
Tak sedikit orang yang akhirnya mengalami kelelahan mental (burnout), kecemasan kronis (anxiety), bahkan depresi, hanya karena merasa terus-menerus harus memenuhi harapan. Perasaan "aku belum cukup" menghantui hari-hari mereka, padahal mereka sudah berusaha keras.
Seseorang bisa tampak baik-baik saja di luar, tetapi di dalamnya, mungkin sedang berjuang keras untuk bertahan. Mereka tersenyum, bekerja, berkarya, tetapi hatinya kering, pikirannya penuh beban. Mereka merasa hidupnya bukan miliknya, melainkan milik ekspektasi orang lain.