Peringatan Maulid Nabi Muhammad SAW memiliki makna yang jauh melampaui sebatas ritual dan perayaan suka cita. Maulid harus menjadi momentum refleksi mendalam terhadap misi utama Nabi, yaitu menghadirkan rahmat bagi semesta alam (rahmatan lil 'alamin). Konteks refleksi ini menjadi krusial mengingat Maulid tahun ini dirayakan di tengah suasana Indonesia yang dilanda kerusuhan dan bentrokan, yang mengindikasikan adanya kegagalan komunikasi serius antara kekuasaan dan publik.
Melalui lensa komunikasi kritis, kerusuhan tersebut dianalisis bukan sekadar ledakan amarah, melainkan sebuah ekspresi struktural yang lahir dari penumpukan ketidakadilan dan aspirasi rakyat yang terbungkam. Kekerasan di jalanan dianggap sebagai "bahasa terakhir" dari rakyat yang merasa tidak didengar dalam ruang deliberasi publik, mencerminkan adanya politik yang represif.
Sejarah kenabian mengajarkan etika perdamaian yang sangat relevan. Nabi Muhammad SAW, lahir di tengah masyarakat yang penuh konflik suku, memilih untuk meredakan pertikaian, bukan menambah bara. Beliau membangun perubahan melalui kesabaran, dialog, dan penegakan keadilan. Spirit ini menegaskan bahwa Maulid seharusnya menjadi ajakan untuk mentransformasi energi destruktif menjadi energi konstruktif demi perdamaian dan persatuan bangsa.
Pada intinya, merayakan Maulid Nabi di tengah kerusuhan merupakan seruan untuk melahirkan kembali etika perdamaian dalam ruang publik, meninggalkan politik kekerasan, dan menggantinya dengan komunikasi yang egaliter. Indonesia membutuhkan spirit Nabi lebih dari sebelumnya, sebagai jembatan untuk mengubah luka sosial menjadi rekonsiliasi dan amarah menjadi semangat untuk membangun kehidupan bersama yang lebih adil dan damai.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI