Industri K-pop selama ini sering dirayakan sebagai simbol kreativitas dan kerja keras tanpa batas. Namun, di balik wajah ceria para idol di atas panggung, ada realitas yang lebih suram. Sistem produksi hiburan digerakkan oleh logika kapitalisme ekstrem, dimana artis diperlakukan layaknya aset yang harus terus-menerus menghasilkan keuntungan.Â
Tidak semua rumah produksi di industri K-pop memberlakukan sistem ini secara ekstrem, namun mayoritas agensi di industri ini mengoperasikan bisnis mereka dalam prinsip kapitalisme agresif yang terasa nyata bahkan bagi penggemar lokal maupun global.
Kondisi ini menciptakan standar industri yang secara tidak langsung memaksa agensi kecil hingga menengah untuk ikut bersaing dengan model bisnis serupa, membentuk siklus tanpa henti yang memperparah tekanan terhadap artis.Â
Di lain kasus, agensi-agensi di luar BIG 4 (SM, YG, JYP, HYBE), menekan artisnya untuk memberikan profit hingga 'balik modal'. Jika tidak mendapatkan kembali modal, artis mereka tidak akan diberikan gaji. Kasus terbarunya mengenai girlgroup EVERGLOW, walaupun telah berkarir sejak 2019 seluruh membernya tidak pernah diberikan gaji sepeserpun dengan alasan belum balik modal.Â
Dalam artikel ini akan membahas lebih ke HYBE Labels, rumah bagi grup-grup besar seperti BTS, Seventeen, dan Enhypen. Dalam beberapa tahun terakhir, HYBE menunjukkan bagaimana agensi K-pop mengoperasikan artisnya dalam ritme kerja tanpa henti demi memaksimalkan kapitalisasi popularitas mereka di pasar global.
Produksi Tanpa Jeda: Ketika Artis Menjadi Mesin Hiburan
Sejak debutnya di tahun 2020, Enhypen hampir tidak pernah benar-benar mendapatkan waktu istirahat panjang. Setelah penyelesaian program survival I-LAND, mereka langsung memulai debut, merilis mini album secara berkala, melakukan comeback hampir setiap semester, tur konser global, fanmeeting, variety show, hingga promosi intensif di berbagai negara.
Dari tahun 2022 hingga 2025, kalender aktivitas Enhypen hampir sepenuhnya penuh, tanpa adanya jeda signifikan untuk pemulihan fisik maupun mental.
Mereka bahkan sempat menjalani jadwal berturut-turut di mana perilisan album, promosi media, dan tur global terjadi hanya dalam rentang waktu beberapa bulan, nyaris tanpa libur publik yang cukup panjang untuk pemulihan.
Situasi serupa juga terjadi pada Seventeen, meskipun mereka merupakan grup yang lebih senior. Seventeen menjalani tur dunia berturut-turut, comeback rutin, aktivitas solo member, hingga proyek kolaborasi global, seolah beroperasi dalam siklus produksi-konsumsi tiada henti. Setiap konser, album baru, dan promosi merek menjadi bagian dari "rantai pasokan" hiburan yang harus terus bergerak.
Hal ini menunjukkan bahwa artis dalam industri kapitalistik seperti ini tidak lagi diperlakukan sebagai individu dengan kebutuhan biologis dan emosional, melainkan sebagai mesin produksi hiburan yang harus terus menghasilkan output. Dalam logika kapitalisme, produksi yang melambat berarti kerugian.Â
HYBE Labels dan Strategi Kapitalisasi Popularitas
HYBE bukan sekadar agensi hiburan biasa. Setelah keberhasilan BTS secara global, HYBE melakukan ekspansi agresif, mengakuisisi label lain (seperti Pledis, Source Music, KOZ) dan membangun cabang internasional seperti HYBE America. Model bisnis mereka berfokus pada diversifikasi sumber pendapatan melalui musik, konser, merchandise, platform fan (Weverse), game, hingga investasi teknologi.
Dalam kerangka ini, artis seperti Enhypen dan Seventeen adalah salah dua komoditas berharga yang harus terus "dioperasikan" selama puncak popularitas mereka. Pasar global yang menuntut kecepatan konsumsi membuat jeda atau rehat artis menjadi sesuatu yang dianggap "merugikan" dari perspektif korporasi.
Setiap konser, album baru, fanmeeting, atau promosi komersial adalah alat untuk memaksimalkan profitabilitas. Tidak ada momentum yang boleh dibiarkan lewat begitu saja. Kapitalisme agensi artis mendorong narasi bahwa artis harus selalu tersedia, produktif, dan "relevan" tanpa mempertimbangkan kesejahteraan jangka panjang mereka.
Dalam sistem ini, produktivitas artis menjadi barometer utama nilai komersial mereka,
Salah satu aspek paling menonjol dari kapitalisasi ini adalah strategi penjualan merchandise. HYBE merancang dan menawarkan berbagai jenis produk kepada penggemar, mulai dari lightstick, photocard, album multiple version, apparel eksklusif, aksesori, hingga kolaborasi limited edition.
Data menunjukkan bahwa pendapatan dari merchandise HYBE terus mengalami kenaikan. Pada laporan tahunan 2023, HYBE mencatat lebih dari 40% dari total pendapatan non-musik berasal dari penjualan merchandise dan lisensi, dengan nilai mencapai triliunan won.
Pasar penggemar K-Pop yang terkenal loyal dimanfaatkan dengan baik untuk terus mendapatkan keuntungan yang besar. Hal ini diperkuat dengan praktik perilisan multiple version album dimana satu album dapat memiliki tiga hingga empat versi berbeda, mendorong fans untuk membeli semuanya demi melengkapi koleksi dan mendapatkan photocard eksklusif dari masing-masing member.
Harga merchandise pun bisa beragam, dari belasan hingga puluhan dolar amerika. Jika dikonversikan dalam rupiah bisa mencapai jutaan rupiah untuk satu item saja.
Bagi banyak fans, membeli merchandise bukan hanya soal konsumsi biasa, melainkan soal pembuktian loyalitas emosional terhadap idol mereka. Ini menjadi sebuah bentuk eksploitasi emosi yang dikapitalisasi secara efektif oleh agensi.
Dalam perspektif kapitalisme, keterikatan emosional fans ini adalah sumber daya ekonomi yang tidak kalah berharga dibandingkan musik itu sendiri.
Bahkan, dalam banyak kasus, fanbase yang emosional ini menjadi basis yang menopang kestabilan pendapatan agensi, membuat perusahaan berani memperluas lini produk ke arah yang lebih luas seperti kosmetik, makanan, hingga kolaborasi properti real estate.
Harga dari Kapitalisasi
Konsekuensi dari sistem ini mulai terlihat. Banyak idol menunjukkan tanda-tanda kelelahan fisik dan mental, bahkan jika tidak selalu diumumkan ke publik.
Pada 2023, misalnya, salah satu anggota Enhypen, Heeseung, sempat mengaku dalam siaran live bahwa dirinya mengalami kelelahan berat, dan merasa kehilangan arah karena padatnya jadwal. Beberapa anggota Seventeen juga pernah berbicara tentang tekanan mempertahankan performa optimal di setiap panggung.
Ironisnya, dalam kapitalisme agensi seperti ini, bahkan narasi "kelelahan artis" terkadang dikapitalisasi juga, dibungkus sebagai cerita "kerja keras dan dedikasi" untuk memperkuat citra positif grup di mata fans. Dengan kata lain, penderitaan artis itu sendiri dapat dikomodifikasi sebagai bagian dari brand image yang menguntungkan.
Bahkan di saat artis membutuhkan waktu untuk penyembuhan atau hiatus, momen itu sering diproduksi sebagai "cerita inspiratif" yang tetap bisa dimonetisasi melalui dokumentasi eksklusif, buku, atau konten film.
Enhypen dan Seventeen di bawah HYBE Labels menunjukkan bagaimana kapitalisme agensi dalam industri K-pop beroperasi. Di satu sisi, kita menyaksikan keberhasilan global artis-artis muda yang luar biasa. Di sisi lain, kita juga melihat bagaimana tubuh dan jiwa mereka menjadi bagian dari mesin produksi tanpa henti.
Industri hiburan modern, termasuk K-pop, adalah cermin dari kapitalisme global yang menuntut produktivitas tanpa batas, mengutamakan laba di atas kesejahteraan, dan mengubah manusia menjadi komoditas yang harus dipoles, dipromosikan, dan dijual sebanyak mungkin. Kita berharap akan muncul sebuah industri hiburan yang lebih manusiawi dimana para artis dihargai bukan hanya untuk apa yang mereka hasilkan, tetapi juga sebagai manusia yang punya hak untuk istirahat, berkembang, dan hidup dengan layak.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI