Hadirnya UU ITE memang disinyalir merupakan salah satu upaya untuk memberikan batasan serta landasan hukum bagi pengguna media sosial, khususnya di Indonesia, dalam mengemukakan pendapatnya. Akan tetapi, hadirnya UU ITE ini dirasa menjadi Undang-Undang yang tidak begitu penting. Sebab, tolak ukur penggunaan Undang-Undang dengan pasal karet ini dirasa masih belum jelas. Bentuk kerugian si pelapor untuk menggunakan UU ini, khususnya mengenai perbedaan pendapat, masih tidak ada satuan yang baku.Â
Misalnya, salah satu pengguna media sosial menyampaikan pendapat atau ekspresinya secara publik. Tiba-tiba, ada pengguna lain yang merasa terganggu dan tersinggung dengan pendapat tersebut. Pengguna yang tersinggung ini pun dapat melaporkan pendapat tersebut ke kepolisian dengan menggunakan UU ITE. Alhasil, pengguna yang mengunggah pendapatnya di media sosial tersebut pun dengan mudah dijebloskan ke jeruji besi.
Dalam arti kata lain, kita dapat melihat justru hadirnya UU ITE ini secara tidak langsung kerap kali membatasi keadilan dalam berekspresi di media sosial. Terlebih lagi, banyak dijumpai dalam kasus-kasus UU ITE, hanya orang yang ‘kaya’ dan ‘baperan’ lah yang dapat menggunakan UU ITE ini. Pada akhirnya, hal tersebut justru sangat membatasi hadirnya suang kebebasan berekspresi yang tentunya melanggar prinsip keadilan yang disampaikan John Rawls tersebut.
Bagi Rawls, sebagaimana yang saya kutip dalam (Alwino, 2016: 319), gambaran umum tentang kebebasan selalu menyangkut tiga hal. Pertama, para pelaku yang bebas. Kedua, batasan-batasan atau pelanggaran yang dibebaskan dari mereka. Misalnya, ketika mereka tidak mematuhi hukum yang tidak adil, mereka tidak boleh dihukum. Ketiga, adanya batasan-batasan tertentu. Maksud Rawls mengunggulkan prinsip kebebasan di atas prinsip perbedaan adalah untuk menjamin kebebasan itu sendiri. Karena apabila kebebasan terjamin, pada gilirannya kualitas peradaban pasti meningkat. Itulah sebabnya, prinsip pertama (kebebasan) keadilan itu mempunyai bobot mutlak (Alfino, 2016: 320).
Dari situ memang kita dapat melihat bahwa batasan-batasan yang diberikan oleh UU ITE, mengenai sampai sejauh mana kita dapat melanggar kebasan berekspresi, pun masih belum jelas. Ketidakjelasan tersebut yang kemudian dapat menjerat siapapun. Dan ketika pengguna media sosial dapat dengan mudah dijerat dengan pasal tersebut, Â membuat pengguna media sosial enggan menyampaikan pendapat dan aspirasi politiknya di depan umum. Dimana dapat kita simpulkan hal tersebut merupakan suatu kemunduran dari keadilan dalam berekspresi dan menyampaikan pendapat politik sebagaimana prinsip keadilan menurut John Rawls.
Namun, bukan berarti hadirnya UU ITE ini tidak memberikan manfaat sama sekali. Disahkannya UU ITE ini juga dapat memberikan semacam garansi kepada masyarakat akan dijaminnya hukum di ruang digital. Sehingga, ketika masyarakat mengalami kerugian dalam ruang digital ataupun transaksi elektronik, UU ini dapat melindungi masyarakat dari kerugian yang berarti. Selain itu pun masih terdapat kebermanfaatan lainnya dari UU ITE ini yang perlu diapresiasi. Jadi memang, UU ini tak sepenuhnya negatif. Namun, perlu penjelasan yang lebih mendetail mengenai batasan-batasan yang mengatur tentang kebebasan berekspresi di ruang digital, khususnya di media sosial.