Mohon tunggu...
Humaniora Artikel Utama

Dioscuri dan Overdosis Ruang Publik di Bandung

3 Mei 2016   19:53 Diperbarui: 4 Mei 2016   12:25 337
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Salah satu ruang publik di Bandung. Sumber: phinemo.com

And when that sky is opened to the eyes of this young insight, there in the foreground were standing not the the divinities of Olympus — not Zeus, Hephaestus, Hermes, or Hera, Artemis, and Athena — but the Dioscuri

Dioscuri merupakan sebutan untuk si kembar Castor dan Pollux. Dioscuri berasal dari Bahasa Yunani “Diouskouroi” yang artinya “Sons of Zeus”. Dalam mitologi Yunani, merekalah yang membantu pelaut-pelaut yang kapalnya karam dan juga diberi pengorbanan untuk angin yang menguntungkan (angin laut). Mereka memiliki ibu yang sama, yakni Leida (anak dari raja Aetolia, Thestius), namun memiliki ayah yang berbeda. Castor merupakan anak dari suami Leida, Tyndareus, sedangkan Pollux merupakan anak dari Zeus (yang mendekati Leida dalam bentuk bangau). Seringkali mereka diasosiasikan dalam bentuk konstelasi Gemini.

Pollux merupakan petinju ulung, hampir tidak memiliki lawan sepadan di masanya. Sedangkan Castor merupakan penunggang kuda yang hebat. Kisah akhir mereka cukup tragis, Castor yang seorang manusia biasa mati terbunuh dalam sebuah pertempuran dendam, sedangkan Pollux berhasil selamat. Zeus lalu menawarkan pilihan antara Pollux hidup abadi di Olympus, atau membagi keabadiannya dengan Castor. Pollux memilih membagi keabadiannya, dengan akhirnya mereka berdua menghabiskan sisa hidup di Olympus sebagai dewa.

Sebagai saudara kembar, Castor dan Pollux merupakan satu keutuhan, meski Castor adalah manusia biasa, dan Pollux adalah manusia setengah dewa. Jika diasosiasikan dengan Gemini, Castor dan Pollux memiliki dualitas sifat. Dualitas ini juga melambangkan pertukaran ide atau komunikasi, saling melengkapi, dan dialektis.

Dioscuri dan Ruang Publik
Kutipan pada awal tulisan diambil dari sebuah manuskrip yang ditulis oleh Walter Benjamin berjudul The Paris Arcade Project. Manuskrip ini merupakan sebuah cerita kagum sekaligus kritik terhadap apa yang disebut arcade di Paris, yakni jalur teduh yang menghubungkan beberapa jalan utama di kota ini, yang dibangun pada tahun 1920-an. Dalam jalur tersebut, Benjamin melihat elemen yang melawan pemikiran utopis tentang sebuah kota. Para utopis seperti Thomas More, Francis Bacon, atau Thomas Campanella membayangkan sebuah kota atas prinsip rasional, bahwasanya semua yang ada harus memiliki tujuan tertentu.

Dalam manuskripnya ia menyatakan bahwa keberadaan ruang publik seperti arcades yang ada di Paris menegasikan sekaligus mendukung beberapa hal yang hendak diwujudkan dalam pemikiran tersebut. Keberadaan arcades ini menciptakan ruang interaksi antara warga kota. Di satu sisi ia menghilangkan sekat-sekat individualistik antara warga kota, meski tanpa adanya obrolan-obrolan atau bahkan sekadar berkenalan satu sama lain. Namun di satu sisi, konsep arcades menghilangkan konsep rasionalitas dan keteraturan, serta menimbulkan budaya konsumerisme, apalagi di Paris dalam waktu ini, arcades tersebut berubah jadi etalase-etalase bagi fashion brand terkemuka— sebuah surga belanja bagi kaum menengah ke atas.

Dioscuri di Paris van Java
Menjamurnya ruang publik seperti taman-taman tematik di Kota Bandung juga tidak bisa dilepaskan dari Dioscuri. Keberadaan ruang publik ini juga menciptakan sebuah intimasi baru bagi warga-warga kota yang seharusnya cenderung individualistik. Dengan alasan untuk membuat sebuah ruang rekreasi dan sosialisasi warga kota, taman-taman ini dibangun. Beberapa didesain ulang dan beberapa dibangun dari nol. Dengan menjamurnya mal, resort, dan sebagainya, ruang rekreasi dan bersantai tidak lagi bisa diakses dengan mudah, terutama oleh warga kota yang kondisi ekonominya tidak mampu mengusahakan ruang tersebut. Kehadiran taman di Kota Bandung ibarat menjadi sebuah obat bagi penyakit kurang piknik ini.

Tapi di satu sisi, beberapa dampak negatif bermunculan. Pengadaan taman tidak diiringi dengan sarana dan prasarana penunjang yang cukup. Contohnya saja tempat parkir. Beberapa taman di Kota Bandung berada tepat di sisi jalan yang ramai dengan lalu lalang kendaraan. Tidak adanya area parkir yang memadai membuat masalah baru: kemacetan. Sudah cukuplah warga Bandung menghabiskan waktu pergi-pulang kerja di jalan, dan taman-taman ini makin membuat masalah jadi runyem.

jalan-cihampelas-bandung-kompas-dot-com-57298406b4927399048b456f.jpg
jalan-cihampelas-bandung-kompas-dot-com-57298406b4927399048b456f.jpg
Jalan Cihampelas, Bandung. Sumber: KOMPAS.com

Selain itu, keberadaan taman-taman ini ternyata overdosis. Kenapa? Sebagai obat kurang piknik, dosis yang diberikan ternyata terlalu banyak. Warga kota yang seharusnya paham akan kebutuhan dasar atas kotanya sendiri, menjadi terlalu menikmati indahnya kota dengan sejuta taman ini. Alhasil, konsumerisme era Parisian Arcade terulang lagi. Yang dilahap bukan lagi sekadar ruang, tapi komoditas visual dan rasa bangga akan kotanya yang telah menjadi lebih indah dibanding kota lain. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun