Mohon tunggu...
Naufal Mafazi
Naufal Mafazi Mohon Tunggu... Dosen - Suami, Babahnya Davin, dan Guru

Berusaha membuka jendela ilmu psikologi dengan prespektif berbeda

Selanjutnya

Tutup

Lyfe Pilihan

Ke Mana Aku Akan Berkarier? Sebuah Potret Psikologis Anak Petani

30 Oktober 2023   13:56 Diperbarui: 30 Oktober 2023   14:18 175
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
naufal poto document

Potret pertanian di Kabupaten Bojonegoro selalu menarik untuk didiskusikan oleh para Akademisi, tidak terkecuali kami para akademisi di lingkup Psikologi. Hal ini memang tidak terlepas dari kondisi pertanian di kabupaten ini. 

Catatan BPS 2019 menunjukkan bahwa penurunan hasil produksi padi kering giling sebanyak 1 juta ton pada tahun 2016. Pada tahun 2018 menurun sebanyak 757,44 ribu ton. 

Artinya dalam kurun waktu tiga tahun terdapat penurunan sebanyak 3 ribu ton. Menurut Kepala Bidang Produksi Pertanian dan Hortikultura Kabupaten Bojonegoro hal ini disebabkan adanya penyakit tanaman, seperti wereng, tikus, dan slundep. 

Tak berhenti di situ saja, Kabupaten dengan mayoritas penduduk bermata pencarian di sektor pertanian ini justru kerap kali mengalami masalah musiman seperti kekeringan dan rendahnya stabilitas harga.

Kompleksitas ini tentu dirasakan sekali oleh para petani. Akan tetapi, perlu diperhatikan bahwa petani tidak merasakan hal tersebut seorang diri, ketika petani memiliki anak. 

Tentu anak petani juga merasakan dampaknya. Tidak sedikit anak-anak petani yang mengalami beban ekonomi dan psikis akibat kondisi pertanian tersebut. Penelitian yang menarik tahun 2020 di Indonesia menunjukkan bahwa anak petani mengalami kejenuhan di sektor pertanian dan harus menerima kenyataan jika orang tua mereka mengalami gagal panen. 

Hal tersebut kemudian dipotret jelas dan dikonstruksi oleh anak petani bahwa di sektor pertanian memiliki penghasilan rendah, tidak stabil, memiliki status sosial rendah dan cenderung termarginalisasi dalam lingkungan. Tidak menutup kemungkinan bahwa anak petani ini mengalami inferioritas.

Sebaliknya, konstruksi berbeda dipotret oleh anak petani bahwa non sektor pertanian lebih baik. Bagaikan air di tengah-tengah gurun. Profesi seperti ASN, TNI/POLRI, dan Pegawai Bank menjadi bayangan dan harapan mereka di masa depan. Profesi tersebut berpeluang besar mengangkat derajat keluarga baik dari segi ekonomi maupun sosial. 

Selain itu, pada konteks makro potret seperti ini diperkuat. Fasilitas pendidikan khusus mempelajari ilmu pertanian hanya ada dua di Kabupaten Bojonegoro. 

Pertama, SMKN 5 Bojonegoro, yang justru saat ini lebih dikenal sebagai SMK Migas dengan dua jurusan di ilmu pertanian. Kedua, Universitas Bojonegoro dengan jurusan pertanian. 

Keberadaan dua jurusan pertanian di Bojonegoro ini tentu tidak sebanding dengan puluhan jurusan lain non-pertanian yang lebih mendominasi. Promosi secara besar-besaran justru di lakukan pada jurusan non-pertanian, seperti jurusan Migas yang disiapkan sebagai pegawai tambang pengeboran minyak di Kabupaten ini.

Potret ini yang menjadi dasar munculnya proses psikis yang disebut social comparation atau perbandingan sosial. Kondisi di mana seseorang dengan sosial-ekonomi rendah, ketidakpuasan, kondisi yang tidak diharapkan, dan perasaan inferior, melakukan perbandingan yang cenderung mengarah pada keinginan untuk lebih baik di masa depan. 

Tentu non sektor pertanian yang cenderung lebih baik menjadi target perbandingan sosial disebut sebagai upward social comparison. Harapannya agar kehidupannya lebih baik dari sebelumnya.

Selain itu, beberapa hal menarik muncul di kalangan Masyarakat Bojonegoro. Perbandingan sosial dialami oleh anak petani ini ternyata juga didukung oleh adanya kebiasaan yang berkembang di Masyarakat, yaitu Tindak Tutur. Sebuah aktivitas menuturkan atau mengujarkan dengan maksud tertentu. 

Orang tua sebagai petani menuturkan kepada anak para petani bahwa jangan sampai mereka menjadi petani seperti dirinya. Meskipun beberapa masyarakat tidak mengungkapkan secara langsung. Namun, tindak tutur ini dilakukan secara berulang menjadi sebuah nilai dan prinsip anak petani dalam hidupnya. 

Nilai ini cukup menjadi fundamental aspek pendukung dalam perbandingan sosial yang dilakukan oleh anak petani. Praktik kebiasaan ini didasari pada prevalensi dan kekuatan norma sosial yang kuat di Masyarakat. Khususnya Masyarakat Pedesaan di Bojonegoro agar anak turunnya menjadi lebih baik dari dirinya.

Akhirnya, kita mengetahui bahwa perbandingan sosial telah membentuk kesadaran bahwa terdapat individu yang berada dalam kondisi lebih baik dan ada kondisi kurang baik. Kondisi kurang baik dialami oleh anak petani yang berada di sektor non-pertanian.

Di titik ini, kita tidak bisa menyudutkan anak petani karena tidak mau menjadi petani. Semua orang tua tentu berhak memiliki generasi yang baik untuk menjamin masa depan. 

Namun, kondisi psikis anak petani yang mengalami inferioritas, kejenuhan, kehilangan harapan, dan kekecewaan sebagai dampak dari kompleksitas masalah di pertanian harus diselesaikan di ranah psikologi. 

Akademisi & praktisi psikologi terus mendorong upaya intervensi kepada anak petani dengan mengedepankan pendekatan berpikir positif. Harapannya anak petani tidak ada lagi yang memiliki pemikiran negatif pada sektor pertanian meskipun realitas tidak bisa dipungkiri.  

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Lyfe Selengkapnya
Lihat Lyfe Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun