Mohon tunggu...
Naufal Aflah Herdanto
Naufal Aflah Herdanto Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa Pendidikan Sejarah Universitas Persis Bandung

Diaspora Suku Jawa di Tanah Priangan

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Dilema Sarimin dan Kemarahan Kaum Revolusioner Brebes Pasca Proklamasi

2 September 2022   05:45 Diperbarui: 2 September 2022   05:59 532
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Potret Sarimin dengan latar belakang pengibaran bendera saat proklamasi kemerdekaan RI

"Turunkan Bendera Itu!" katanya kepada kaum pejuang. "Karena kita tidak mendapat perintah resmi dari Dai Nippon!" begitulah teriak Sarimin Reksodihardjo seorang Bupati Brebes kepada para pejuang yang tengah menaikan Merah-Putih di kantor Pemerintah Kabupaten dan tempat publik, saat pertemuan kelompok nasionalis di Brebes pada tanggal 22 Agustus 1945.  

Sikap demikian di masa kemerdekaan jelas menandai keraguan seorang pemimpin akan makna proklamasi yang baru saja dikumandangkan beberapa hari sebelumnya. Keraguan tersebut tentu tidak hanya terjadi di Kota Brebes saja, melainkan juga terjadi pada beberapa daerah lainnya di Indonesia.

Sebagai seorang Bupati, Sarimin percaya bahwa proklamasi tidak memiliki makna apapun, ia mempercayai bahwa Pemerintahan Militer Jepang di Indonesia-Gunseikanbu-masih memegang kendali tertinggi atas segala kebijakan yang berkaitan dengan birokrasi pemerintahan. Sikap ini bahkan sudah sempat ia ungkapkan sebelum Proklamasi dikumandangkan. Pada sebuah sidang pertemuan Jawa Hokokai dan Shu Sangi Kai (Dewan Penasehat Keresidenan) di Pekalongan, seorang pimpinan Putera (Pusat Tenaga Rakyat) cabang Pekalongan tersohor bernama Kromo Lawi bercerita mengenai sikap keraguan Sarimin atas berita proklamasi yang santer terdengar

"Saya ditertawai Sarimin di sebuah rumah, kita kumpul di sana dengan beberapa bupati, kemudian saya ceritakan tentang proklamasi itu. Nah saya ditertawai, karena katanya ya yang bisa memerdekan kita itu adalah negara yang menang ujar Sarimin cs, sehingga dia tidak percaya umpamanya saya.. kita ini bisa merdeka. Bagi Sarimin yang bisa memerdekakan adalah yang menang perang pada waktu itu, yakni Amerika. Sebab Jepang sudah jatuh, dan tidak bisa memberi kita hak kemerdekaan. Mereka tidak mengerti bahwa Proklamasi ini adalah dari sanubari rakyat Indonesia sendiri"

Sikap keraguan Sarimin akan proklamasi yang baru saja terjadi juga rupanya tetap ia pertahankan pada sebuah pidato saat perjalanan dinasnya di Kewedanaan Banjarharjo, Sarimin tetap pada pendiriannya bahwa kemerdekaan itu bergantung pada pihak yang memenangi perang dunia kedua, siapapun yang menang dialah yang memutuskan merdeka atau tidaknya Indonesia.

"Bagaimana sikap sekutu saja nanti, kita tidak menang, yang menang Sekutu, tunggu saja nanti sikap dari sekutu. Memang kalau sekutu menginginkan kita merdeka, kita merdeka. Merdeka atau tidak merdeka, yang perlu sekarang aman dan tentram" ujar Sarimin

Sikap kontroversial Bupati Sarimin yang terkesan apriori terhadap kabar proklamasi kemerdekaan Indonesia tentu saja mengundang kemarahan dari kaum revolusioner yang terdiri dari para pejuang kemerdekaan. Belum selesai pidato diumumkan, banyak hadirin yang meninggalkan tempat duduknya. Pidato tersebut jelas mengundang kemarahan kaum santri karena dianggap tajam dan melukai semangat nasionalisme mereka. Sewaktu meninggalkan kewedanaan ia sempat berusaha untuk diculik tapi gagal. 

Kartohargo seorang senior pergerakan nasional yang juga menjadi ketua KNI dan Barisan Pelopor (organisasi sayap dari Jawa Hokokai juga loyalis Soekarno) cabang Brebes, dikenal paling keras menentang sikap Sarimin yang tidak pro kemerdekaan. Menurutnya, pada sebuah pertemuan di Pendopo Kabupaten Brebes, Sarimin mengupas soal peperangan dan proklamasi dimana ia mengemukakan belum bersedia membenarkan serta mengumumkan Proklamasi.  Bahkan ketika itu Bupati Sarimin mengatakan;

 "Apakah artinya Proklamasi yang hanya ditandatangi oleh dua orang saja (Soekarno-Hatta)?

Sampai pada akhir Agustus 1945, Sarimin percaya bahwa Proklamasi tidak memiliki makna apapun hingga Jepang secara resmi menyerah terimakan kekuasannya kepada Indonesia. Akhirnya pada tanggal 27 September 1945 setelah Jepang menyerahkan kekuasaannya dan berkat instruksi Mr Besar yang ketika itu menjabat sebagai Residen Pekalongan, Sarimin baru menyetujui pengibaran bendera Merah-Putih. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun