Jumlah rakaat dalam shalat tarawih adalah 20 tanpa witir, sesuai dengan praktik yang telah dilakukan oleh Sayyidina Umar bin Khattab dan kebanyakan sahabat lainnya, yang telah disetujui oleh umat Islam. Persetujuan ini berasal dari mayoritas ulama dari generasi awal hingga saat ini, termasuk masa sahabat Umar, dan telah menjadi ijma' sahabat serta kesepakatan mayoritas ulama dari berbagai mazhab: Syafi'i, Hanafi, Hanbali, dan mayoritas Maliki. Meskipun dalam mazhab Maliki terdapat perbedaan pendapat, antara 20 rakaat dan 36 rakaat, berdasarkan riwayat hadis dari Imam Malik bin Anas, yang menyatakan bahwa Imam Darul Hijrah Madinah berpendapat bahwa shalat tarawih dapat dilakukan antara 20 hingga 36 rakaat, dengan tiga di antaranya sebagai shalat witir. Imam Malik sendiri memilih untuk melaksanakan 8 rakaat, namun mayoritas pengikut mazhab Maliki mengikuti pendapat mayoritas dari mazhab Syafi'i, Hanbali, dan Hanafi yang menegaskan bahwa shalat tarawih terdiri dari 20 rakaat. Hal ini dipandang sebagai pendapat yang lebih kuat dan telah disepakati oleh mayoritas ulama secara menyeluruh.
Pendapat ini diperkuat dengan adanya dalil hadist yang diriwayatkan Sa’id bin Yazid :
عَنْ السَّائِبِ بْنِ يَزِيدَ قَالَ: كَانُوا يَقُومُونَ عَلَى عَهْدِ عُمَرَ بْنِ الْخَطَّابِ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ فِي شَهْرِ رَمَضَانَ بِعِشْرِينَ رَكْعَةً (رواه البيهقي وَصَحَّحَ إِسْنَادَهُ النَّوَوِيُّ وَغَيْرُهُ) ـ
Artinya: “Dari Sa’ib bin Yazid, ia berkata, ‘Para sahabat melaksanakan shalat (tarawih) pada masa Umar ra di bulan Ramadhan sebanyak 20 rakaat,” (HR. Al-Baihaqi, sanadnya dishahihkan oleh Imam Nawawi dan lainnya)
Dari hadist diatas memberikan penjelasan yang memadai bahwa pandangan yang paling kuat mengenai jumlah rakaat dalam shalat tarawih adalah 20. Inisiatif yang diambil oleh Sayyidina Umar bin Khattab tidak hanya disetujui, tetapi juga diamalkan oleh para sahabat Nabi lainnya pada masa itu, termasuk Sayyidah Aisyah, istri baginda Nabi Muhammmad SAW sendiri. Hal ini menegaskan kesepakatan (ijma') para sahabat, karena tidak ada yang menyangkal atau menentangnya. Oleh karena itu, tidaklah mengherankan jika mayoritas ulama dari empat mazhab atau mazhab lainnya memilih pandangan ini. Langkah awal yang diambil oleh Sayyidina Umar dan diikuti oleh para sahabat serta ulama sesudahnya sangatlah wajar, sebagaimana ketika kita melirik serta meninjau dari apa yang disampaikan oleh Nabi Muhammad SAW :
اقْتَدُوْا باِللَّذَيْنِ مِنْ بَعْدِيْ أَبِيْ بَكْرٍ وَ عُمَرَ (رَوَاهُ أَحْمَدُ وَ التِّرْمِذِيُّ وَابْنُ مَاجَهْ)ـ
Artinya: “Ikutilah dua orang setelah ku yaitu Abu Bakr dan Umar.”
Fenomena durasi pelaksanaan Ibadah tarawih. Apakah boleh melakukan sholat tarawih dengan durasi yang lebih cepat daripada sholat paada umumya? Jawaban secara globalnya itu diperbolehkan, dengan catatan tetap memenuhi ketentuan atau syarat dan rukun yang tertera seperti tuma’ninah (ketenangan) dalam sholat. Disamping itu yang tidak diperbolehkan adalah yang terlalu berlebihan.
Syekh Abdurrahman Balawi dalam karyanya Bughyatul Murtasyidin dijelaskan:
و أما التخفيف المفرط في صلاة التراويح فمن البدع الفاشية لجهل الأئمة وتكاسلهم ومقتضى عبارة التحفة أن الإنفراد فى هذه الحالة أفضل من الجماعة إن علم المأموم أو ظن أن الإمام لا يتم بعض الأركان لم يصح الإقتداء به أصلا.
Artinya: “ Adapun melaksanakan sholat tarawih dengan terlalu cepat itu termasuk dari suatu bid’ah buruk yang sudah terkenal karena ketidaktahuan seorang imam serta kemalasan yang ada pada dirinya, dan menurut keterangan dalam kitab tuhfah, sholat secara individu itu lebih baik daripada berjama’ah jika makmum mengetahui atau mengira bahwa imam tidak memenuhi sebagian dari rukun sholat, maka sholat bermakmum kepada imam seprti praktek tadi dianggap tidak sah sama sekali.”
- Tilawatul Qur’an