Dalam bergulirnya waktu yang membawa aroma kebersamaan dan penuh harap, bulan Ramadhan hadir sebagai panggung keagungan spiritualitas, sebuah persembahan keindahan spiritual yang mengalir begitu dalam. Tabir Singkat Ramadhan mengajak langkah kita ke dalam setiap helaian rahasia yang tersembunyi di balik tirai waktu, mengeksplorasi keanggunan puasa, kerindangan spiritualitas malam, hingga kejernihan jiwa yang terbentuk dalam pelajaran sosialnya.
Menurut salah satu ulama Madinah Syeikh Zain bin Ibrahim bin Zain bin Smith dalam karyanya “At-Taaqriirat as-sadidah fii al-masail al-mufidah” (Edisi ketiga 1425 H/2004) bulan Ramadhan merupakan bulan ke-9 dari bulannya arab, yaitu bulan yang paling utama. Dinamakan demikian, bahwa ketika orang arab memberikan nama-nama bulan tersebut bertepatan dengan cuaca yang sangat panas kala itu. Maka diberikanlah nama Ramadhan yang berasal dari kata Ar-ramdha yaitu artinya cuaca yang sangat panas, dikatakan juga Yarmidhu ad-dzunuub yang berarti membakar dosa-dosa, yakni mengikis atau menghapus sagala dosa-dosa. Bulan Ramadhan juga selalu identik dengan ibadah puasa, yang pada asalnya ibadah ini sudah banyak terjadi yang dimulai sejak manusia pertama hadir di muka bumi, yakni Nabi Adam AS. Oleh karenanya tidak menjadi hal yang asing lagi bagi masyarakat selain pemeluk agama islam akan hal ini, mereka juga melaksanakan ibadah puasa yang sama, hanya saja manhaj atau metode yang digunakannya itu sesuai kepercayaan masing-masing pemuka agama yang mereka anut.
Merujuk pada karya "Misteri Bulan Ramadhan" karya Yusuf Burhanuddin, Imam Al-Qurthubi mengungkapkan bahwa Nabi Nuh AS dianggap sebagai figur pertama yang melaksanakan puasa pada bulan Ramadhan. Tindakan puasa ini dilakukan oleh Nabi Nuh AS sebagai bentuk ibadah syukur kepada Allah SWT atas keselamatan dirinya dan komunitasnya setelah menghadapi badai yang melanda negeri mereka.
Puasa yang dilakukan pada masa Nabi Nuh AS bersifat sebagai ungkapan rasa syukur, meskipun belum ada perintah yang menyatakan kewajiban berpuasa selama satu bulan penuh di bulan Ramadhan. Nabi Nuh AS tidak menjalankan puasa sepanjang bulan karena pada waktu itu belum ada perintah yang mengharuskannya.
Sebaliknya, pandangan Syekh Sulaiman Ahmad Yahya Al Faifi dalam "Ringkasan Fiqh Sunnah Sayyid Sabiq" menyatakan bahwa perintah berpuasa di bulan Ramadhan diterima pada zaman Nabi Muhammad SAW. Puasa Ramadhan pertama kali diwajibkan pada tahun kedua Hijriah, tepatnya pada hari Senin, tanggal 10 Syaban tahun ke-2 Hijriah, atau setahun setengah setelah Rasulullah SAW dan umatnya berhijrah dari Makkah ke Madinah. Dan dari saat perintah puasa Ramadhan diberlakukan hingga wafatnya Rasulullah SAW, beliau telah menunaikan puasa sebanyak sembilan kali dalam rentang sembilan tahun.
Makna puasa secara bahasa itu sendiri menurut bapak tasawuf Islam modern Imam Al-Ghazali dalam karyanya Mukhtashor Ihya Ulumiddin bab enam (rahasia-rahasia puasa), puasa merupakan menahan dari masuknya sesuatu kedalam lambung, maka rusaklah puasaa seseorang dengan mengkonsumsi makanan atau minuman, memasukan sesuatu melalui hidung, dan juga suntik. Namun tidak halnya dengan bekam, bercelak, dan memasukan obat melalui lubang kemaluan dan telinga, kecuali ada suatu yang menetes dari dalam telinga yang menuju ke kantung kemih. Sedangkan menurut terminology Syeikh Zain bin Ibrahim bin Zain bin Smith berkata dalam karyanya “At-Taaqriirat as-sadidah fii al-masail al-mufidah” (Edisi ketiga 1425 H/2004) puasa merupakan menahan segala sesuatu yang membatalkan dari terbitnya fajar sampai tenggelamnya Matahari dengan adanya niat khusus.
Keutammaan yang terdapat dalam ibadah puasa sangatlah banyak jumlahnya, terkhusus ibadah itu dilakukan pada bulan ramadhan yang penuh degan keberkahan. Dalam hadits qudsinya disebutkan “Setiap kebaikan berlipat sepuluh turunannya hingga mencapai tujuh ratus kelipatan kecuali puasa, sesungguhnya puasa itu untuk-Ku dan Aku yang membalasnya.”
Adapun tingkatan puasa menurut kitab Mukhtashor Ihya Ulumiddin pada pembahasan rahasia-rahasia puasa, ibadah puasa ini dibagi menjai tiga kriteria atau tiga klasifikasi. Pertama adalah puasa umum yaitu ibadah menahan diri dari sesuatu yang membatalkan puasa dari makan, minum dan seperti penjelasan yang telah dibahas diatas. Kedua puasa khushus yakni puasa umum serta menahan segala potensi maksiat yang timbul dari diri kita, baik pendengaran, penglihatan, ucapan dan apapun dari segala anggota tubuh yang berpotensi melakukan kemaksiatan. Ketiga khushushul khushus yaitu merupakan gabungan dari dua jenis puasa diatas dengan tambahan puasanya hati dan pikiran dari segala hal yang bersifat dunia yang melalaikan kepada Allah SWT.
Sejarah mengatakan sholat tarawih ini tidaklah menjadi suatu kewajiban bagi umat Nabi, oleh karenanya Nabi Mumammad SAW juga tidak melakukan atau mengejarkan untuk melakukan sholat tarawih seacara penuh selama Ramadhan. Hal itu dilakukan bukan karena Nabi malas atupun tidak mampu untuk melakukaknya, melainkan Nabi Muhammad SAW khawatir akan adanya klaim dari umatnya yang mengwajibkan sholat tarawih secara penuh. Dalam suatu riwayat yang masyhur yaitu Nabi hanya keluar untuk melakukan sholat tarawih pada malam ke dua puluh tiga, dua puluh lima, dan dua puluh tujuh. Kemudian dalam rokaat sholat tarawih pun ada perbedaan pendapat, ada yang mengatakan delapan rokaat dan ada yang berpendapat dua puluh rokaat.
Syekh Kh. Ali Ma’sum Al-jogjawi berpendaapat dalam karyanya Hujjah Ahlussunnah Waljama’ah bab keempat dalam hadist yang di riwayatkan oleh Imam Bukhori Muslim dikatakan bahwasanya Nabi Muhammad SAW keluar dari kediamannya untuk melakasanakan sholat tarawih di masjid secara berjamaah pada malam ketiga, kelima, dan kedua puluh tujuh sebanyak delapan rakaat yakni dengan empat kali salam, dan menyempurnakan rakaat sisanya di rumahnya masing-masing yakni sampai genap duapuluh rakaat, dengan argumentasi terdengarnya suara gemuruh seperti gemuruhnya lebah di rumah-rumahnya (bacaan Al-Qur’an). Namun benar adanya bahawasanya Nabi ketika itu tidak menyempurnakan rakaat tersebut di masjid.
Jumlah rakaat dalam shalat tarawih adalah 20 tanpa witir, sesuai dengan praktik yang telah dilakukan oleh Sayyidina Umar bin Khattab dan kebanyakan sahabat lainnya, yang telah disetujui oleh umat Islam. Persetujuan ini berasal dari mayoritas ulama dari generasi awal hingga saat ini, termasuk masa sahabat Umar, dan telah menjadi ijma' sahabat serta kesepakatan mayoritas ulama dari berbagai mazhab: Syafi'i, Hanafi, Hanbali, dan mayoritas Maliki. Meskipun dalam mazhab Maliki terdapat perbedaan pendapat, antara 20 rakaat dan 36 rakaat, berdasarkan riwayat hadis dari Imam Malik bin Anas, yang menyatakan bahwa Imam Darul Hijrah Madinah berpendapat bahwa shalat tarawih dapat dilakukan antara 20 hingga 36 rakaat, dengan tiga di antaranya sebagai shalat witir. Imam Malik sendiri memilih untuk melaksanakan 8 rakaat, namun mayoritas pengikut mazhab Maliki mengikuti pendapat mayoritas dari mazhab Syafi'i, Hanbali, dan Hanafi yang menegaskan bahwa shalat tarawih terdiri dari 20 rakaat. Hal ini dipandang sebagai pendapat yang lebih kuat dan telah disepakati oleh mayoritas ulama secara menyeluruh.
Pendapat ini diperkuat dengan adanya dalil hadist yang diriwayatkan Sa’id bin Yazid :
عَنْ السَّائِبِ بْنِ يَزِيدَ قَالَ: كَانُوا يَقُومُونَ عَلَى عَهْدِ عُمَرَ بْنِ الْخَطَّابِ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ فِي شَهْرِ رَمَضَانَ بِعِشْرِينَ رَكْعَةً (رواه البيهقي وَصَحَّحَ إِسْنَادَهُ النَّوَوِيُّ وَغَيْرُهُ) ـ
Artinya: “Dari Sa’ib bin Yazid, ia berkata, ‘Para sahabat melaksanakan shalat (tarawih) pada masa Umar ra di bulan Ramadhan sebanyak 20 rakaat,” (HR. Al-Baihaqi, sanadnya dishahihkan oleh Imam Nawawi dan lainnya)
Dari hadist diatas memberikan penjelasan yang memadai bahwa pandangan yang paling kuat mengenai jumlah rakaat dalam shalat tarawih adalah 20. Inisiatif yang diambil oleh Sayyidina Umar bin Khattab tidak hanya disetujui, tetapi juga diamalkan oleh para sahabat Nabi lainnya pada masa itu, termasuk Sayyidah Aisyah, istri baginda Nabi Muhammmad SAW sendiri. Hal ini menegaskan kesepakatan (ijma') para sahabat, karena tidak ada yang menyangkal atau menentangnya. Oleh karena itu, tidaklah mengherankan jika mayoritas ulama dari empat mazhab atau mazhab lainnya memilih pandangan ini. Langkah awal yang diambil oleh Sayyidina Umar dan diikuti oleh para sahabat serta ulama sesudahnya sangatlah wajar, sebagaimana ketika kita melirik serta meninjau dari apa yang disampaikan oleh Nabi Muhammad SAW :
اقْتَدُوْا باِللَّذَيْنِ مِنْ بَعْدِيْ أَبِيْ بَكْرٍ وَ عُمَرَ (رَوَاهُ أَحْمَدُ وَ التِّرْمِذِيُّ وَابْنُ مَاجَهْ)ـ
Artinya: “Ikutilah dua orang setelah ku yaitu Abu Bakr dan Umar.”
Fenomena durasi pelaksanaan Ibadah tarawih. Apakah boleh melakukan sholat tarawih dengan durasi yang lebih cepat daripada sholat paada umumya? Jawaban secara globalnya itu diperbolehkan, dengan catatan tetap memenuhi ketentuan atau syarat dan rukun yang tertera seperti tuma’ninah (ketenangan) dalam sholat. Disamping itu yang tidak diperbolehkan adalah yang terlalu berlebihan.
Syekh Abdurrahman Balawi dalam karyanya Bughyatul Murtasyidin dijelaskan:
و أما التخفيف المفرط في صلاة التراويح فمن البدع الفاشية لجهل الأئمة وتكاسلهم ومقتضى عبارة التحفة أن الإنفراد فى هذه الحالة أفضل من الجماعة إن علم المأموم أو ظن أن الإمام لا يتم بعض الأركان لم يصح الإقتداء به أصلا.
Artinya: “ Adapun melaksanakan sholat tarawih dengan terlalu cepat itu termasuk dari suatu bid’ah buruk yang sudah terkenal karena ketidaktahuan seorang imam serta kemalasan yang ada pada dirinya, dan menurut keterangan dalam kitab tuhfah, sholat secara individu itu lebih baik daripada berjama’ah jika makmum mengetahui atau mengira bahwa imam tidak memenuhi sebagian dari rukun sholat, maka sholat bermakmum kepada imam seprti praktek tadi dianggap tidak sah sama sekali.”
- Tilawatul Qur’an
Dalam satu riwayat yang terdapat dalam hadis Nabi, beliau menyatakan, "Tidaklah ada pertolongan yang lebih agung di sisi Allah Swt selain Alquran, tidak ada seorang Nabi, Malaikat pun tidak dari keduanya." Dari pernyataan ini, terlihatlah betapa besar dan mulianya syafaat atau pertolongan yang berasal dari Al-Quranul Karim, terutama ketika ayat-ayat suci tersebut dibacakan pada momen yang suci, sebagaimana dalam bulan Ramadhan ini. Meski demikian, terdapat pula sebuah riwayat dari sahabat Anas bin Malik yang menggambarkan bagaimana banyaknya orang yang membaca Al-Qur’an, namun Al-Qur’an sendiri yang menimbulkan malapetaka. Hal ini tentu tidak terjadi tanpa alasan, melainkan pasti ada sebab yang membuat kitab suci Islam tersebut melaknat serta memberikan peringatan bagi sebagian pembacanya. Banyak dari umat Muslim yang membaca Al-Qur’an dengan tekun, namun di sisi lain banyak juga yang hanya membacanya tanpa memahami atau mengamalkan ajaran yang terkandung di dalamnya. Inilah mengapa pentingnya memahami dan mengaplikasikan isi Al-Qur’an yang telah dibaca. Dalam ajaran tasawuf, dijelaskan bahwa untuk menyempurnakan keimanan dan ketakwaan kepada Allah Swt, seseorang perlu mempelajari serta mendalami isi Kitab Suci ini dengan sungguh-sungguh.
Dalam ajaran tasawufnya Imam Al-Ghozaly telah menghidangkan sebuah konsep kepada umat muslim yang ingin mengasah tingkat spritualismenya secara sungguh-sungguh untuk menuju ridho-Nya, yang tentunya ini menjadi suatu pola inti dalam aktifitas keberagamaan, dan dalam pengaplikasian dalam islam pun tidaklah sesederhana yang seperti kelihatanya
Konsep itu terfokuskan pada tiga titik poros dasar yaitu Takhalli (Mengosongkan), Tahalli (Menghiasi), dan Tajalli (Penyingkapan). Analogi sederhana mengenai konsep ini bisa digambarakan seperti membersihkan sebuah gelas dari kotoran ataupun zat-zat yang mengotorinya (Takhalli) yang kemudian setelah bersih dan suci dapat di isi degan air jernih (Tahalli) dan tahap yang terkahir yaitu (Tajalli) hasil dari kedua tahapan tersebut, yang kemudian sinar cahaya dapat mengintip dan menyinari gelas yang terisi dengan air ke segala penjuru arah.
Dan dari penjelasan diatas dapat kita tarik sebuah kesimpulan secara terperinci sebagai berikut :
- Takhalli: Proses pengkosongan diri terhadap sifat-sifat tercela. Ini adalah proses kontemplasi yang mengandung perenungan tentang sifat-sifat tercela yang telah dilakukan semasa hidupnya. Takhalli merupakan langkah awal dalam proses menjadi sufi, yang mencakup pengosongan hati dari segala bentuk sifat-sifat tercela.
- Tahalli: Proses pengisian batin atau jiwa dengan sifat-sifat terpuji. Tahalli adalah proses yang mengisi hati dengan sifat-sifat terpuji, yang membawa kepada pengisian hati dengan sifat-sifat yang terpuji
Tajalli: Proses menemukan titik terang dari apa yang telah di cari atau mendapatkan hidayah dari Allah SWT. Tajalli adalah tersingkapnya tirai penyekap dari alam gaib atau proses mendapat penerangan dari nur gaib sebagai hasil dari suatu meditasi
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI